Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Rindu Mantan Menantu
"Kartu Anda, Pak!" Seorang kasir mengembalikan kartu milik Arman. Arman pun menerima kartu itu dan menyimpannya. "Terimakasih!" katanya.
Arman pun bergegas meninggalkan toko. Tangannya menenteng dua kotak berisi tas yang rencananya akan dia berikan pada istri dan ibunya. "Mama dan Sandra pasti suka."
Ya, seperti itulah Arman yang sekarang. Pria itu menikmati hidupnya yang menyenangkan. Jabatan mentereng, harta melimpah, istri yang cantik serta ibu yang baik.
Gaya hidupnya jelas berubah. Dia bahkan sempat berpikir bahwa menceraikan Nisa dan menikahi Sandra adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.
Apapun yang Sandra minta, Arman pasti akan menurutinya. Seperti hari ini misalnya. Setelah mengetahui calon anak mereka berjenis kelamin laki-laki, Arman langsung membeli tas branded yang Sandra inginkan.
"Sayang, aku pulang!" Tak sampai lima belas menit, Arman pun sampai rumah dan orang pertama yang dia cari adalah Sandra. "Lihat, aku membawa hadiah untukmu!"
Pria itu tersenyum lebar, memberikan hadiah untuk istri kesayangannya. Sandra yang saat itu sedang menikmati secangkir teh pun menyambut kedatangan Arman dengan senyum lebar.
"Ya ampun, Mas?" Sandra membuka tas itu dan mencobanya. "Bagus banget! Makasih, ya, Mas?"
Wanita itu menghambur ke pelukan Arman. Mendapatkan hujan ciuman di perut dan wajahnya dari suami yang memperlakukannya layaknya ratu. "Kamu suka?" tanya Arman.
"Banget!" Sekali lagi, Sandra memeluk Arman. Tapi matanya fokus melihat tentengan di tangan Arman yang lain. "Itu apa, Mas?"
"Oh, ini? Ini untuk mama." Arman menunjukkan tentengan itu. Lalu mencari sosok Widuri yang tak terlihat batang hidungnya. "Ngomong-ngomong, mama mana?"
Seperti yang sudah-sudah, Sandra memberikan respon yang kurang menyenangkan. Wanita itu melengos dan menjawab, "Mama lagi sibuk tuh di dapur."
Arman mengangguk tanda mengerti. "Mas ke dapur dulu, ya?"
"Nggak usah!" Sandra menahan lengan Arman. "Nanti kalau udah selesai mama pasti kesini, kok!"
"Selesai?" Dahi Arman mengkerut mendengarnya. "Memangnya mama lagi ngerjain apa?"
Penasaran, Arman pun mencari ibunya di dapur. Kalau boleh jujur, dia mulai berprasangka buruk sekarang. Jangan-jangan Sandra meminta ibunya melakukan sesuatu yang tak manusiawi lagi.
Wajar kalau Arman berpikir demikian. Karena satu bulan yang lalu, dia memergoki ibunya mencuci setumpuk baju menggunakan tangan.
Lalu, minggu lalu Arman melihat ibunya melakukan semua pekerjaan rumah yang harusnya dilakukan oleh pembantu mereka. Saat ditanya mengapa, Widuri hanya mengatakan bosan. Jadi dia memecat pembantu mereka.
Dan setelah ditelusuri, ternyata Widuri melakukan itu atas perintah Sandra.
"Ma?" Arman berteriak. "Mama ngapain jam segini masih di dapur?" tanyanya.
Pria itu masih menyunggingkan senyum tipis tadi. Tapi senyumnya langsung hilang setelah melihat apa yang sedang dilakukan ibunya sekarang.
"Arman?" Widuri memelotot. Tidak menyangka Arman akan pulang secepat ini. Dia pun segera menyembunyikan makan malam yang belum sempat dia sentuh. "Kamu sudah pulang, Nak?"
Wanita itu menyambut Arman dengan senyuman hangat, tapi Arman mengabaikannya. Pria itu lebih tertarik untuk melihat apa yang ibunya sembunyikan.
"Apa ini, Ma?" Suara Arman mulai bergetar. "Mama makan makanan seperti ini?"
"Bukan!" Widuri segera memutar otaknya. Mencari alasan yang masuk akal agar Arman tidak marah.
Tapi Sandra yang ikut ke dapur justru menjawab, "Daripada dibuang, mending biar dimakan sama mama kan, Mas?"
"Kamu yang minta mama makan makanan ini, San?" tanya Arman
"Iya." Sandra menjawab tanpa rasa takut. "Memangnya kenapa? Kan masih bagus, Mas?"
"Bagus kamu bilang?" Arman tak kuasa lagi menahan amarahnya. Pria itu melemparkan menu makan malam Widuri yang berisi lauk pauk basi serta ke nasi yang mengering. "Kalau begitu, kamu saja yang makan!"
Sandra, dulu perempuan itu tidak begini. Tapi sikapnya berubah seiring berjalannya waktu. Dan itu dimulai ketika Sandra resmi menyandang status sebagai istri Arman.
"Mas, Sandra lagi hamil loh!" Sandra mundur beberapa langkah. "Kok kamu tega sih bentak-bentak Sandra? Kalau ada apa-apa sama bayi Sandra gimana?"
Sayangnya, Arman tidak sedang ingin mengalah lagi. Pria itu menghampiri Sandra dan menarik tangannya.
"Cepat!" Arman memaksa Sandra. "Minta maaf sama mama sekarang!"
"Nggak!" tolak Sandra.
"Aku bilang cepat minta maaf!" Kali ini, Arman benar-benar serius dan ini adalah kali pertama Arman membentaknya.
Di perlakukan seperti itu, Sandra bukannya meminta maaf. Dia malah bersikap seolah paling tersakiti. Wanita itu menghentakkan kakinya, lalu pergi ke kamar sambil menangis.
Sementara itu, menyadari pertengkaran mereka disebabkan olehnya, Widuri pun membujuk Arman agar menyusul Sandra.
"Arman!" Widuri memegang tangan Arman. "Cepat susul dia. Dia sedang hamil. Kalau ada apa-apa sama anak kamu gimana?"
"Ma?" Arman memeluk ibunya dengan mata memerah.
Sebenarnya, dia pun ingin menyusul Sandra dan membujuknya seperti biasa. Tapi kelakuan Sandra semakin kelewatan dari hari ke hari.
"Arman keluar dulu, ya?" Arman menghela nafas berat. "Nanti Arman pesenin makan malam yang baru buat mama."
Akhirnya, pria itu pun pergi. Sementara Widuri masuk ke kamarnya dengan perasaan yang tak bisa dia artikan.
Dadanya terasa sesak dan rasa sakit seperti ini tidak pernah dia rasakan selama Nisa jadi menantunya.
Dalam kesendiriannya itu, Widuri merenung di depan cermin. Memperhatikan dirinya dan membandingkan penampilannya yang dulu dengan yang sekarang.
"Apa ini aku?" Widuri memegang wajahnya yang semakin tak terawat. "Kenapa sangat berbeda?"
Sekelebat bayangan Nisa pun muncul dan untuk yang pertama kalinya Widuri tersenyum mengingat Nisa. Seandainya saja anak itu masih menjadi menantunya, Widuri pasti tidak perlu melakukan semua ini.
Dia hanya perlu menikmati hidup karena Nisa sudah melakukan semuanya seorang diri. Makanan favoritnya, cemilan kesukaannya, Nisa tak pernah lupa menyediakan untuknya. "Nis, mama kangen!"
Perlahan, Widuri bangkit dari duduknya. Wanita itu memperhatikan setiap sudut kamar yang jauh lebih besar dari kamarnya yang dulu.
Tapi malam ini, Widuri merindukan kamar lamanya itu. Kamar yang kecil dan rumah yang kecil, tapi penuh dengan cinta berkat sentuhan Nisa.
"Kemana perginya anak itu sekarang?" Widuri membuka tirai kamarnya dan melihat tetesan hujan yang mulai turun. "Dia tidak kedinginan di luar sana, kan?" gumam Widuri sebelum menangis karena merindukan Nisa.
***