NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22.22 Hari pertama

Malam ini, aku sudah siap dengan busana santai kebanggaanku: kaos lengan panjang oversize berwarna hitam yang nyaman, dan celana panjang hitam yang selalu membuatku merasa percaya diri.

Sebelum melangkahkan kaki keluar, aku memandangi tiket pertunjukan balerina dari Anindya yang ada di tanganku. Pertunjukan ini begitu dinantikan, namun di balik kegembiraan itu, ada rasa gelisah yang tak bisa kuabaikan. Meski aku bukan tipe gadis pengecut, aku selalu merasa was-was jika harus sendirian di tempat yang terasa rawan dan penuh bahaya.

Malam yang gelap dan sunyi ini hanya menambah kecemasan yang menyelusup ke dalam pikiranku, tetapi aku tahu bahwa menghadapi ketakutan ini adalah bagian dari perjalanan yang harus kujalani. Dengan tarikan napas panjang, aku mengumpulkan keberanian, meyakinkan diri bahwa petualangan ini akan membawa pengalaman berharga dan momen tak terlupakan.

Setelah yakin, aku menggapai topi dan masker hitam sebagai penutup wajah. Jika benar di sana ada ancaman, wajahku tidak boleh terlihat. Segera aku keluar sebelum terlambat.

Malam begitu tenang, namun hawa dingin menambah kegelisahanku. Saat keluar dari pintu, di depanku sudah ada Ebra bersama sepeda motor besar Ducati Panigale V4 yang berkilau di bawah lampu jalan. Dia menyodorkan helm padaku, matanya tajam namun penuh perhatian.

"Aku ikut. Kamu tanggung jawabku juga," katanya dengan tegas.

Hatiku terenyuh melihat Ebra seperti ini. Sejak tadi, aku ragu apakah dia akan menerima keputusanku. Namun, kini, kehadirannya memberikan rasa aman yang tak terduga. Gemerlap lampu kota malam ini terasa lebih hangat dengan dia di sisiku. Keputusan sudah diambil, dan dengan semangat baru, aku mengenakan helm yang disodorkannya. Bersama Ebra, malam yang semula penuh kecemasan berubah menjadi sebuah perjalanan yang penuh arti, di bawah langit malam yang indah, kami melaju di atas Ducati Panigale V4, membelah malam dengan kecepatan yang menggetarkan. Angin dingin menerpa wajahku, namun helm dan masker hitam yang kukenakan melindungiku dari sengatan udara malam. Jalanan kota dipenuhi cahaya lampu jalan yang berpendar seperti bintang-bintang, menciptakan suasana yang hampir magis. Ebra mengendarai motor dengan cekatan, membuatku merasa aman meskipun adrenalin mengalir deras dalam tubuhku.

“Dapet sepeda dari mana?” Tanyaku berteriak karena suaraku bertabrakan dengan angina kencang dan suara knalpot sepeda.

“Kan aku sudah bilang, temanku banyak di Jogja,” jawab Ebra tak Kalah berteriak.

Setelah beberapa waktu, kami akhirnya sampai di depan teater yang megah. Bangunan tua dengan arsitektur klasik itu tampak anggun di bawah cahaya lampu sorot yang menerangi fasadnya. Antrian orang sudah mulai terbentuk, dan suasana hiruk pikuk terasa kontras dengan keheningan jalan yang kami lalui sebelumnya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin cepat, penuh ketegangan.

Ebra memarkir motor di sisi jalan, lalu membantuku turun. Dia menatapku dengan sorot mata penuh keyakinan, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kami berjalan menuju pintu masuk, langkah kami mantap meskipun ada bayangan keraguan di benakku.

"Maaf, aku tidak bisa ikut masuk. Tiketku tidak ada," kata Ebra, suaranya tenang namun penuh perhatian. "Aku nunggu di sini saja sampai pertunjukan selesai. Jangan khawatir."

Aku menggenggam tangannya sejenak, merasakan hangatnya yang memberikan kekuatan. “Aku pasti baik-baik saja."

Dengan senyum tipis yang penuh dukungan, dia melepaskan tanganku. Aku melangkah menuju pintu masuk teater dengan tiket di tangan, sementara Ebra tetap berdiri di depan, matanya mengawasi dengan penuh kewaspadaan. Suasana teater begitu hidup, orang-orang berbicara dengan antusias tentang pertunjukan yang akan mereka saksikan. Tiket di tanganku terasa hangat, simbol dari keputusan berani yang kuambil malam ini.

Setelah masuk ke teater, aku berjalan menuju kursiku, mengikuti nomor yang tertera pada tiket. Suasana di dalam teater begitu elegan, dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit dan kursi-kursi mewah yang berjajar rapi.

Setelah duduk, sesuai dengan permintaan Anindya, metaku menyusuri setiap sudut, mencari kursi di barisan pertama, nomor enam.

“Roats,” gumamku kaget saat melihat Roats duduk. Apa ini jawaban yang dimaksud Anindya. Lalu kenapa? Memang masalah kalau Roats datang ke pertunjukkan cewek yang dia sukai?

Lampu mulai meredup, menandakan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Penonton mulai hening, menunggu tirai panggung terbuka. Namun, mataku tertuju pada Roats yang duduk tenang di bagian depan. Perawakannya tegap, dia tampak berbeda dari penonton lainnya.

Pertunjukan balerina dimulai, dan aku harus tetap waspada. Roats ada di sekitar sini, dia pasti curiga jika tau keberadaanku di sini dan aku harus memastikan bahwa misi ini berjalan lancar.

suasana teater berubah menjadi tenang dan penuh harap. Penonton menahan napas saat tirai panggung terbuka perlahan, memperlihatkan para balerina yang berdiri anggun dengan kostum indah mereka. Musik klasik mulai mengalun, mengisi ruangan dengan melodi yang memikat hati. Para balerina mulai bergerak, tubuh mereka melayang dengan kelembutan dan keanggunan yang memukau.

pandangan tertuju pada setiap gerakan yang mereka lakukan di atas panggung. Mereka berputar, melompat, dan melayang dengan keserasian yang sempurna, menciptakan pemandangan yang hampir seperti mimpi. Kostum mereka yang berkilauan dan cahaya lampu panggung yang menyorot menambah keindahan pertunjukan ini.

Di tengah keajaiban itu, mataku tertuju pada sosok yang sangat kukenal, Anindya. Dia menari dengan luwes, setiap gerakannya memancarkan keindahan dan kekuatan yang memukau. Anindya adalah bintang malam ini, dan semua mata penonton terpaku padanya. Dia melangkah dengan ringan, mengangkat tubuhnya dengan anggun, dan setiap gerakannya menceritakan kisah yang penuh emosi dan keajaiban.

Aku merasa terhanyut dalam pertunjukan, terpana oleh bakat dan dedikasi yang ditampilkan Anindya. Senyum kecil muncul di wajahku, bangga melihat dia bersinar di atas panggung, jauh berbeda dengan wajahnya yang penuh kesengsaraan saat bersujud dan memohon padaku. Anindya menari dengan penuh semangat, seolah setiap gerakannya adalah ungkapan dari hatinya yang terdalam.

Pertunjukan terus berlanjut, dan aku terus memandangi Anindya dengan kagum. Setiap gerakan, setiap langkah, dan setiap lompatan menunjukkan betapa luar biasa bakat dan kerja keras yang dimilikinya.

“Pantesan Eja suka, cakep anggun begitu,” gumamku berbicara sendiri saat tiba-tiba teringat Anindya pernah menjalin hubungan dengan Eja.

Saat pertunjukan mencapai puncaknya, sorak-sorai penonton memenuhi ruangan. Anindya dan para balerina lainnya mengambil posisi terakhir mereka, menerima tepuk tangan meriah dari semua yang hadir. Aku ikut bertepuk tangan, bangga dan terharu melihat Anindya yang luwes dan anggun menari balet di hadapanku.

Pertunjukan selesai, tirai panggung menutup dengan perlahan, dan suara gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan. Para penonton mulai bangkit dari kursi mereka, bergerak menuju pintu keluar dengan percakapan penuh antusias tentang keindahan tarian yang baru saja mereka saksikan. Namun, aku tetap duduk tenang di kursiku, tidak bergeming di tengah keramaian yang mulai buyar.

Sesuai dengan keinginan Anindya, aku tidak boleh beranjak sampai jam menunjukkan pukul 22.22. Aku melirik jam tangan, masih ada beberapa menit lagi. Teater perlahan mulai sepi, hanya beberapa staf dan penonton yang tersisa. Suasana berubah menjadi sunyi, hanya terdengar langkah-langkah kaki yang beranjak pergi dan suara samar percakapan di kejauhan.

Sesaat kemudian, lampu-lampu teater mulai dipadamkan satu per satu, menyisakan hanya cahaya redup yang menerangi bagian tengah ruangan. Aku merapatkan jaket dan masker hitamku, memastikan tetap tersembunyi dari pandangan siapa pun. Aku tahu bahwa momen ini adalah bagian penting dari rencana Anindya, dan aku harus patuh.

Jam di tanganku menunjukkan pukul 22.20. Dua menit lagi. Aku mengambil napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meski detak jantungku semakin cepat. Suara terakhir dari para penonton yang meninggalkan teater akhirnya lenyap, meninggalkan aku dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 22.22, aku dikejutkan oleh suara keras. Roats mengumpat dengan kencang dan membanting handphone-nya ke lantai. Suara pecahan kaca bergema di teater yang hening. Tanpa banyak bicara, dia bangkit dari kursinya dan keluar dengan cepat melalui pintu darurat di sisi panggung.

Aku segera berdiri, berniat untuk mengikutinya, namun tiba-tiba mataku menangkap sosok lain. Di seberang barisan tempat dudukku, masih ada seorang pria yang juga mengenakan baju serba hitam dan masker. Dia tampak mengamati setiap gerak-gerik Roats. Saat pria itu beranjak dan mengikuti arah Roats, sesuatu dalam benakku terklik. Aku terdiam sejenak, mengingat sesuatu yang pernah kulihat. Itu jaket hitam yang dikenakan Eja di salah satu postingan instgramnya.

“Eja?” Aku bergumam lirih.

Di sisi lain, aku melihat Pria juga mengenakan jaket hitam yang sangat kukenali. Itu jaket milik Ebra. Sontak aku tersadar, itu pasti Ebra yang berusaha mengamankan situasi tanpa memberitahuku.

Tidak ingin kehilangan jejak, aku segera berlari mengikuti Roats. Detak jantungku berdegup kencang, setiap langkah terasa mendesak di bawah sepatu yang menginjak karpet teater yang tebal. Ketegangan semakin memuncak saat aku mendekati pintu darurat. Aku tahu bahwa di balik pintu itu, segala kemungkinan bisa terjadi.

Aku keluar melalui pintu darurat, menyusuri koridor gelap yang hanya diterangi oleh lampu darurat yang redup. Di depan sana, aku bisa melihat bayangan Ebra yang bergerak cepat, mengejar Roats yang sudah lebih dulu keluar. Aku harus mempercepat langkahku.Tapi pria yang tadi kupikir Eja, juga berlari cepat mengikuti Roats. Kini rasanya Roats seperti buronan yang sedang diselidiki diam-diam oleh beberapa orang.

"Ebra!" panggilku dengan suara yang nyaris terbisik, berharap dia mendengarku tanpa menarik perhatian Roats. Namun, tidak ada waktu untuk menunggu reaksi. Aku terus berlari, bertekad untuk tidak kehilangan mereka. Malam yang dimulai dengan pertunjukan balet yang memukau ini kini berubah menjadi sebuah pengejaran penuh ketegangan. Aku harus menemukan jawaban dari semua misteri ini dan memastikan bahwa aku, Ebra, dan Anindya aman dari ancaman yang ada.

***

Roats berhenti di flyover dekat teater, dia menghampiri mobilnya yang sudah ada dua orang di sana. Aku bersembunyi di balik pohon besar, memperhatikan gerak-gerik Roats dengan cermat. Begitu juga Ebra, yang diam-diam menguntit dari balik tembok flyover, pandangannya tak pernah lepas dari target.

Suasana malam itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara mobil melintas di kejauhan. Jantungku berdegup kencang, merasakan ketegangan yang menyelimuti sekeliling. Aku melihat seorang pria lain, yang kukira adalah Eja, juga turut memperhatikan gerak-gerik Roats dari sisi lain jalan.

Roats berbicara dengan dua awak di dekat mobilnya, sesekali mengeluarkan sesuatu dari dalam mobil. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi gestur mereka tampak serius dan penuh amarah. Sesuatu yang besar tampaknya sedang direncanakan.

Aku mengikuti gerakannya dengan cermat, bersiap untuk bertindak jika keadaan memanas. Pria yang kukira Eja juga tetap di posisinya, memberikan sinyal kepada kami untuk tetap waspada.

Tak lama kemudian, aku melihat Anindya datang dipaksa oleh dua anak buah Roats mendekati Roats. Mereka memegang kedua lengannya erat-erat, seolah tidak memberinya ruang untuk melawan. Wajah Anindya tampak pucat dan ketakutan, namun sorot matanya tetap menunjukkan keberanian yang luar biasa.

Roats menyentuh dagu Anindya dengan lembut, sebuah gerakan yang tampak kontras dengan kekejaman di matanya. "Buka tas itu," perintahnya kepada salah satu anak buahnya. Dengan tangan gemetar, pria itu membuka tas besar yang tadi dikeluarkan dari mobil.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat isinya, seorang gadis terbaring di dalam, tubuhnya dilumuri banyak darah. Adegan mengerikan itu membuat perutku mual. Spontan Anindya berteriak histeris, wajahnya semakin ketakutan. Aku pun di sini berusaha membungkam mulutku agar tidak ikut berteriak, merasakan ketakutan yang sama menyelimutiku.

Aku tidak bisa hanya diam saja. Tanpa berpikir panjang, dengan hati-hati aku melangkah mundur pelan-pelan, berusaha agar tidak terlihat oleh Roats dan para anak buahnya. Sebelum pergi, aku memberi isyarat pada Ebra agar tetap mengawasi Anindya. Dia mengangguk paham, matanya tetap fokus pada situasi yang mencekam.

Aku akhirnya berlari kembali ke depan teater. Air mata yang tadi kutahan langsung mengalir deras. Tubuhku melemas, dan aku terjatuh menyentuh tanah. Namun, benar aku takut, tetapi Anindya di sana pasti lebih takut. Dia menyuruhku ke sini untuk menyaksikan langsung Roats yang memperlakukannya dengan kejam agar aku menolongnya, jadi aku tidak boleh hanya diam.

Segera aku bangkit, meskipun tubuhku gemetar hebat. Dengan tangan bergetar, aku bergegas melakukan panggilan video pada Anindya. Tidak perlu menunggu lama, layar ponsel menampilkan wajah Anindya yang pucat dan penuh ketakutan.

“Aku sudah nunggu di sini setengah jam, tapi kayaknya teater sudah selesai,” ujarku berusaha menunjukkan wajah tenang. Jelas saja, Anindya bingung kenapa aku malah menghubunginya lewat panggilan vidio.

“Ngapain ke teater? Anindya bingung dengan wajah pucatnya. Terlihat jelas dia gemetar karena mungkin sedang diawasi Roats di sana.

“kamu lupa? Tadi aku bilang pengen banget lihat pertunjukkan balet karena aku belum pernah melihatnya sapanjang hidup, mungkin aku telat, kelihatannya sudah selesai, ya, teaternya?”

Aku berbicara dengan lihai seolah benar-benar tidak tahu apa-apa. Sedangkan Anindya, wajahnya bercucuran keringat, riasannya hampir luntur namun masih nampak cantik.

“Ha?” Anindya bingung belum memahami maksudku. Dia tetap nampak gemetar, bahkan lebih parah dari sebelumnya.

“Ah, mungkin lain kali saja. Kalau gitu gimana sekarang kita cari makan, aku belum pernah mencoba kuliner malam di Jogja. Kamu juga pasti belum jauh dari teater, kan. Mari makan bersama, sebagai rekan kerja,” ujarku. Anindya terdiam, matanya memalingkan layar handphone. Sepertinya Roats sedang mencekamnya.

“Mau? Kalau mau kita ketemuan di flyover, kebetulan mobilku parker di dekat sana,” kataku sambil melangkah pelan kembali kea rah flyover.

“Aku kebetulan ada di flyover sekarang,” balas Anindya menguatkan suara. Aku tersenyum simpul, dan mempercepat langkahku, Anindya juga langsung memutus panggilan begitu saja.

Setelah mendekati flyover, aku melihat Anindya sudah melemas terduduk di bawah terowongan flyover, Roats dan para awaknya sudah menghilang pergi begitu saja. Cepet-cepat aku berlari menghampirinya, begitu juga Ebra, dia tidak kalah cepat berlari menghampiri Anindya. Pandanganku sempat menyisir seluruh jalan, pria berjaket hitam yang kukira Eja tadi, juga sudah tidak terlihat.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!