Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 : Kembali Dari Celah Dimensi
Saat Sagara keluar dari celah dimensi yang membawanya kembali ke dunia asal, ia mendapati dirinya berada di rumah tua. Tidak ada yang berubah dari ruangan itu. Ruangan yang hampir seluruhnya dipenuhi debu dan furnitur kuno yang tetap terpajang meski tak pernah tersentuh. Ketidakhadiran Fransiskus membuatnya sesaat dirinya kehilangan arah. Seakan kini dia menjadi sendiri, tidak ada sosok yang bisa dia andalkan. Tanpa sadar, Sagara ternyata sudah cukup lama mengandalkan Fransiskus.
Sagara pun menarik napas dalam-dalam, merasakan kenyataan yang berbeda dari dunia sihir yang baru saja ia tinggalkan. Dia telah membulatkan tekadnya tentang tujuannya dan rencananya, maka dia harus tetap fokus dan menguatkan diri dalam menghadapi segala situasi yang mungkin akan terjadi nantinya. Dengan tubuh yang lelah, Sagara kemudian meninggalkan bangunan tua tersebut lalu berjalan menuju bangunan utama, tanpa melihat kembali ke arah belakang. Kemudian dia pergi beristirahat di kamarnya yang berada di lantai atas.
Saat Sagara tiba di kamarnya, dia segera menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Semua kenangan dari dunia sihir dan beban tanggung jawab sebagai kepala keluarga Morgans menghantui pikirannya. Namun, keletihan tubuhnya lebih mendesak daripada pikirannya yang terus berputar. Sungguh malam yang terasa panjang, dunia sihir yang dilewatinya bagaikan mimpi indah yang menjadi kenyataan. Dia memejamkan mata dan tak butuh waktu lama sebelum ia tertidur pulas.
Keesokan paginya, Sagara bangun dari tidurnya dengan tubuh yang sedikit lebih segar. Cahaya matahari pagi menyusup dari celah-celah jendela kamarnya, menandakan pagi yang baru. Ia menguap dan beranjak keluar dari kamarnya. Niatnya saat itu hanya satu, yaitu mencari makanan untuk dirinya sarapan.
Di tengah perjalanan menuju dapur, Sagara berpapasan dengan seorang pelayan. Brigita, pelayan itu baru saja hendak menuju kamar sang tuan muda, akan tetapi dikejutkan karena malah berpapasan dengan Sagara di perjalanannya. Dia pun tampak terkejut lalu menyapa Sagara dengan tersenyum ramah. “Tuan Sagara, kebetulan sekali. Saya baru saja akan mengabarkan kepada Anda bahwa sarapan sudah siap di meja makan.”
Sagara, yang sedikit belum sepenuhnya sadar, mengangguk dan menjawab, “Oh, terima kasih, Brigita... kan? Bisa tunjukkan padaku jalan ke ruang makan? Aku masih belum sepenuhnya hapal bagian dalam rumah ini.”
Brigita mengangguk dan tersenyum lembut. “Tentu saja, Tuan. Silakan ikuti saya.”
Dengan langkah tenang, Sagara mengikuti Brigita menuju ruang makan, dan di sepanjang perjalanan, ia tak henti-hentinya meresapi atmosfer rumah tua ini yang terasa asing sekaligus familiar.
Sesampainya di ruang makan, Sagara terkejut melihat deretan hidangan yang tersaji di atas meja. Berbagai jenis makanan—dari roti segar, telur, hingga buah-buahan eksotis—tersusun rapi, seolah menyambut kedatangannya dengan penuh kemewahan.
"Wah!" gumam Sagara, matanya berbinar saat melihat hidangan tersebut. Dia sempat kehilangan ketenangannya, tapi dia buru-buru bersikap tenang untuk menjaga sikapnya sebagai bentuk pelatihannya selama ini.
Sagara segera duduk di kursi yang telah disediakan, kemudian dia membentangkan serbet di pangkuannya dan mulai membenarkan posisinya duduk. Dengan rasa lapar yang menggelitik, ia mulai menyantap makanan yang telah tersaji di atas meja panjang.
Namun, di tengah menikmati makanannya, Sagara tiba-tiba baru menyadari bahwa para pelayan, termasuk Emma, berdiri di sampingnya, membantu mengambilkan makanan yang tidak terjangkau, dan memperhatikan sang tuan menyantap makanan dengan penuh hormat. Awalnya, Sagara berniat untuk mengajak mereka duduk dan makan bersama, tetapi ia ingat pelajaran dari Rose di dunia sihir tentang bagaimana seorang bangsawan atau pemimpin keluarga harus bersikap. Sagara menarik napas dalam-dalam, menenangkan niatannya. Sagara benar-benar mulai menyadari bahwa dirinya telah berubah menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi lebih elegan dan kharismatik, seperti orang-orang yang berasal dari kalangan atas.
Setelah selesai makan, Sagara meletakkan sendoknya dan menoleh kepada Emma yang berdiri di sampingnya.
"Emma, bagaimana kalian bisa menyiapkan semua ini? Bukankah semua aset kakekku sudah disumbangkan ke yayasan sosial?"
Emma tampak terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan penuh rasa hormat, “Kami... menyiapkan ini dengan uang kami sendiri, Tuan Muda. Para pekerja di mansion ini bekerjasama untuk menyiapkannya, sebagai bentuk salam penyambutan bagi kedatangan Anda.”
Sagara pun tertegun. Hatinya tersentuh oleh ketulusan para pelayan yang tetap setia kepada keluarga Adyatama meski keadaan kini sudah berubah. Padahal kemarin Sagara telah menunjukan sisi dirinya yang tidak kompeten dan berniat menjual kediaman ini, akan tetapi para pekerja ini masih mempercayai dan bersikap baik seperti ini padanya. Sagara merasa dirinya semakin bertanggung jawab atas mereka, dan kini, baik keluarga Morgans maupun keluarga Adyatama ada di pundaknya.
Dengan penuh kesungguhan, Sagara menatap Emma dan berkata, “Terima kasih, Emma. Terima kasih untuk semuanya. Sebenarnya, aku ingin membicarakan sesuatu mengenai keputusan yang telah aku ambil mengenai kelanjutan warisan bangunan ini. Aku akan menitipkan kabar ini kepada kalian yang hadir di ruangan ini untuk selanjutnya disampaikan kepada pekerja lainnya."
"Jadi... aku telah memutuskan untuk tidak jadi menjual kediaman ini. Aku akan berusaha mempertahankan kalian semua di sini. Aku juga akan melanjutkan bisnis kakekku.”
Seketika, wajah Emma tampak cerah dan penuh rasa syukur. Pelayan-pelayan lainnya yang berdiri di sekeliling ruangan pun tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Hati mereka berdebar kencang setelah sebelumnya sempat khawatir kalau sang tuan muda berniat menjual bangunan ini. Mereka sungguh bersyukur. Beberapa dari mereka bahkan hampir kehilangan ketenangannya, menjerit, dan saling berpelukan, tetapi Emma yang menyadarinya segera mengoreksi para pelayan yang ribut dengan senyuman di wajahnya.
“Tenanglah, semuanya. Tuan Muda sedang berbicara,” kata Emma lembut, meskipun ia sendiri tampak sangat senang.
Sagara berdiri dari kursinya, merasa lega dan puas dengan keputusannya. Dia merapikan pakaiannya dan hendak kembali ke kamarnya untuk bersiap. Namun, sebelum ia meninggalkan ruangan makan, ia berbalik ke arah Emma.
“Emma, tolong pesankan taksi untukku. Aku perlu berpergian ke luar hari ini,” katanya singkat.
Emma menundukkan kepala, “Baik, Tuan Muda. Saya akan segera mengaturnya.”
Meskipun Emma tidak tahu tujuan pasti Sagara, ia merasakan ada sesuatu yang familiar dengan sikap dan aura yang ditunjukkan oleh tuan mudanya itu. Dia merasakan nostalgia. Sesuatu yang mengingatkannya pada masa-masa ketika ia masih melayani Miles. Seakan terasa kembalinya determinasi, kesungguhan, dan harapan baru yang mengalir di udara. Emma merasa bersyukur karena keluarga Adyatama kini kembali memiliki seorang penerus yang siap membawa nama keluarga itu menuju kejayaan kembali.