Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 MASA LALU CACA
Ibu mertua menggelengkan kepala dengan nada tenang, hampir menyakitkan. “Dengar, Caca. Dalam rumah tangga, nggak ada yang sempurna. Kalau Danu memilih untuk dekat dengan Belinda, mungkin itu karena dia merasa ada yang kurang di rumah. Sebagai istri, tugasmu bukan cuma mendampingi, tapi juga membuat dia bahagia. Kalau dia nggak bahagia, kamu harus cari tahu kenapa.”
Air mata mulai mengalir deras di pipiku. “Bu, saya ini istrinya, bukan boneka yang bisa disalahkan terus-terusan. Mas Danu yang mengkhianati janji kami, dan sekarang malah saya yang disalahkan? Apa Ibu nggak peduli kalau ini merusak keluarga kami?”
Namun, ia hanya menghela napas panjang. “Caca, saya ngerti kamu sedih. Tapi mungkin ini cuma fase. Kalau kamu mau rumah tangga ini tetap utuh, kamu harus lebih pengertian. Jangan terlalu keras pada Danu. Dia butuh ruang untuk berpikir.”
Aku berdiri dengan gemetar, merasa benar-benar dikhianati, bukan hanya oleh suamiku, tapi oleh keluarga yang seharusnya mendukungku. Dengan suara parau, aku berkata, “Terima kasih, Bu. Saya tahu sekarang saya benar-benar sendirian dalam masalah ini.”
Tanpa menunggu jawaban, aku pergi meninggalkan rumah itu, membawa luka yang semakin dalam.
“Caca, dengar baik-baik,” kata mertuaku dengan nada tegas. “Saya nggak mau menyalahkan siapa pun di sini. Tapi kalau Danu sampai seperti ini, pasti ada alasannya. Sebagai istri, kamu juga harus introspeksi.”
Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Bu, maksud Ibu apa? Saya sudah berusaha menjadi istri yang baik. Saya mendukung Mas Danu, saya selalu ada untuk dia. Apa itu masih kurang?”
Ibu mertua menatapku tajam, lalu menghela napas. “Caca, terus terang saja ya. Selama ini, apa sih yang kamu lakukan untuk Danu? Kamu cuma bisa menghabiskan uangnya. Belanja ini, belanja itu, tapi apa kamu pernah berpikir bagaimana caranya meringankan beban Danu? Dia kerja keras untuk kalian, tapi kamu malah sibuk dengan dirimu sendiri.”
Aku terkejut mendengar tuduhan itu. “Bu, saya nggak pernah minta macam-macam dari Mas Danu. Semua yang dia berikan, saya pakai untuk keluarga. Saya nggak pernah boros atau menghamburkan uang sembarangan!”
Tapi mertuaku hanya menggeleng, seolah tak percaya. “Kamu tahu, Caca, seorang laki-laki itu butuh istri yang bisa mendukung dia, bukan hanya secara moral, tapi juga dalam urusan kerja dan kehidupan sehari-hari. Kalau kamu hanya bisa mengeluh dan meminta, ya wajar kalau Danu merasa lebih nyaman dengan Belinda. Setidaknya, Belinda bisa memahami dia.”
Darahku mendidih mendengar nama itu lagi. “Bu, saya istri Mas Danu! Bukan Belinda! Dia punya hak apa untuk masuk ke pernikahan kami? Dan soal uang, apa Ibu tahu seberapa sering saya harus berhemat untuk menyesuaikan pengeluaran kami?”
Mertuaku mengangkat alis, seolah tak peduli dengan pembelaanku. “Caca, kenyataannya kamu cuma bisa bergantung pada Danu. Kalau kamu benar-benar istri yang baik, kamu harusnya tahu bagaimana cara membuat suamimu merasa dihargai. Bukan malah jadi beban.”
Air mataku mulai mengalir tanpa bisa ditahan. “Jadi, Bu, sekarang Ibu mendukung perselingkuhan Mas Danu? Karena menurut Ibu saya ini cuma beban?”
“Bukan begitu, Caca,” katanya dengan nada yang hampir menyakitkan karena dinginnya. “Tapi kalau Danu merasa lebih nyaman dengan Belinda, saya nggak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Belinda itu perempuan yang mandiri. Dia paham bagaimana mendampingi laki-laki seperti Danu.”
Aku menatap mertuaku dengan rasa sakit yang tak bisa kuungkapkan. “Bu, apa Ibu pernah berpikir kalau saya juga manusia? Kalau saya sudah berusaha keras menjaga rumah tangga ini, tapi malah dikhianati? Apa saya ini nggak berarti sama sekali di mata Ibu?”
Mertuaku hanya menatapku tanpa ekspresi. “Caca, ini bukan soal perasaanmu. Ini soal kenyataan. Kalau kamu mau mempertahankan rumah tangga ini, ubah dirimu. Berhenti menyalahkan orang lain, dan lihat apa yang bisa kamu perbaiki.”
Aku berdiri dengan tubuh gemetar. “Terima kasih, Bu. Sekarang saya tahu, saya nggak hanya kehilangan suami, tapi juga kehilangan rasa hormat dari keluarga ini.”
Aku masih berdiri di ruang tamu itu, bersiap melangkah pergi dengan hati yang remuk, ketika suara ibu mertuaku menghentikan langkahku.
“Caca, tunggu sebentar,” katanya dengan nada sinis. “Ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu sebelum kamu pergi. Kamu pikir saya nggak tahu siapa kamu sebenarnya? Masa lalu kamu... saya sudah tahu semuanya.”
Aku berbalik, keningku berkerut. “Maksud Ibu apa?” tanyaku dengan suara gemetar.
Dia berjalan ke meja, mengambil amplop cokelat, lalu mengeluarkan beberapa foto dari dalamnya. Dia menyerahkan foto-foto itu kepadaku. Tanganku gemetar saat melihat gambar-gambar itu.
Foto-foto itu menunjukkan aku bertahun-tahun yang lalu, masih muda, berada di klub malam dengan pakaian yang sangat minim. Aku dikelilingi oleh laki-laki bertelanjang dada, dengan wajahku yang terlihat seperti sedang bersenang-senang tanpa beban.
Jantungku hampir berhenti berdetak. Tubuhku terasa kaku, tak bisa bergerak. “Bu... dari mana Ibu dapat foto-foto ini?” suaraku hampir tak terdengar.
Dia tersenyum dingin. “Caca, jangan pura-pura kaget. Saya punya sumber saya sendiri. Saya tahu kamu bukan perempuan suci yang pantas untuk Danu. Kamu pikir saya nggak tahu siapa kamu sebelum menikah dengan anak saya? Seorang perempuan yang menghabiskan malam-malamnya di tempat seperti itu, berpakaian seperti itu, dan dikelilingi laki-laki? Apa itu istri yang pantas untuk Danu?”
Aku mencoba bernapas, tapi rasanya udara tidak masuk ke paru-paruku. “Bu, itu masa lalu saya... Saya sudah berubah! Saya meninggalkan semua itu sebelum menikah dengan Mas Danu! Itu bukan saya yang sekarang!”
“Berubah?” katanya sambil mendengus. “Mungkin kamu bisa menipu Danu dengan kepura-puraanmu, tapi saya tidak sebodoh itu. Saya selalu tahu siapa kamu. Dan sekarang, kalau Danu lebih memilih Belinda—perempuan yang punya masa depan cerah dan bukan perempuan seperti kamu—saya sepenuhnya mendukung dia.”
Aku menatapnya dengan air mata yang mengalir deras. “Bu, saya manusia! Saya punya masa lalu, iya, tapi saya berusaha keras untuk meninggalkannya, untuk menjadi istri yang baik bagi Mas Danu. Apa semua itu nggak ada artinya?”
Dia mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. “Masa lalu nggak bisa dihapus, Caca. Dan saya nggak mau anak saya hidup dengan seseorang yang punya rekam jejak seperti kamu. Jadi kalau Danu menemukan kenyamanan di tempat lain, mungkin itu karena dia tahu siapa kamu sebenarnya.”
Aku berdiri di sana, tubuhku kaku, pikiran dan perasaanku kacau. Dengan suara serak dan penuh kepedihan, aku berkata, “Terima kasih, Bu, karena telah menunjukkan siapa diri Ibu sebenarnya. Saya mungkin punya masa lalu, tapi setidaknya saya tidak pernah merusak rumah tangga orang lain.”
Tanpa menunggu tanggapan, aku berbalik dan melangkah pergi. Tapi di dalam hatiku, rasa syok dan penghinaan itu terus menghantui, seolah-olah setiap langkahku meninggalkan jejak luka yang tak akan pernah sembuh.
Amarahku membuncah saat langkahku meninggalkan rumah mertuaku. Tangan dan tubuhku bergetar bukan hanya karena rasa syok, tapi juga karena rasa murka yang tak tertahankan. Aku tahu pasti siapa dalang di balik semua ini—Mbak Dina.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya