NovelToon NovelToon
Tergila-gila Padamu

Tergila-gila Padamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: dochi_19

Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?

Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.

...

Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sidak

Tok tok tok

"Masuk," ucap Safira pada siapa pun itu di balik pintu. Paling juga suster.

Pintu pun terbuka menampilkan Gavin yang tersenyum di sana. Lelaki itu berjalan ke arahnya lalu duduk. Tangannya menggenggam tangan Safira.

"Bagaimana hasil pemeriksaannya?" tanya Gavin menatap Safira.

Safira tersenyum kecut. "Seperti biasa."

Gavin mengusap tangannya dengan lembut. "Sebentar lagi kamu akan sembuh. Jangan khawatir!"

Safira mengangguk. Lalu keheningan pun terjadi. Safira masih memikirkan perkataan Lisa. Tidak mungkin gadis itu berbohong. Tapi mana mungkin pula ia melewatkan informasi sepenting itu. Apa pak Rudi sudah berkhianat? Ah, tidak. Pikirannya terlalu ngawur. Mungkin Gavin yang semakin pintar. Ia yakin, tidak ada yang tahu selain sahabatnya Gavin. Ia sudah meminta bantuan pak Rudi mencari tahu faktanya, tinggal menunggu hasil. Setelah ini, apa ia masih bisa percaya pada Gavin?

Safira menatap Gavin. Tapi ia sangat mencintai lelaki tampan ini. Tidak mungkin menggantikannya. Ia penasaran dengan alasan Gavin menyembunyikan apartemen itu.

"Kak Gavin gak sibuk hari ini?" Safira bertanya memecah keheningan mereka.

"Enggak. Hari ini khusus untuk kamu." Gavin tersenyum.

"Tapi aku pulang nanti malam."

Safira terlihat murung. Ia ingin sekali pergi kencan dengan Gavin. Kebanyakan waktu mereka habiskan di rumah. Dan sisanya di rumah sakit seperti sekarang. Belakangan ini mereka jarang bersama. Ia rindu sekali berinteraksi dengan Gavin.

"Mau jalan-jalan ke atap?"

Safira tersenyum lebar lalu mengangguk. Gavin keluar sebentar dan kembali dengan kursi roda. Safira dibantu naik setelah itu mereka keluar. Beberapa suster menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia yakin para suster itu akan bergosip. Bahkan suster Juli sering menggodanya dengan membahas Gavin. Tidak heran, mengingat Safira pasien VVIP yang juga anggota keluarga Halim. Serta Gavin yang sering mempertontonkan perhatian manisnya di muka umum. Sejak dulu mereka seperti ini— dan sampai sekarang. Safira tersenyum sepanjang jalan.

Mereka tiba di atap yang memiliki beberapa taman hijau kecil di setiap sudut bangunannya. Beberapa tempat sudah terisi oleh orang lain, jadi mereka memilih sudut yang masih kosong. Safira turun dari kursi roda dibantu Gavin. Mereka duduk di bangku. Safira diam ketika Gavin meletakkan selimut di pangkuannya. Udara sore ini lumayan dingin. Sinar matahari bersembunyi dibalik awan abu.

"Soal apartemen itu ..."

Safira tahu cepat atau lambat Gavin akan membahasnya, pasti karna Lisa dan Reza.

"Apa harus dengan menyembunyikannya dari kami?" Safira bertanya pelan. Tidak untuk menghakimi.

"Maaf. Aku hanya butuh peralihan." Gavin menjawab dengan nada pelan juga.

Safira tersenyum, skeptis. "Peralihan apa? Tentang hubungan kita?"

"Ya, terkadang. Ini bukan tentang kamu, jangan salah paham. Tapi tentang aku. Terkadang aku hanya butuh waktu sendiri."

"Apa aku begitu merepotkan? Apa aku terlalu menganggu?"

"Bukan begitu." Gavin mendesah. "Aku hanya sedang butuh peralihan yang positif. Keluargaku, keluargamu, aku ingin istirahat dari mereka. Terkadang mereka lupa aku hanya siswa SMA biasa. Mereka terlalu memaksakan.

Dan hanya di tempat itu aku bisa mendapatkan semua yang hilang. Aku merasa seperti anak laki-laki pada umumnya. Belajar, berkumpul dengan teman-teman, bermain. Hal normal lainnya. Maaf kalau aku terdengar seperti sedang lari dari kenyataan. Tapi kita butuh itu untuk hidup waras."

Safira tercengang. Sejauh ia mengenalnya, Gavin belum pernah bercerita seemosional ini. Pasti lelaki itu selalu memendamnya. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Gavin selama ini. Ia juga tahu Gavin lelaki yang baik. Gavin tidak melampiaskan stresnya dengan balapan, pergi ke bar, merokok, atau hal negatif lainnya.

"Tapi kenyataan tidak sebaik itu."

"Ya, aku tahu."

"Aku masih marah soal kebohongannya."

"Maaf soal itu."

"Kalau aku meminta untuk menjual apartemen itu, apa bisa?"

"Berarti kamu tidak mengenal hak seorang manusia."

"Apa kamu tahu hak seorang pacar?"

"Ya."

"Apa itu?"

"Mendapat kebenaran dari semua pertanyaan pacarnya."

"Ya, itu bagus."

"Dan ada satu kewajiban pacar."

Safira menatap Gavin. "Apa?"

"Memberi pelukan penuh kasih sayang  sebagai permintaan maaf." Gavin pun memeluk Safira dengan erat. Sesekali mencium rambutnya.

Mereka cukup lama berada dalam posisi itu sampai beberapa orang di sana berteriak memberitahukan kalau hujan mulai turun. Gavin pun membantu Safira naik ke kursi roda lalu mendorongnya sambil berlari. Mereka tertawa sepanjang perjalanan bersama dikejar hujan.

Hari ini Gavin menyerah padanya. Safira pun begitu. Dan Safira tidak akan pernah menyerah pada hubungan mereka.

.

.

Ivan melempar beberapa lembar kertas ke atas meja. "Kalian baca itu!"

Stella mengambil dan membacanya. "Dari awal aku udah gak suka sama anak itu."

Safira hanya diam di kursinya. Dia tidak mengambil kertas itu karna sudah bisa menebaknya. Salahkan pak Rudi yang selalu melapor pada Ayahnya.

Ivan menatap Safira lalu bertanya, "kenapa gak kamu baca? Sudah tahu isinya?"

Safira mengangguk pelan.

"Terus kamu diam aja gitu?" Stella mulai geram.

"Kamu masih punya kesempatan untuk merubah pilihanmu itu." Ivan memberikan saran untuk putrinya.

"Maaf, Ayah. Aku tidak bisa melakukan itu."

Stella berteriak marah. "Ayolah Safira! Jangan bertindak bodoh!"

Safira menggeleng. "Maaf, Bu."

Stella menerjang bahu Safira. "Berhenti pikirkan egomu sendiri! Pikirkan masa depan keluarga kita. Kamu harus mengganti Gavin! Atau Ibu yang akan mencari gantinya sendiri."

Safira mulai berkaca-kaca. "Tapi Safira mencintai Gavin."

"Bukan cinta yang kamu butuhkan, tapi posisi di keluarga Halim. Kamu harus percaya sama Ibu!"

"Setidaknya hanya itu yang tersisa dalam diri Safira. Maaf, Bu." Safira pun berlari keluar dari ruang kerja Ayahnya.

Stella hendak mengejar Safira tapi ditahan oleh Ivan. Stella pun melotot. "Kenapa?!"

"Kamu sabar dulu. Biarkan Safira yang mengurusnya. Kita harus percaya sama dia." Ivan mengusap bahu Stella untuk menenangkannya.

Stella mengangguk pasrah. Lagi-lagi ia mengalah. Padahal tadi adalah kesempatannya menyingkirkan Gavin.

.

.

Safira melangkahkan kakinya memasuki lobby apartemen ini. Pantas saja selama ini keluarganya tidak tahu, apartemen dibeli atas nama Aditya. Safira tahu setelah kejadian semalam. Sebenarnya penyebab masalah itu adalah kehadiran Maura di sana. Ia akan memastikannya sekarang. Tidak lama Lisa datang. Ternyata ini juga kali pertama Lisa datang berkunjung. Seorang perempuan dengan seragam bertuliskan nama apartemen mendatangi mereka.

"Permisi mbak, ada yang bisa saya bantu?"

Lisa yang menjawab. "Gak ada, mbak. Kami mau ke lantai 8. Ada temen yang tinggal di sana."

"Oh, baik kalau begitu. Kami minta konfirmasinya setelah sampai di unit, ya."

Mereka mengangguk lalu pergi menjauhi pegawai tadi.

"Ih, apartemen ini aneh banget. Masa gak ada privasi buat penghuninya? Diminta konfirmasi segala," gerutu Lisa setelah lift mulai bergerak naik.

"Siapa tahu kamu itu pembunuh bayaran, kan bisa langsung lapor polisi." Safira bergurau menanggapi.

"Aku pasti bunuh Reza duluan kalau dia selingkuh."

Safira tertawa pelan. Pintu lift terbuka dan ada dua unit di sana. Safira mengikuti Lisa yang berjalan ke sebelah kanan. Safira membiarkan Lisa yang memencet bel. Tidak butuh waktu lama Reza membuka pintu, seperti tahu akan kedatangan mereka. Sepertinya sulit untuk membuat sepasang kekasih itu menjaga mulut. Mereka masuk lebih dalam lagi.

Sesuai selera Gavin, pikir Safira. Gavin selalu menyukai hal yang simple and comfy. Apartemen ini sangat menggambarkan Gavin yang sebenarnya. Perasaan iri pun merasuk dengan tiba-tiba. Andai ia juga punya kesempatan menjadi dirinya sehari saja. Tapi secepat mungkin ia mengabaikan pikiran itu. Bersama Gavin sudah cukup untuknya.

Gavin keluar dari salah satu pintu di sana lalu memeluk Safira sebentar. "Sayang, aku gak tahu kamu mau ke sini."

"Ya, tadi pagi Lisa ngajak. Jadi sekalian aja aku ikut."

Lisa tergagap. Padahal Safira yang memintanya. "E-eh, t-tadi Reza..."

Reza mendapat tatapan mematikan dari Gavin. Dan Lisa berkedip memberinya kode. "Y-ya, tadinya aku bosen jadi minta Lisa ke sini."

Safira menyadari situasi Reza. Pasti Gavin sudah melarang adanya orang asing di apartemen ini. Kenapa Maura bisa ada di sini? Bukankah seharusnya Maura yang jadi orang asing?

Gavin menghela napas. "Ayo kita duduk."

Safira mengikuti langkah Gavin yang membawanya ke sofa. Mereka duduk bersisian diikuti pasangan satunya yang tak kalah canggung.

"Wah, lihat ini siapa yang datang." Aditya datang dari balik pintu lain lalu menghampiri mereka.

"Kami datang berkunjung." Safira menjelaskan maksud kedatangan dirinya dan Lisa.

"Tentu saja. Kalian ingin minum apa? Teh, kopi, atau jus?"

"Air putih untuk Safira." Gavin menjawab mewakilkan.

"Aku mau jus jeruk, kak." Lisa berujar.

"Kalian tunggu sebentar." Aditya melangkahkan kakinya menuju pantry yang tidak jauh dari sana.

"Aku mau berkeliling di sini." Lisa berdiri dan tampak antusias ditemani Reza untuk menjelajahi apartemen, kesekian kalinya.

"Kamu ke sini bareng Lisa?" Gavin bertanya.

"Enggak, diantar supir."

Gavin mengangguk. "Kalau gitu nanti aku antar pulang."

"Iya." Safira menurut, memang itu juga harapannya.

"Ini minumannya." Aditya meletakkan air putih dan jus jeruk di meja. "Gue cari Reza dulu. Jangan sampai dia mesum di sini. Bisa alergi gue."

Safira tersenyum mendengar gerutuan Aditya.

"Jangan didengar. Dia emang suka gitu sama orang pacaran."

"Gak ko. Kak Adit lucu juga. Pasti seru punya temen gitu."

"Kamu belum punya temen di sekolah?"

"Ada ko. Mereka juga baik. Cuma belum akrab aja. Kalau sama Lisa mungkin karna pacarnya temen kak Gavin, jadi cepet akrab."

Gavin mengusap rambut Safira. "Jangan khawatir. Nanti juga banyak ko yang temenan sama kamu."

"Emm." Safira mengangguk.

Pintu apartemen terbuka lalu sosok perempuan masuk dengan kantong keresek besar. "Ini aku bawa stok mie dan bahan makanan buat nanti malam."

Bersamaan dengan itu ketiga orang lainnya muncul.

.

.

TBC

1
hayalan indah🍂
bagus
Dochi19_new: makasih kak, pantengin terus ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!