Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : Tidak apa-apa
“Ara…aku ke toilet dulu…”
“Kamu nggak apa-apa?”
Sekelebat, Ara melihat alis Saka yang berkerut seperti menahan sakit.
Saka hanya menggeleng lalu bergegas meninggalkan Ara. Ara terlihat bingung, antara ingin menyusul atau jaga privasi Saka. Mungkin saja Saka kebelet pup. Pikir Ara.
Saka terhuyung menuju toilet pria. Dia menutup pintu bilik lalu muntah sambil meremas perutnya. Matanya berkedip-kedip demi mengusir blur dari pandangan matanya.
Saka bersandar sebentar di dinding bilik setelah membersihkan diri. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya seolah terhimpit, tangannya mulai gemetar.
Saka mencoba keluar dari bilik untuk mencari udara segar dan membasuh mukanya. Namun baru beberapa langkah, kakinya lemas dan badannya ambruk. Beberapa orang kaget dan sedikit ribut.
Samar-samar mata Saka melihat seseorang masuk menerobos pintu masuk.
“Hey, ini toilet pria.”
“Maaf, darurat.”
Saka mendengar suara Ara, dia mencoba bangun tapi asupan oksigen yang berkurang membuatnya kembali terhuyung. Badan itu berhasil ditangkap.
“Slow…jangan bangun dulu.”
Ara menyenderkan kepala dan badan Saka ke dinding terdekat. Dia menggenggam tangan Saka yang tremor dan dingin. Nafas Saka pendek-pendek dan tidak stabil.
“Mas Saka…kamu bisa dengar aku, kan? Tenang…bernafas…santai…”
Perlahan-lahan pandangan Saka mulai kembali jernih. Dia melihat Ara tepat di depannya. Tangannya masih gemetar dan dadanya masih terasa sesak.
Ara mencoba memijat tangan Saka dan sesekali menggosoknya.
“Ada obat yang biasa kamu minum kalau lagi begini?”
“Ya…tapi di mobil…”
“Kayak gini?” Ara menunjukkan sebuah obat.
Saka mengangguk, bukannya memberikan obat itu kepada Saka, Ara malah memandang lembut mata Saka. Satu tangannya menggenggam tangan Saka, satu tangannya beralih mengelus bahu Saka.
“Mas Saka…bernafas aja. Tarik perlahan, hembuskan perlahan…kamu yang tenang…nggak apa-apa…nggak ada yang perlu dicemaskan…tidak apa-apa…”
Bagaikan hipnotis, Saka otomatis mengikuti kata-kata Ara. Perlahan oksigen mulai masuk ke paru-paru, dan detak jantungnya mulai stabil. Tapi entah mengapa air mata jatuh setitik dua titik dari mata Saka.
Ara spontan memeluknya dan mengusap-usap punggung Saka.
“It’s okay, kamu nggak akan kenapa-kenapa…kamu bisa tanpa obat itu…kamu bisa tenang…”
Dipeluk Ara begini, detak jantung Saka yang tadinya kalem jadi mulai jedag-jedug lagi. Saka ingin mendorong Ara menjauh namun tangannya yang digenggam tidak bisa bergerak ke mana-mana.
Alhasil, Saka memejamkan matanya dan menerima pelukan itu sebagai penghiburan.
...* * * * *...
Mahesa bergegas mencari Ara begitu konser selesai. Dia melihat Ara keluar arena dan tidak kembali lagi sampai lagu terakhir dinyanyikan. Dia langsung meminta ponselnya yang dia titipkan ke manajernya.
“Halo? Kamu di mana, Ra? Kamu kenapa? Oh... Aku ke sana sekarang.”
Mahesa mengantongi ponselnya. Lalu mengambil setangkai mawar merah lalu menyembunyikannya dalam saku jaket bagian dalam.
“Ruang kesehatan sebelah mana, Das?” tanyanya pada manajernya.
“Kenapa? Kamu sakit?”
“Enggak. Bukan aku.”
“Trus siapa?”
“Temenku.”
“Aku anter…”
“Nggak usah, Das.”
“Hey, kamu masih dia area konser. Kalau ada penggemar yang tiba-tiba nyulik kamu gimana? Pokoknya aku anter.”
Mahesa mengangkat tangannya tanda menyerah. Dasa mengambil buggy car.
“Seriously? Kita naik ini?”
“Kamu berharap helikopter atau T-Rex?”
“Bukan gitu, Das. Ini sedikit berlebihan.”
“Temanmu itu keburu mati nggak kalau kita nggak segera ke sana?”
“Astaga. You’re so mean.”
Mahesa naik ke sebelah Dasa. Ruang kesehatan masih satu lantai dengan area konser, tapi apa jadinya jika para penggemar tahu Mahesa berkeliaran sendirian? Bisa jadi rebutan.
Benar saja. Para penggemar yang belum pulang langsung mengejar dan mengabadikan momen tersebut. Untung saja tidak ada yang sampai narik tangan atau nyubit pipi.
Mahesa langsung melompat turun begitu sampai. Dia tidak ingin dikejar oleh penggemarnya sampai sini.
“Aku tunggu sini. Nggak lama, kan?” kata Dasa. Pertanyaan sekaligus peringatan.
“Iyaa.”
Mahesa melihat beberapa bilik terisi orang yang mungkin kekurangan oksigen, kelelahan saat berdesak-desakan, atau melompat bersama lagunya tadi. Mahesa merasa prihatin.
Mahesa melihat Ara di bilik paling ujung.
“Ara…hey, are you okey?”
“Aku nggak apa-apa. Yang sakit itu Mas Saka.”
“Kenapa dia?”
Ara berbisik, “Sepertinya dia punya gangguan kecemasan. Ini baru tebakan. Tapi gejalanya tadi…mirip sama yang pernah aku alami. Tapi untungnya tadi sudah tenang, sekarang dia lagi istirahat.”
“Kenapa dia yang kamu bawa ke konserku?”
Mata Ara memicing ke arah Mahesa.
“Dia ngajak jalan, dan aku pengen nonton konser kamu, jadi ya…sekali pergi, dua acara terlaksana.” Ara nyengir.
“Kamu kencan dengannya? Di konserku?”
“NO! Pacaran aja nggak, gimana bisa kencan.”
“Aah…sama seperti yang kamu katakan padaku kemarin?”
“Mahesa, plis…ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin itu.”
Mahesa mengangguk. “Oke…baiklah… Makasih sudah datang.”
“Aku yang makasih sama kamu.”
Mahesa ingin segara pergi dari hadapan Ara tapi melihat Saka yang masih di sana membuat Mahesa terjebak dalam dilema.
“Kamu sendiri nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa, kamu tenang aja.”
“Kalau kamu lelah, aku antar kamu pulang ke rumah.”
“Aku belum bisa pulang sekarang. Dia gimana?” Ara menunjuk bilik di belakang punggungnya.
“Aku merasa bersalah karena ngajak dia pergi ke konser. Aku nggak tahu kalau mungkin…suara-suara bising itu bisa memicu trauma atau…apa…”
“Kamu merasa bersalah padanya, tapi kamu nggak merasa bersalah padaku.” Mahesa bergumam sendiri.
“Mahes…maaf, aku juga merasa bersalah sama kamu. Kamu jadi ke sini dan…eh, kamu udah nggak ada acara lagi habis ini? Kamu pasti capek. Istirahat sana.”
“Aku…”
“Mahesa!” panggil Dasa.
“Oke, I have to go. Aku pengen banget nganter kamu pulang, Ra. Kalau satu jam lagi kamu masih di sini, aku beneran anter kamu pulang. Kabari aku, oke?”
“Nggak janji. Kamu punya banyak acara, nggak usah mikirin aku. Aku bisa pulang bareng Mas Saka. Kalau dia sudah mendingan.”
“Kalau kondisi dia nggak membaik, aku suruh orang antar dia ke rumah sakit, lalu kamu pulang bareng aku.”
“Tapi…”
Mahesa menyerahkan setangkai bunga mawar ke tangan Ara.
“Kamu tahu apa artinya ini.”
Mahesa melambaikan tangan sambil melangkah dengan cepat di samping Dasa.
Ara melihat sahabatnya itu pergi sambil membuang nafas panjang. Bunga mawar di tangannya ini biasanya Mahesa kasih ke penonton konsernya yang terpilih.
Aku sayang kamu. Itulah arti bunga itu.
“Ara…”
Suara Saka membuyarkan lamunan Ara.
“Mas…gimana, udah mendingan?”
Saka mengangguk pelan.
“Serius?”
“Ya.”
“Syukurlah.”
“Maaf ya.”
“Buat apa?”
“Ngerepotin kamu.”
“Sama sekali nggak kok.”
Saka menatap mata Ara lebih lama. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi menundanya karena mungkin akan terasa tidak nyaman.
“Kita pulang sekarang?”
“Kamu bisa nyetir?”
“Bisa.”
“Yakin?”
Saka tertawa kecil. Ara merasa lega Saka sudah bisa tertawa.
“Kalau belum kuat, aku aja yang nyetir.”
“Nggak papa. Aku baik-baik saja.”
Kruyuuuk…
Ara menahan tawa. Saka nyengir.
“Baiklah…gimana kalau kita makan dulu? Perut kamu udah minta tolong itu.”
Saka mengangguk malu.
Ara mengirim pesan kepada Mahesa.
[Aku pulang dulu. Istirahat saja, Baja Hitam. Jaga kesehatan.]
Ditambah emoticon bunga mawar di akhir pesan.