Hai, kenalin! Ini adalah novel gue yang bakal ngajak kalian semua ke dunia yang beda dari biasanya. Ceritanya tentang Lila, seorang cewek indigo yang punya kemampuan buat liat dan ngerasain hal-hal yang nggak bisa dilihat orang lain. Tapi, jangan mikir ini cuma cerita horor biasa, ya!Lila ini kerja di kota besar sebagai jurnalis, sambil terus nyoba buat hidup normal. Sayangnya, dunia gaib nggak pernah jauh dari dia. Dari gedung-gedung angker sampai pesan misterius, Lila selalu ketarik ke hal-hal aneh yang bikin bulu kuduk merinding. Di tengah kesibukannya ngeliput berita, Lila malah makin dalam terlibat dengan makhluk-makhluk dari dunia lain yang seolah ‘nungguin’ dia buat ngungkap rahasia besar.Penasaran gimana dia bakal hadapin semuanya? Yuk, ikutin terus perjalanan Lila di "Bayangan di Kota: Kisah Gadis Indigo". Siap-siap deh, karena lo bakal nemuin banyak misteri, ketegangan, dan sentuhan supranatural yang bikin lo nggak bisa berhenti baca!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hansen Jonathan Simanjuntak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Teror Tanpa Henti
Pagi itu, setelah semalem yang bener-bener nggak masuk akal, Lila berusaha buat kelihatan normal di depan cermin. Tapi mata panda yang makin tebel nggak bisa nutupin fakta kalau dia bener-bener kurang tidur. Tiap kali dia nginget kejadian semalem, jantungnya langsung berdetak kencang lagi.
“Apa gue gila?” pikir Lila sambil nyoba ngolesin concealer buat nutupin lingkaran hitam di bawah matanya. Tapi nggak peduli berapa banyak makeup yang dia pakai, rasa takut dan cemas itu tetep nggak hilang.
Nggak lama kemudian, Rina ngetok pintu kamarnya. “Lil, lo udah siap? Gue tunggu di luar ya.”
Lila cepet-cepet nyelesaiin persiapannya, pake jaket hoodie andalannya, terus keluar kamar. “Gue siap, Rin. Ayo cabut.”
Mereka berdua langsung berangkat ke kantor. Sepanjang jalan, Rina terus ngelirik Lila, jelas banget kalau dia masih khawatir. “Lil, lo nggak perlu maksa kerja hari ini, tau. Lo bisa izin aja.”
Lila cuman ngangguk sambil tersenyum tipis. “Gue nggak bisa diem di rumah, Rin. Gue butuh distraksi biar nggak kepikiran terus.”
Di kantor, suasana lebih sepi dari biasanya. Banyak orang yang nggak masuk, entah karena sakit atau karena alasan lain. Lila dan Rina langsung duduk di meja kerja mereka dan mulai nyiapin tugas hari itu.
Tapi nggak lama setelah mereka duduk, Pak Anton keluar dari ruangannya dengan muka yang lebih serius dari biasanya. Dia ngelirik ke arah mereka berdua, lalu ngasih isyarat buat mereka masuk ke ruangannya.
“Kenapa sih, Pak?” Rina bertanya sambil melirik ke arah Lila.
Pak Anton nggak jawab, cuma ngisyaratin mereka buat masuk. Begitu mereka duduk di kursi, Pak Anton langsung ngunci pintu ruangannya. Suasana jadi lebih tegang.
“Gue dapet kabar kalau ada hal aneh yang terjadi lagi di gedung tua itu,” kata Pak Anton dengan nada yang rendah. “Dan gue rasa ini ada hubungannya sama kalian.”
Lila langsung ngerasain darahnya berhenti mengalir. “Maksud Bapak, aneh gimana?”
“Penjaga gedung itu ngelapor kalau dia ngeliat bayangan hitam yang sama seperti yang kalian liat waktu itu. Tapi kali ini, dia nggak cuma liat, dia juga denger suara aneh, kayak suara orang bicara, tapi nggak jelas kata-katanya.”
Rina langsung merinding. “Jadi, apa itu berarti kita... terlibat dalam sesuatu yang lebih besar?”
Pak Anton mengangguk. “Gue juga nggak tau pasti, tapi yang jelas ini bukan hal yang bisa kita anggap enteng. Kalian berdua harus lebih hati-hati. Gue udah bilang ke atasan kalau kita bakal ngelanjutin investigasi ini, tapi kita harus siap buat apapun yang bakal terjadi.”
Lila dan Rina saling melirik, ngerasa cemas sekaligus penasaran. Mereka berdua tahu, ini lebih dari sekedar liputan biasa. Ini udah masuk ke wilayah yang mereka nggak ngerti sepenuhnya.
“Terus, langkah selanjutnya apa, Pak?” tanya Lila.
“Kita bakal balik ke gedung itu lagi, tapi kali ini kita harus lebih siap. Gue nggak mau ada yang terluka atau lebih parah lagi. Jadi, kalian bisa aja milih buat nggak ikut kalau nggak mau.”
Rina langsung protes. “Bapak becanda? Kita udah sampe di sini, masa mau mundur?”
Lila senyum kecut. “Gue setuju sama Rina. Kita udah terlanjur terlibat, jadi nggak ada gunanya buat mundur sekarang.”
Pak Anton ngangguk pelan. “Oke, kalau gitu kita bakal balik ke sana besok malam. Pastikan kalian siap mental dan fisik.”
...****************...
Malam itu, Lila nggak bisa tenang. Dia tahu besok bakal jadi hari yang penting, tapi rasa cemas terus menghantui pikirannya. Dia mencoba buat tidur, tapi suara-suara aneh dan bayangan hitam itu terus muncul di kepalanya.
Sekitar jam dua pagi, dia terbangun karena denger suara langkah kaki di luar kamarnya lagi. Dengan tubuh gemetar, dia ngintip dari jendela, tapi lorong itu kosong. Nggak ada siapapun, tapi suara itu terus terdengar, makin mendekat ke pintunya.
“Nggak, nggak mungkin ini terjadi lagi,” gumam Lila sambil menahan napas. Dia ngerasa seluruh tubuhnya dingin, seolah ada sesuatu yang ngikutin dia dari balik bayangan.
Lalu, suara itu berhenti. Tepat di depan pintu kamarnya. Lila ngerasa jantungnya berdetak kencang, hampir kayak mau meledak. Dia tahu, dia harus ngelawan rasa takutnya.
Dengan tangan gemetar, dia pelan-pelan ngambil ponsel dan ngetik pesan ke Rina: “Rin, gue ngerasa ada sesuatu di luar pintu kamar gue lagi. Apa yang harus gue lakuin?”
Rina yang mungkin juga lagi nggak bisa tidur langsung bales: “Tetep tenang, Lil. Jangan buka pintu. Gue bakal kesana secepatnya.”
Lila mengangguk, meskipun dia tahu Rina nggak bisa lihat. Dia duduk di tepi tempat tidur, matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat.
Lalu, suara itu muncul lagi. Kali ini bukan langkah kaki, tapi suara napas berat, kayak ada yang mencoba menahan amarahnya di balik pintu. Lila ngerasain tubuhnya menggigil, tapi dia nggak bisa bergerak, seolah tubuhnya terikat ketakutan.
“Apa ini?” pikir Lila, berusaha tetap tenang. Dia tahu, kalau dia buka pintu itu, sesuatu yang buruk bakal terjadi. Tapi suara itu makin mendesak, makin keras, seolah meminta dia buat membuka pintu.
Dengan tangan gemetar, dia mencoba mengabaikan suara itu. Tapi tiba-tiba, pintu kamarnya bergetar keras, kayak ada yang mencoba masuk. Lila terlonjak, ngerasa panik tapi nggak bisa ngelakuin apa-apa.
“BANGSAT!” Lila tiba-tiba teriak, suara itu lebih keras dari yang dia kira. Dan seketika, suara getaran pintu berhenti. Suasana jadi sunyi lagi, hanya ada suara napas Lila yang terengah-engah di kamar itu.
Dia duduk di tempat tidur, mencoba menenangkan diri. “Apa yang barusan gue lakuin?” pikirnya, nggak percaya kalau dia barusan nge-bangsat ke sesuatu yang nggak kelihatan. Tapi yang jelas, suara itu berhenti.
Setelah beberapa menit, Rina akhirnya sampai di depan kamar Lila, ngedorong pintu dengan cepat. “Lil, lo nggak apa-apa? Gue denger lo teriak!”
Lila tersenyum lemah, berusaha terlihat tenang meskipun jelas dia masih ketakutan. “Gue nggak apa-apa, Rin. Gue cuma... nggak tahan lagi. Jadi gue teriak.”
Rina ngangguk, meskipun dia juga kelihatan nggak yakin. “Gue ngerti. Tapi lo harus lebih hati-hati. Gue takut ada sesuatu yang lebih besar dari ini.”
Lila mengangguk, mencoba menerima kenyataan kalau ada sesuatu yang mengincar dia dan Rina. Dan apapun itu, mereka harus siap buat ngadepinnya, karena ini bukan sekedar teror biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih gelap dan lebih menyeramkan.
Dan Lila tahu, mereka nggak akan bisa lari dari ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...