Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus Universitas Citra, Vano, seorang mahasiswa hukum yang cerdas dan karismatik, ditemukan tewas di ruang sidang saat persidangan penting berlangsung. Kematian misteriusnya mengguncang seluruh fakultas, terutama bagi sahabatnya, Clara, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang diam-diam menyimpan perasaan pada Vano.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadhisa A Ghaista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pengakuan mahasiswa seni
Suasana di kantor polisi terasa mencekam. Rai, yang duduk di kursi interogasi, terlihat sangat tegang. Andra dan Rizky menunggu di luar ruangan, khawatir akan apa yang akan diungkapkan Rai. Saat petugas polisi, Inspektur Jang, memasuki ruangan, semua perhatian tertuju padanya.
"Rai Nazielyn," katanya dengan nada tegas, "apakah benar Anda memiliki masalah dengan Vano sehari sebelum kematiannya?"
Rai mengangguk, suaranya hampir tidak terdengar saat ia menjawab, “Ya, saya punya masalah dengan Vano.”
“Anda mengatakan bahwa cat merah di lukisan Anda dilarang karena alasan adat. Bisa Anda jelaskan lebih lanjut?” tanya Inspektur Jang.
Rai menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi. “Cat merah itu… dilarang dalam tradisi saya. Saya seharusnya tidak menggunakannya. Tapi Balqis yang memberi saya cat itu. Dia bilang itu cat merah buatan, bukan warna murni, dan anehnya, baunya seperti bunga lavender, bukan bau darah.”
Andra dan Rizky yang mendengar dari luar ruangan saling bertukar pandang, terkejut dengan penjelasan Rai. Ini adalah informasi baru yang belum mereka duga sebelumnya.
“Jadi, Anda mengatakan bahwa cat tersebut bukan murni dari darah?” tanya Inspektur Jang, mencatat setiap kata yang diucapkan.
“Benar,” jawab Rai. “Itu adalah cat buatan Balqis. Saya tidak tahu mengapa dia memberikannya kepada saya. Saya hanya ingin melukis perasaan saya.”
“Dan tentang kalung rosario itu?” tanya petugas, mengubah fokus pertanyaannya.
Rai terlihat ragu, tetapi kemudian melanjutkan. “Kalung rosario itu… saya kehilangan saat Vano menarik kalung saya saat kami bertengkar. Dia ingin tahu kenapa saya merasa tertekan dan kesal dengan hubungan kami. Saat dia menarik kalung itu, saya tidak tahu di mana kalung itu jatuh.”
“Apakah ada sesuatu di dalam rosario itu?” tanya Inspektur Jang, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran.
Rai mengangguk, wajahnya berubah serius. “Ya, ada memory card di dalam rosario itu. Saya menaruhnya di sana untuk menyimpan beberapa rekaman penting. Itu berisi pesan-pesan suara dari Vano dan rekaman saat kami berdebat.”
“Rekaman?” suara Inspektur Jang terdengar lebih antusias. “Bisa jadi itu sangat membantu dalam penyelidikan ini. Di mana kita bisa menemukan kalung itu?”
Rai menunduk, tampak bingung. “Saya… saya tidak tahu. Mungkin saya bisa mencarinya di tempat saya melukis. Tapi saya sangat menyesal, saya tidak bermaksud menyakiti Vano.”
“Anda bilang Anda sering berpacaran dengan teman-teman Vano yang berbeda agama. Apakah ada yang ingin Anda ceritakan tentang hubungan ini?” Inspektur Jang melanjutkan.
Rai terlihat tertekan, ia menggelengkan kepala. “Saya tahu itu bukan hal yang mudah bagi kami. Vano sering merasa terasing karena perbedaan keyakinan kami. Dia selalu mencoba mengerti, tetapi terkadang sulit. Kami sering berdebat karena itu.”
“Apakah ada ancaman yang Anda terima dari Vano atau teman-temannya?” tanya Inspektur Jang dengan nada serius.
Rai terdiam sejenak, seolah memikirkan kata-katanya. “Tidak ada ancaman langsung. Namun, kami memiliki banyak perdebatan dan kadang-kadang itu membuat kami semakin jauh. Saya merasa tertekan dengan semua ini, dan saya tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”
Inspektur Jang mengangguk, mencoba menangkap setiap detail. “Kami perlu menemukan kalung itu dan memory card di dalamnya. Itu bisa memberi kita gambaran lebih jelas tentang apa yang terjadi sebelum kematian Vano.”
Setelah sesi interogasi selesai, Rai dikeluarkan dari ruangan, terlihat lelah dan putus asa. Andra dan Rizky segera mendekatinya.
“Rai, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Andra dengan khawatir.
Rai menatap Andra, air mata menggenang di matanya. “Saya merasa seperti semua ini salah. Saya tidak ingin ada yang mati.”
“Kita perlu menemukan kalung itu dan memory card. Mungkin itu bisa membantu mengungkap kebenaran,” ujar Rizky, berusaha memberikan semangat pada Rai.
“Kalau hanya itu yang bisa kita lakukan,” Rai menjawab, suaranya penuh harapan. “Saya akan mencarinya, dan semoga kita bisa menemukan kunci untuk menyelesaikan semua ini.”
Setelah berpamitan dengan polisi, mereka berangkat menuju studio seni tempat Rai sering melukis. Andra berdoa agar mereka menemukan kalung itu, berharap bisa mendapatkan jawaban yang selama ini mereka cari.
Di dalam perjalanan, pikiran Andra berkecamuk. Apakah semua ini benar-benar berhubungan dengan kematian Vano? Dan apa yang akan mereka temukan jika berhasil mendapatkan memory card dari kalung rosario itu? Andra merasakan ketegangan di dalam hatinya, merasa bahwa mereka semakin dekat dengan kebenaran, tetapi di saat yang sama, semakin terjerat dalam misteri yang mengerikan.
°°°°°°°
Sesampainya di studio seni, suasana terasa hening, seolah ruangan itu menyimpan berbagai rahasia. Rai memimpin jalan, matanya menyapu sekeliling ruangan yang penuh dengan lukisan dan alat seni. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat, seakan setiap inci dinding menyimpan kenangan yang menyakitkan.
“Di sini,” Rai menunjuk ke sudut ruangan tempat ia biasanya melukis. “Saya sering meletakkan kalung di meja ini saat saya bekerja.”
Andra dan Rizky memperhatikan sekeliling dengan seksama. Terdapat beberapa lukisan yang belum selesai dan alat lukis berserakan. Mereka mulai mencari dengan teliti, berharap menemukan kalung rosario yang mengandung memory card.
“Coba lihat di bawah meja,” Rizky menyarankan, mengangkat beberapa kuas yang berantakan. “Mungkin kalung itu jatuh di sana.”
Rai merunduk, mencari-cari di antara tumpukan cat dan alat lukis. “Saya harap saya bisa menemukannya,” katanya, suaranya penuh harapan.
Setelah beberapa saat mencari, Andra melihat sesuatu berkilau di sudut. “Rai! Ini dia!” teriaknya, mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Itu adalah kalung rosario dengan salib yang terlihat sedikit rusak, tetapi masih utuh.
Rai berlari menghampiri Andra dan meraih kalung itu, matanya berbinar. “Saya tidak percaya saya menemukannya!” Ia memeriksa kalung itu dengan teliti, dan saat melihat ke dalamnya, wajahnya tampak berubah. “Memory card-nya tidak ada!”
Andra merasa kecewa. “Apa mungkin jatuh di tempat lain?”
“Entahlah,” Rai menjawab putus asa. “Saya sangat ingat memasukkannya ke dalam kalung ini.”
“Kalau begitu, kita harus mencarinya lebih lanjut. Mungkin ada di sini, atau di tempat lain,” Rizky menyarankan. “Kita tidak bisa menyerah.”
Mereka mulai mencari lagi dengan lebih teliti. Andra membuka setiap laci, menggesekkan tangan ke setiap permukaan, tetapi memory card itu tetap tidak ditemukan. Hati Andra mulai resah, seolah waktu terus berjalan dan misteri semakin dalam.
“Rai, apakah ada tempat lain di luar sini di mana kamu bisa menyimpan memory card?” tanya Andra dengan harapan.
Rai menggelengkan kepala. “Tidak ada tempat lain. Saya selalu menyimpannya di sini. Saya sangat berhati-hati dengan itu.”
Akhirnya, setelah beberapa saat yang melelahkan, Andra memutuskan untuk memeriksa bagian belakang studio, tempat di mana ada beberapa lukisan yang lebih besar. Dia membuka pintu yang mengarah ke ruang penyimpanan kecil, dan di situ, ia melihat banyak alat dan bahan seni.
Saat Andra membongkar beberapa kotak, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang keras di bawah tumpukan kertas. Dengan cepat, ia mengeluarkannya dan melihatnya dengan teliti. “Rai, lihat ini!” teriaknya. Dia menunjukkan benda itu kepada Rai, yang mendekat dengan cepat.
“Itu adalah memory card!” Rai berseru penuh semangat. “Di mana kamu menemukannya?”
“Terjebak di antara kertas,” jawab Andra, memberikan memory card itu kepada Rai. “Sekarang kita bisa mencari tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Terima kasih, Andra!” Rai menjawab, suaranya penuh rasa syukur. “Sekarang kita perlu membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya.”
Mereka segera keluar dari studio seni dan kembali ke kosan Andra. Setelah memasukkan memory card ke laptop, mereka menunggu dengan cemas saat perangkat membaca isinya. Akhirnya, mereka menemukan beberapa folder.
“Ini dia,” Rizky menunjukkan pada layar. “Ada beberapa rekaman suara di sini.”
Rai, Andra, dan Rizky saling bertukar pandang sebelum menekan tombol play. Suara Vano terdengar, dan jantung mereka berdegup kencang.
“Hey, Rai. Jika kamu mendengar ini, berarti ada yang salah…” suara Vano terputus, dan Rai tampak terkejut. Ia langsung menahan napas, mendengarkan dengan seksama.
“Rai, aku merasa kita perlu bicara. Ada beberapa hal yang menggangguku. Kenapa kita tidak bisa terbuka satu sama lain? Semua ini terasa tidak nyaman, dan aku merasa seperti kehilangan kamu. Aku tidak ingin ini berakhir, tetapi kamu harus memberi tahu aku apa yang kamu rasakan,” lanjut Vano, suaranya menggambarkan kekhawatiran.
Rai meneteskan air mata, mendengar kejujuran Vano. “Aku ingin berbicara, Vano. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.”
“Rai, kita bisa melalui ini bersama. Aku berjanji akan mendukungmu,” Vano melanjutkan. “Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”
Setelah rekaman selesai, suasana hening. Andra dan Rizky saling memandang, mereka merasakan ketegangan di dalam ruangan.
“Sepertinya Vano meragukan hubungan kalian,” Andra mengatakan dengan hati-hati. “Mungkin itu menjadi salah satu alasan kenapa dia merasa tertekan.”
“Ya, dan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Saya merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertengkaran biasa,” Rai menjawab, suaranya bergetar.
Rizky melanjutkan, “Kita harus mencari tahu lebih banyak. Mungkin ada lebih banyak rekaman di sini. Mari kita telusuri lagi.”
Mereka melanjutkan untuk membuka folder-folder lain yang ada di dalam memory card, berharap menemukan lebih banyak petunjuk. Hati mereka dipenuhi dengan rasa ingin tahu dan ketegangan, karena setiap informasi yang mereka temukan dapat mengubah arah penyelidikan.
Setiap langkah yang mereka ambil semakin mendekatkan mereka pada kebenaran, tetapi juga mengungkap lapisan-lapisan kelam yang menyelimuti hubungan antara Vano, Rai, dan Balqis. Apa yang akan mereka temukan selanjutnya? Apakah semua ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih gelap yang bersembunyi di balik kematian Vano?