Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Sirta gusar menghubungi suaminya yang pergi entah ke mana. Tidak biasanya Vi marah lalu langsung pergi meninggalkan dirinya, apalagi sudah tengah malam seperti ini. Biasanya perdebatannya tidak separah malam ini, hanya karena dirinya menolak untuk hamil, Vi menjadi marah seperti itu, bahkan kasar dengan dirinya. Vi tidak pernah marah dengan Sirta sampai seperti ini, marah pun Vi bakalan diam saja dan mudah dibujuk olehnya.
Sirta masih terus menghubungi Vi, terhubung tapi tidak diangkat oleh Vi. Entah di mana Vi berada, Sirta tidak tahu itu. Sirta mencoba menelfon asistennya Vi. Ya, dia menghubungi Alex, mau tanya pada siapa lagi kalau tidak tanya Alex? Yang tahu keseharian Vi hanya Alex, mau tanya Daddy dan Mommy nya, atau adiknya tidak mungkin ia tanya ke sana. Yang ada malah urusannya makin panjang, apalagi kedua orang tua Vi sudah hilang respect pada Sirta, pun dengan adik Vi, dan saudara Vi lainnya. Namun, Alex sudah tidak aktif nomornya. Mana mungkin tengah malam begini Alex mengaktifkan ponselnya?
“Kamu di mana sih, Vi!” geram Sirta.
Tidak mau tambah pusing Sirta melempar ponselnya, ia tidak peduli Vi pulang atau tidak, masih ada hari esok untuk menyelesaikan masalahnya malam ini. Sirta memilih lebih baik tidur saja, karena badannya pun sangat pegal. Apalagi tadi Vi melakukannya dengan begitu kasar.
Namun, berkali-kali Sirta mencoba memejamkan matanya, tetap saja tidak bisa, masih memikirkan suaminya yang entah di mana. Pikirannya melayang jauh, apalagi mengingat Oma Laras dan Oma Nungki yang bilang padanya, kalau dirinya tidak mau hamil, mereka akan mencarikan istri lagi untuk Vi. Ditambah mama dan papanya pun bilang, kekuatan rumah tangga ada pada anak, anak adalah pengikat ibu dan ayahnya, jadi berumah tangga harus memiliki anak. Sirta langsung bangun dari tidurnya, lalu meremas kepalanya, dan menjambak rambutnya.
“Arrgghhtt!!! Harus gitu punya anak? Nanti kalau tubuhku rusak, tambah kendor dan gemuk bagaimana? Aku tidak bisa membayangkan kalau akau akan berubah menjadi seperti sapi gemoy! Gak, aku gak mau! Nanti Vi pergi dengan perempuan yang lebih seksi, seperti dulu, saat .... arrgghhtt!! Aku gak mau mengingatnya lagi!” erang Sirta dengan frustrasi.
**
Sedangkan Vi masih belum bisa memejamkan matanya, pun dengan Ardini, dia jadi tidak bisa tidur lagi, apalagi di sebelahnya ada Vi, yang juga belum tidur. Mereka canggung sekali rasanya. Ini adalah malam pertamanya, tapi bagaimana mau malam pertama, Ardini sedang hamil muda, dan disamping itu Vi tidak mencintainya, juga dengan Ardini sendiri. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan pada Vi. Dia sebetulnya sangat benci dengan Vi, karena Vi dia gagal menikah dengan oran yang sangat ia cintai, gara-gara Vi dirinya diusir dari kampung itu, dan lebih parahnya gara-gara Vi, Ardini sampai menjual rumah peninggalan orang tuanya.
Meskipun rumah itu kecil dan sederhana, akan tetapi rumah itu punya sejuta kenangan untuk Ardini, rumah itu menyimpan cerita-cerita indah kehidupannya dulu. Sebetulnya Ardini sangat menyesal menjual rumah itu, tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin dirinya kembali ke sana, karena sudah diusir oleh warga sana.
“Adin?” panggil Vi.
“Ya Tuan, gimana?” jawab Ardini.
“Kamu belum tidur?” tanya Vi.
“Jadi gak ngantuk lagi, Tuan,” jawab Ardini.
“Apa karena saya di sini?”
“Enggak juga, kalau sudah tidur pulas, lalu kebangun susah tidurnya lagi, Tuan,” jawab Ardini.
“Oh ya, Adin. Ada yang ingin saya tanyakan padamu.”
“Tanyakan saja, Tuan.”
“Kau benar-benar diusir dari kampung itu?” tanya Vi.
“Iya, Tuan.”
Ardini menceritakan lagi, Vi mendengarkannya, ternyata karena dirinya Ardini sampai menanggung hal seperti itu, ditambah adiknya pun kena imbasnya, dia dibully di sekolahannya karena ada teman yang tahu soal Ardini yang hamil duluan, tanpa tahu siapa laki-laki yang menghamilinya.
“Saya minta maaf ya, Adin. Karena saya kamu gagal menikah, adikmu dibully, dan kamu sampai jual rumah kenangan peninggalan orang tuamu itu,” ucap Vi.
“Sudah Tuan, jangan minta maaf, kalau saya tidak ceroboh saat membuatkan kopi malam itu, tidak akan ada kejadian seperti ini, Tuan,” ucap Ardini.
“Jadi kita sama-sama salah?”
“Iya, kita sama-sama salah, jangan saling menyalahkan diri kita sendiri, memang sudah seperti ini suratan hidup kita, Tuan,” ucap Ardini.
“Iya, benar yang kamu bilang. Ya sudah tidurlah, ini sudah larut, gak bagus untuk kesehatan kamu, ibu hamil tidak baik tidur sampai larut begini. Saya gak akan mengganggumu, tapi boleh saya tidur di sini?”
“Boleh, Tuan. Silakan saja,” jawab Ardini. “Istri Tuan tidak marah Tuan tidak pulang?” tanya Ardini.
“Istri yang mana?”
“Ya Istri Tuan yang pertama?” jawab Ardini.
“Namanya Sirta,” ucap Vi.
“Oh, Mbak Sirta? Apa Mbak Sirta tahu Tuan ke sini? Tuan pamitnya ke mana? Benar Mbak Sirta sedang bersama teman-temannya? ” tanya Ardini.
Vi membuang napasnya dengan kasar. Ia ingat tadi pertengkarannya dengan Sirta karena membicarakan soal anak. Vi sudah habis kesabarannya. Ia sudah berusaha mengerti Sirta, akan tetapi Sirta sama sekali tidak mau mengerti dirinya yang sudah sangat mendambakan sosok bayi di tengah-tengah keluarga kecilnya.
“Tuan, kok diam? Pasti Tuan habis bertengkar dengan Mbak Sirta, ya?” ucap Ardini.
“Ya begitulah. Capek saya, Din!” ucapnya dengan membuang napasnya dengan kasar.
“Kalau sedang bertengkar, harusnya diselesaikan, Tuan? Jangan malah pergi,” tutur Ardini.
“Kami sudah sering bertengkar seperti itu, tapi malam ini yang terasa sangat parah. Kamu tahu, saya sangat mencintainya, tapi dia tidak pernah mau mengerti saya yang sudah ingin sekali memiliki anak. Setiap bahas anak kami berdebat panjang, dia sama sekali tidak mau berhenti minum pil kontrasepsi itu. Kami bertengkar karena itu, dan malam ini kesabaranku yang setipis tisue ini sudah tidak tahan, akhirnya saya ke sini,” jelas Vi.
“Diomongin baik-baik lagi, Tuan,” ucap Ardini.
“Sudah, gak hanya saya yang menasihatinya, kedua orang tuanya, mommy dan daddy saya, juga oma saya, tetap saja gak mau. Bahkan Oma saya menyuruh saya menikah lagi, ya ini sudah saya laksanakan,” jelas Vi.
Ardini hanya mengangguk, sesekali menguap, karena sudah merasakan ngantuk lagi. Vi tahu Ardini sudah mengantuk, ia menyuruh Ardini untuk tidur.
“Tidurlah, jangan takut saya akan macam-macam, kalau macam-macam juga gak masalah, kan? Kita suami istri, tapi saya hargai perasaanmu, saya tidak ingin melakukannya tanpa rasa cinta Adin, jadi izinkan saya untuk mengenalmu lebih dalam, juga menumbuhkan rasa di hati saya, meski aku membaginya. Saya tidak mau menjadi suami kurang ajar, saya menikahimu juga bukan untuk tanggung jawab saja. Saya harap pernikahan kita ini tidak untuk main-main, tidak dengan perjanjian pula,” ucap Vi.
Yang Ardini tahu, Vi menikahinya karena tanggung jawab saja, akan tetapi Vi malah ingin menjadikan pernikahan ini bukan sekedar pernikahan kontrak, tapi Vi ingin pernikahannya dengan Ardini sama seperti pernikahan pada umumnya, meskipun dia istri kedua.