Cinta itu bukan seperti matematika yang hasilnya pasti sama persis dengan apa yang kita perhitungkan. Terkadang Allah menjodohkan seseorang dengan orang yang berbanding terbalik dengan seseorang itu. Tujuannya biar saling melengkapi.
Seperti yang dialami Andhini Maharani atau biasa disapa Rani. Tipe Idamannya: nggak boros, makai kacamata tipis, smart, bersih dari jerawat, berpakaian rapi, setia, sabar, bijaksana dan paling penting sayang sama adiknya. Ia justru jatuh cinta sama Raditya Saunders. Cowok yang super duper boros, hobinya traveling dan menghamburkan-hamburkan uang papanya. Untuk menyatukan dua hati yang saling mencintai ke ikatan suci pernikahan tentu bukan hal yang mudah. Rani dan Radith dihadapkan pada ujian yang dahsyat. Ujiannya adalah Andhina Rosalia, yang berstatus sebagai adik kandung Rani justru mencintai Radith juga.
Rani berada di sebuah persimpangan, ia bingung memilih jalan yang mana. Jalan antara merelakan Radith untuk Andhina atau mempertahankan Radith?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ariny NH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpanjang Kontrak
Terlentang salah. Tengkurap, berbaring ke kanan dan ke kiri juga salah. Posisi apa ya yang enak buat tidur. Sudah dua jam lebih Rani berbaring di tempat tidur, namun matanya belum juga dapat dipejamkan. Aneh. Tak seperti biasanya. Ia bukan penderita insomnia. Malam-malam sebelumnya jika bertemu bantal langsung terbuai dalam balutan mimpi.
Matanya memandangi langi-langit kamarnya yang penuh sarang laba-laba. Ya, Rani terlalu sibuk sehingga belum sempat membersihkan bagian atas. Ia juga tak pernah mengizinkan asisten rumah tangga memasuki kamar. Baginya sebuah kamar merupakan tempat paling privasi seseorang. Tiba-tiba bayangan dirinya bersama Radith siang tadi saat terkunci di gudang kembali melintas di pikirannya.
Buru-buru ia menarik selimut untuk menutupi seluruh wajahnya. Cara ini guna menghapus semua bayangan itu. Namun yang ada justru bayangan Radith semakin menari di pelupuk matanya. “Ah, kenapa gue jadi inget dia terus sih?”
Rani menyambar smartphonenya. Lalu menyentuh ikon BBM. Kontak BBM baru lima orang. Dan kontak pertamanya akun BBM dengan nama Radith@Tandy. Kemarin Radith memberikan pin bb, katanya bbm itu samaan sama Tandy. Makanya nama akun bbmnya seperti itu.
Entah mengapa hatinya ingin sekali mengirimkan sebuah pesan untuk kontak itu. Digesernya ke samping.
PING!
Rani bingung memulai percakapan dengan kata apa. Makanya ia hanya mengirimkan PING! Saja. Sesaat kemudian muncul huruf R warna hijau di samping PING! Yang ia kirimkan. Itu artinya sudah terbaca oleh Radith atau Tandy.
Ting!
Ada BBM dari Radith@Tandy.
Ini gue Radith. Tumben lo ngeping gue. Tengah malam pula. Ada apa? Dhina ngamuk lagi?
Jari-jari tangan Rani mengetik sebuah balasan.
Nggak sih. Hmmm … gue ngeping lo karena nggak bisa tidur. Inget lo mulu.
Ketika dirinya hendak mengirim pesan tersebut, mendadak keraguan menyelimuti hatinya. Ia ragu karena takut Radith kegeeran. Ia kembali berpikir kata-kata yang pas untuk balasan pesan BBM Radith.
Gue lagi iseng aja. Cz nggak ada kerjaan, sekalian nyobain BBM. Abis dari tadi pending mulu. Pas ngeping lo, normal lagi deh.
Ia merasa apa yang diketiknya sudah pas. Tangannya bergerak menyentuh tulisan ‘kirim’ di layar smartphone.
Ting!
Dalam hitungan detik muncul lagi balasan dari Radith.
Oh, gue kirain ada apa. Sama dong gue juga lagi nggak ada kerjaan. Dari Tadi gue nggak bisa tidur, mungkin karena saking takutnya di rumah sakit.
Obrolan Rani dan Radith terus berlanjut. Malah makin seru.
Andhini Maharani : Hah? Serius lo takut rumah sakit? Badan lo gede masa takut rumah sakit? Harusnya setan-setan yang ada di sana tuh takut sama lo. Hahaha
Radith@Tandy : Yeee … malah ngeledek. Gue tu takut rumah sakit gara-gara trauma. Waktu kecil dulu kan gue pernah masuk rumah sakit, terus gue liat sesuatu yang menyeramkan.
Andhina Maharani : Ya elah itu kan masih kecil. Anak kecil wajar sih bisa liat makhluk halus. Sekarang kan lo dah gede, gue rasa nggak bakal bisa liat ‘mereka’ lagi.
Radith@Tandy : Ya, tetep aja bayangan menyeramkan itu terus menari di pelupuk mata gue.
Andhini Maharani : Biar lo nggak takut lagi mau nggak gue temenin sampe bisa tidur?
Radith@Tandy : Boleh deh. Tumben lo baik sama gue?
Andhini Maharani : Maafin gue ya selama ini gue selalu galak bin judes sama lo. Sekarang gue sadar lo nggak senyebelin yang gue bayangkan.
Radith@Tandy : Iya, nggak apa. Maafin gue juga, selama ini jail sama lo, suka ngeledek lo. Hmmm … berarti sekarang kita damai ya?
Andhini Maharani : Oke, siapa takut!
Ada rasa nyaman menjalar di hati Rani saat BBM-an dengan Radith. Perasaan nyaman ini akankah menjadi pertanda baik atau buruk? Masih menjadi misteri Ilahi.
***
Sejak Andhina sakit, Rani dan Adelia bergantian menjaga Andhina. Rani tak bisa memercayakan Andhina sepenuhnya pada asisten rumah tangga. Ia takut sewaktu-waktu adiknya itu mengamuk, lalu asisten rumah tangga kebingungan menangani.
Pukul delapan malam Adelia sudah tiba di rumah Rani. Ya, jam segini dirinya lah yang bertugas menjaga Andhina dikarenakan Rani mau pergi mengajar les. Di luar dugaannya Rani justru asyik menonton televisi.
“Eh, Ran. Lo nggak siap-siap ngajar?”
“Gue lagi libur. Kan Cindy baru aja selesai UAS. Jadi buat apa dia belajar?”
“Asyik. Berarti gue ada temen dong jagain Rani.”
“Eh, lo mau minum apa? Biar gue bikinin.”
Adelia terbengong-bengong mendengar ucapan Rani. Ia pun menyentuh kening Rani. Sama sekali tak panas. “Kesambet setan apa lo jadi baik gini sama gue? Biasanya juga kalau gue haus ambil sendiri ke dapur.”
“Hari ini spesial, Sis. Gue mau memperlakukan lo dengan baik, sebagai ucapan terima kasih karena lo selama ini bantuin gue merawat Andhina. Sekaligus …” Rani urung melanjutkan kalimatnya, takut diledekin Adelia.
“Sekaligus lo dah mempertemukan gue lagi sama Radith.” Rani melanjutkan kalimat menggantung ke hatinya saja. Agar tak diketahui oleh Adelia.
“Sekaligus apa? Hayo, jujur sama gue!” Adelia memberondong pertanyaan sambil menatapnya penuh curiga.
Cepat-cepat Rani menghindari tatapan mata dengan Adelia. Sahabatnya itu tipe cewek yang bisa membaca isi hati orang lain melalui tatapan mata. “Sekaligus apa ya? Gue sendiri lupa, mau ngomong apa. Udah, ah. Anggap aja gue tadi salah ngomong.”
Rani bangkit dari tempat duduknya. “Bentar, gue ambilin minuman paling enak buat lo. Lo jangan kemana-mana ya.”
Rani ngacir ke dapur. Sembari menunggu Rani kembali, Adelia memanfaatkan waktu dengan facebook-an. Ia mau update status dulu.
Alhamdulillah, sohibku yang tadinya sangar kayak singa sekarang sudah mulai jinak. Hehehe.
Ting!
Bunyi BBM masuk. Diliriknya layar smartphone Rani, ternyata ada 1 pesan BBM dari Radith@Tandy. Rasa penasaran bergelayut di hatinya. Mumpung Rani lagi di dapur muncul niat ingin membaca BBM dari Radith.
Hey, lagi ngapain? Mau nemenin aku bbm-an lagi nggak? Lagi bête nih.
“Wah, ada angin apa coba tiba-tiba Radith minta Rani nemenin BBM-an? Biasanya kan mereka bagai kucing dan tikus,” batin Adelia bertanya-tanya. Untuk menemukan jawabannya, Adelia scroll bagian atas history chat BBM Rani. Sesaat kemudian senyum mengembang terukir di sudut bibir Adelia. “Ini pertanda baik,” gumamnya.
Prok… Prok…Prok
Terdengar langkah kaki dari dari dapur. Buru-buru ia meletakkan kembali smartphone Rani ke tempat semula.
“Sori ya lama nunggu. Tadi air panasnya habis, jadi gue rebus air dulu,” ucap Rani. Ia meletakkan gelas yang di bawanya di atas meja.
“Hmmm … nggak apa kok. Santai aja. Oh ya Ran, besok kan genap seminggu Radith kerja di sini tapi sampe sekarang dia belum juga berhasil bikin Andhina ketawa. Rencananya lo mau mecat dia atau mempertahankannya?”
“Del, lo mau nggak besok nemenin gue ke rumah sakit?”
Di sana gunung, di sini gunung, Adelia pun jadi bingung. Ia nanya apa, Rani jawabnya apa. “Ngapain ke rumah sakit?” Tanya Adelia heran.
“Yeee … malah nanya balik. Udah lo jawab aja, mau nggak nemenin gue ke rumah sakit?”
“Hmmm … boleh deh. Kebetulan gue lagi libur kuliah.”
Adelia memerhatikan Rani yang lagi senyum-senyum sendiri. Sesaat kemudian ia baru mengerti maksud Rani mengajaknya ke rumah sakit. “Yes, berarti usaha gue selama ini mulai membuahkan hasil,” batin Adelia girang.
***
Radith sedari setengah jam yang lalu mondar mandir tak jelas di kamar rumah sakit sambil memandangi jam dinding yang menempel di sudut kamar. Sudah pukul delapan pagi, orang yang ditunggunya belum datang juga.
“Woy, daripada lo mondar-mandir nggak jelas mending lo mengemasi barang-barang aja deh. Pas dia datang tinggal capcus.” Tandy angkat bicara.
Radith terdiam, perkataan Tandy ada benarnya juga. Ia mengambil tas ransel lalu memasukkan barang-barang yang berserakan di atas meja ke tas ransel tersebut. “Tan, ada lagi nggak barang gue yang belum dimasukin?”
“Lah, mana gue tau. Kan lo yang masukin barang ke tas.”
“Selamat pagi, Pak Radith.”
Radith terkesiap mendengar suara berat pria di belakangnya. Ia membalikkan badan. Pucuk dicinta ulampun tiba. Orang yang dari tadi ditunggu, akhirnya ada di depan matanya. “Eh, Pak dokter ngagetin aja.”
“Gimana Pak Radith apakah hari ini anda merasa lebih sehat?”
“Alhamdulillah, saya merasa jauh lebih sehat dari hari-hari sebelumnya. Dok, saya kan sudah sehat nih boleh nggak hari ini saya pulang aja? Bosen di rumah sakit mulu.” Radith mengutarakan niatnya.
“Sebentar saya periksa dulu. Mari berbaring!”
Radith menuruti permintaan dokter berbaring di tempat tidur. Dokter dengan lihai memeriksa detak jantung, mata, dan lidah. “Ya, sepertinya anda memang sudah sehat. Baiklah detik ini juga anda boleh pulang. Silakan lunasi administrasinya ya.”
Radith bangkit dari tempat tidur. Ia menjabat tangan dokter. “Wah, terima kasih Pak Dokter.”
“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu, mau memeriksa pasien sebelah.”
Begitu dokter keluar dari kamar, giliran Tandy yang mondar-mandir tak jelas. “Tan, lo kenapa? Gelisah amat.”
“Dith, gue gelisah mikirin biaya rumah sakit. Kalau mahal gimana? Lo nggak bakal boleh pulang sebelum melunasi biaya rumah sakit.”
Radith hanya nyengir kuda. Ia sama sekali tak memikirkan soal biaya rumah sakit. “Ah, gue kan cuma di kelas bangsal, tiga hari doang nginepnya paling biayanya satu jutaan. Lo ada duit kan? Gue pinjam dulu deh, ntar gue ganti.”
“Ini tanggal tua, Bro. Jangankan sejuta, lima ratus ribu aja kagak punya.”
“Kalau soal itu kamu nggak usah khawatir.”
Radith menoleh ke sumber suara. Pak Sigit, bos tempat kerjanya berdiri di ambang pintu. “Eh, Pak Sigit pagi-pagi sudah ke sini aja.”
“Tadinya saya mau nengokin kamu. Eh, ternyata saya datang di waktu yang tepat.”
Pak Sigit terlihat meraba saku jasnya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan dua buah kertas. Dan kertas itu diberikan ke Radith. Dengan dahi berkerut ia membaca tulisan di kertas. BPJS dan Kartu Sehat Jakarta. Radith yang kelamaan tinggal di Thailand jadi tak tahu manfaat kertas yang dipegangnya.
Pak Sigit menepuk bahu Radith. “Tunjukkan kertas itu ke administrasi, maka kamu boleh pulang.”
Wajah Radith berseri-seri. “Wah, Terima kasih banyak Pak Sigit.”
“Loh, Dith hari ini lo dah boleh pulang?”
Gadis yang selama beberapa hari ini menemaninya BBM-an tiba-tiba muncul. “Eh, Rani ngapain lo ke sini? Hmmm … pasti lo mau ngasih tau hari ini kontrak kerja gue di rumah lo berakhir alias dipecat.”
“Kata siapa? Orang gue ke sini nengokin lo. Eh, ternyata dah mau pulang. Yuk, pulang ke rumah gue!”
Radith menaikan satu alisnya. Ia tak mengerti ucapan Rani. “Loh, kok pulang ke rumah lo.”
“Ya iyalah. Kan lo masih ada tugas bikin Andhina ketawa.”
“Jadi?”
“Iya, kontrak kerja lo gue perpanjang. Gimana?”
Tentu saja ia dengan senang hati mau. Hidup memang aneh. Kemarin aja ogah-ogahan kerja di rumah Rani, tapi sekarang malah semangat banget. Tuhan memang paling jago membolak-balikan hati manusia.