Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Medina buru-buru mengambil tisu untuk mengelap mulut dan hidungnya. Hidung sudah mulai banjir dengan sesuatu, dan mulutnya sudah seperti ingin menghembuskan api.
‘Nih seblak keterlaluan banget 'sih pedesnya.’
Tangan Medina terulur untuk menggeser gelas berisi jus jeruk mendekat ke mulutnya. Tapi matanya malah tak sengaja bersitatap dengan Halim yang duduk berjarak 3 meja darinya.
Medina terpaku. Apalagi saat pria tampan maskulin itu tersenyum lembut padanya.
Medina mengerjapkan mata beberapa kali. Paru-parunya sudah terasa susah untuk bernafas. Jantungnya juga tiba-tiba sudah mendugem ajeb-ajeb dengan kerasnya. Eh, astaghfirullah!
Setelah sadar, Medina langsung menatap objek lain. Ah, sial! Sekarang Medina malah menatap nanar seblaknya yang tinggal separuh di dalam mangkuk itu.
‘Ini kalau dilanjutkan makan, pasti groginya gak karuan! Seakan-akan lagi disidang. Duh, seblak!’
Nona yang baru saja kembali dari memesan nasi goreng dan duduk di samping Medina, lantas mengernyit.
“Me, lu kenapa?”
Medina gugup. Keringat mulai membasahi keningnya.
Nona jadi khawatir. Dia mengguncang pelan bahu Medina. “Me, lu kenapa? Elu sakit? Apa elu kesurupan? Ya kali kalau elu kesurupan. Secara lu taat ibadah! Setan sih takut sama elu.” Nona nyerocos terus.
Medina menghembuskan nafas gelisah. Bukan gelisah karena ada Halim saja, tapi juga bacotan Nona yang membuat telinga Medina agak berdengung.
“Gak!”
“Eh buset! Lah? Jadi kenapa?”
Nona menahan kentut. Kalau Medina bukan temannya, sudah dia cekikkan dari tadi kayaknya. Nona mendengus. Lebih bagus dia makan saja. Baru saja membaca basmalah dan hendak menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya, tapi matanya langsung melebar-ketika tahu apa sebabnya Medina jadi agak meriang. Merindukan kasih sayang. Eaaak.
Senyum jahilnya langsung muncul. “Eh, eh! Gue tahu apa alasannya elu jadi begitu? Uhuy.” Nona Menaik turunkan alisnya.
Medina mendelik. “Apaan ‘sih lu!”
Nona kembali melirik Halim yang sedang makan itu. Modusnya saja makan, tapi matanya tak lepas dari memandangi Medina.
“Me, coba elu perhatikan ‘deh.”
“Apa?”
“Perhatiin ‘deh Pak Halim!”
“Ck! Untuk apa?”
“Katanya elu mau tahu dia beneran suka atau gak sama elu! Ck! Gimana ‘sih lu!”
Medina terdiam. Masih mencerna ucapan Nona. Tapi Medina perlahan-lahan mengangkat wajahnya dan menatap Halim. Halim kembali tersenyum hangat padanya.
‘Tapi! Kalau seandainya dia memang suka sama gue, apakah gue pantas punya rasa suka juga sama dia? Apa yang gue punya, sampai-sampai dia bisa suka sama gue? Lagi pula, kalau cowok suka sama cewek, apa memang main tatap-tatapan gini, ya? Tatap-tatapannya sampai kapan? Apa sampai matanya lepas?’
Hatinya bermonolog tidak karuan. Tapi diam-diam Medina menyimpan kagum dalam hatinya. Apalagi ketika Halim tetap memandanginya walau di dekatnya begitu banyak siswi-siswi yang lebih cantik darinya. Hem, ada nilai plus sedikitlah di hati Medina.
Medina jadi ingin teriak heboh seperti yang lainnya, saat melihat Halim tertawa lepas dengan Abbas-si Guru baru. Tapi teriaknya cukup dalam hati aja ya, ges?
‘Gue akui! Dia memang ganteng banget, Ya Allah. Naneun neoreul joahae. Eh?’
Halim yang sudah selesai bercengkerama dengan Abbas, kembali melirik Medina yang ternyata juga sedang menatapnya. Deg deg ser gimana gitu yang Halim rasakan.
Tatapan mata Medina yang lembut dan tajam itu berpadu menjadi sebuah kata indah untuk Halim. Halim bisa merasakan gadisnya itu malu-malu saat membalas tatapannya.
Karena Medina masih bisa tertawa dan mengobrol dengan temannya. Tetapi menyempatkan mata indahnya itu untuk menatap Halim.
“Bang, lihatin siapa ‘sih?” Abbas menyenggol lengan Halim.
Abbas dari tadi bingung melihat tingkah Halim. Makan ataupun minum tetap dilakukan si beliau ini, walau matanya selalu mengarah lurus ke depan.
Siswi-siswi genit yang ada di hadapan mereka yang berisiknya tak ampun ini pun, bagaikan makhluk goib di mata Halim.
“Egh, Anak-anak Bapak. Bisa pindah ke mejanya masing-masing?” suara bariton Abbas menginterupsi mereka.
Walau rasanya tak rela, mereka tetap pindah juga ke meja masing-masing.
“Alhamdulillah,” ucap Halim bersyukur.
Abbas menoleh dengan mimik tak mengerti. “Eh, kenapa, Bang?”
“Alhamdulillah mereka minggat juga akhirnya.”
Abbas nyengir. Tangannya terangkat untuk mengusap tengkuknya. “Hehe, saya ngusir mereka karena ada sesuatu, Bang.”
Halim menaikkan alisnya sebelah. “Maksudnya?”
“Dari tadi Abang natap ke depan terus. Makan, minum juga natap lurus ke depan terus. Sambil senyum-senyum lagi. Saya jadi penasaran siapa yang buat Abang gitu. Hehe, maaf kalau lancang, Bang.”
Halim terkekeh. “Kamu mau tahu, Bas?”
Abbas mengangguk dengan semangat. “Jelas mau, Bang!”
Halim manggut-manggut. “Hah, kalau gitu, coba jawab dulu pertanyaan Abang. Berapa turunan dari f(x) \=-2x⁴- 3x².”
Abbas melongo. Dia garuk-garuk kepala yang sepertinya tidak gatal. “Buset, Bang! Mana ngerti saya itu!”
Halim tertawa lebar. “Kalau gak bisa jawab, ya kamu gak dapat jawaban dari Abang, Bas!” Halim memanggil salah satu pelayan kantin.
“Iya, Pak?” Pelayan kantin berjenis betina itu langsung senyum-senyum minta ditampol saat mendekat pada Halim.
“Berapa semua?”
“Gocap rupiah, Pak.” Pelayan itu grogi berdiri di dekat Halim. Dia terus saja mengusap pipinya yang terasa panas.
Halim mengernyit. “Hah?”
“Eh, maksud saya semuanya jadi 50 ribu, Pak.”
Halim mengeluarkan selembar uang merah dari kantung celananya. “Sekalian bayarin punya murid saya yang itu, ya?” Halim menunjuk ke arah Medina yang sibuk mengobrol dengan temannya.
Abbas mengikuti arah jari Halim ke mana. Dia berdecak. ‘Ck, yang mana 'sih murid Bang Halim? Di sana 'kan banyak murid cewek.’
Bukan hanya Abbas saja yang tidak mengerti siapa manusia yang dimaksud Halim. Pelayan itu pun ternyata juga sama. Aigo!
“Maaf, Pak. Yang mana, ya? Soalnya di situ banyak murid cewek.”
Halim ingin tepuk jidat. Dia lupa kasih tahu.
“Itu, yang pakai jilbab panjang,” jelasnya singkat.
Pelayan itu langsung memicingkan mata tak suka. Tapi mau bagaimana lagi, memang dia cantik.
Abbas ikut memperhatikan dengan saksama. Di sana Cuma ada satu gadis yang memakai jilbab panjang. Matanya langsung membulat. Detak jantungnya seakan ingin melompat.
‘Subhanallah! Itu manusia apa bidadari?’
Abbas diam-diam tersenyum. Gadis itu kelihatan berbeda dari yang lain. Ah, entahlah! Abbas sendiri sampai bingung mendeskripsikannya bagaimana.
Kriiiing..!! Waktu istirahat sudah selesai. Diharapkan untuk para siswa-siswi segera masuk ke kelas. Kalau tidak bisa masuk kelas, mending masuk penjara saja!
Medina bangkit dari duduknya diikuti Nona. Mereka hendak membayar.
“Dek, punya kamu sudah dibayarin sama Guru kamu.”
Medina mengerutkan kening. “Hah? Dibayarin gimana maksudnya, Kak?”
“Dibayarin pokoknya. Bapak itu suka ya sama kamu, Dek?”
Medina diam dan tersipu. Nona menyenggol lengan Medina.
“Cie, cie.”
“Ah, apaan ‘sih?”
“Duh, Pak Halim! Medina aja yang dibayarin. Kenapa gue kagak, ya?”
........****........
Sepanjang pelajaran biologi , Medina mendadak jadi tidak fokus. Matanya ‘sih fokus menatap Guru yang sedang menjelaskan di depan, tapi tidak dengan pikirannya.
Di pikirannya, dibayari begini salah atau tidak, ya? Apakah dia harus gantiin uang Halim atau tidak, ya?
Dan masih banyak lagi pikiran-pikiran berseliweran aneh di kepalanya.
‘Seharusnya Pak Halim gak ngelakuin ini sama gue. Duh, apa iya kalau cowok suka sama cewek, harus dibayarin makan begini? Kenapa gue bodoh ‘sih sama hal beginian?’
Ujung-ujungnya Medina kembali berkonsultasi pada Pakar cinta alias Nona. Padahal cowok saja pun Nona tidak punya. Hadeh.
“Wahai Pasienku, ketahuilah! Itu tanda-tandanya Anda sedang dicintai oleh si beliau.”
Hem, entahlah. Medina tidak pernah yang namanya jatuh cinta. Dan tidak pernah dicintai oleh seorang lelaki sepertinya. Padahal dia tidak tahu saja, sudah berapa laki-laki di sekolah itu yang sudah mengambil antrian berharap menjadi kekasih Medina.
Dan beruntungnya Medina dengan pakaiannya yang tertutup, membuat para laki-laki lebih menaruh rasa kagum dari pada rasa suka untuk menjalin hubungan.
Toh, Medina pasti akan lebih suka dengan yang namanya hubungan halal. Yang dilandasi oleh pernikahan.
Maka dari itu, para laki-laki yang tergolong orang mampu, sudah menyiapkan investasi mereka di masa mendatang demi menghalalkan Medina.
Ah, seandainya Medina tahu semua itu. Pasti dia akan lebih bingung lagi. Masih disenyumi dan dibayari makan saja, sudah membuat dia kebingungan tidak menentu. Apalagi kalau tahu ternyata banyak yang mengantri?
........*****........