Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : RENCANA SARAH
Zefon menghela napas panjang dengan wajah yang memerah. Tapi manik elangnya justru semakin menyorot Yura semakin tajam. Raut wajahnya justru begitu dingin. Ia mendorong Yura setelah berhasil membantu gadis itu berdiri tegap. Berdehem sejenak sembari mengibaskan jas mahalnya.
“Masuk ke mobil!” tegas lelaki itu melenggang lebih dulu dengan kaki panjangnya. Kesal sekali, baru kali ini dibuat salah tingkah oleh seorang gadis.
Zefon sudah duduk lebih dulu di balik kemudi. Melongokkan kepala pada Yura yang tengah menyusulnya. “Lambat sekali melebihi siput!” sentaknya kesal sekali. Tidak ada niatan membentak, hanya saja ia ingin menutupi rasa malunya.
Yura pun segera berlari dengan kaki jenjangnya, segera duduk di sebelah Zefon dan mengenakan sabuk pengaman. Mobil berwarna hitam dengan atap terbuka itu, tentu mulai melaju dengan kecepatan yang tinggi.
Rambut panjang Yura bahkan sampai berurai ke mana-mana. Akan tetapi ia tidak berani protes. Memeluk tasnya erat-erat, menatap lurus ke depan. Dalam hati ia juga tengah merapalkan segala jenis doa sebisanya.
Tak butuh waktu lama, mobil berhenti di sebuah gerbang yang menjulang tinggi, sensor yang menyala seketika membuat pintu gerbang terbuka lebar.
“Tinggallah di sini untuk sementara waktu. Demi keamanan kamu!” ucap Zefon ketika mobil memasuki mansion mewah miliknya. Sengaja kembali membawa ke sana, karena tahu orang tuanya tengah berada di luar kota selama beberapa waktu.
Sudah pernah ke sana, namun Yura tetap membeliak melihat sekelilingnya yang bak istana. Karena sebelumnya, ia tidak begitu memperhatikan. Selain karena sakit, juga terburu-buru ingin segera kembali pulang.
“Mmm, Tuan. Apakah ada perkembangan mengenai ibuku?” tanya Yura sebelum turun dari mobil.
“Belum! Matikan teleponmu!” sahutnya singkat lalu meninggalkan Yura di dalam mobil.
Mulut Yura baru saja terbuka, hendak bertanya alasannya. Akan tetapi langkah lelaki itu begitu cepat dan panjang.
“Ck! Kalau bukan untuk menguliti Sarah, aku malas berurusan dengan patung es seperti itu!” gerutu Yura mengentakkan kedua kaki, sembari menepuk pahanya dengan kesal.
Mau tak mau, Yura bergegas turun. Masih disambut begitu baik oleh para pelayan di sana. Yura merasa tak enak hati, ia takut Zefon mengamuk karena kepergiannya sebelumnya.
“Nona, mari saya tunjukkan kamar Anda,” ucap seorang pelayan.
“Syukurlah, enggak sekamar sama dia!” cetus Yura mengembuskan napas lega.
\=\=\=\=ooo\=\=\=\=
Kesibukan Zefon mengurus bisnis maupun klan mafianya, membuat lelaki itu jarang pulang. Akan tetapi ia selalu ada untuk mengantar maupun menjemput Yura di kampus. Selebihnya lelaki itu berada di kantor atau markasnya.
Zefon memberi Yura ponsel baru, hanya ada nomornya saja di sana, the one and only, satu-satunya. Dan ponsel lama masih mati sesuai perintah lelaki itu.
Rasa kesal mulai merambat di benak Zefon, ketika ia mengetuk berulang pintu kamar Yura. Sudah lima menit berdiri dan sama sekali tidak ada sahutan. Bahkan ingin rasanya menendang pintu itu saking kesalnya.
“Yura!” teriak Zefon yang entah ke sekian kalinya.
Pintu kamar terbuka, menampakkan Yura yang berat sekali membuka mata. Rambutnya masih acak-acakan. “Ada apa, Tuan?” ucapnya tanpa rasa bersalah sembari menguap.
“Brak!”
Zefon menendang pintu hingga membentur dinding. Sudah hampir jam 9, dan gadis itu justru baru bangun.
Sontak, dobrakan itu menarik kesadaran Yura sepenuhnya. Ia menegakkan tubuh dan berusaha membuka mata dengan lebar. Yura masih sangat mengantuk, karena semalam begadang menonton film sampai hampir pagi.
“Apa-apaan kamu jam segini masih tidur?” sentak Zefon.
“Ti... tidak, Tuan! Saya bangun! Kalau tidur ya masih di ranjang, dong!” sanggah gadis itu menautkan alisnya.
Geraham Zefon mengeras, ingin marah namun menahannya mengingat bentakannya mengundang perhatian para pelayannya. Semua pandangan mengarah pada interaksi dua orang itu. “Hah! Kau tidak kuliah apa?”
Yura menggeleng, “Enggak, aku diskors,” adu gadis itu menatap dengan mata polosnya.
“Skors? Kok bisa?” tanya lelaki itu. Karena kesibukannya, Zefon sampai tidak sempat memantau kegiatan Yura.
“Heem, gara-gara anak mama itu enggak terima aku bully balik. Lapor lah ke dekan.”
“Heh?” Zefon menaikkan sebelah bibirnya. “Ays! Sana mandi. Ada yang lebih penting saat ini! Urusan kampus serahkan padaku!” perintah Zefon mendorong kedua bahu Yura, agar kembali masuk ke kamar. “Lima menit dari sekarang!” teriak lelaki itu dari luar kamar.
“What?!” pekik Yura berlarian gugup di dalam sana.
\=\=\=\=ooo\=\=\=\=
Sesuai ucapan, Zefon kembali menggedor pintu kamar Yura setelah lima menit. Gadis itu hanya memakai celana jeans dan kaos berlengan pendek. Rambutnya disisir sambil berlari keluar. Ia hanya sempat mengenakan liptint berwarna pink. Kulitnya yang sudah putih bersih, tidak dandan pun sudah terlihat begitu mempesona. “Kita mau ke mana, Tuan?” tanya gadis itu setelah berdiri di hadapan Zefon.
Pria itu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu berbalik tanpa menjawab, melangkah dengan kaki panjangnya. Yura berdecak kesal, ia pun harus berlari kecil untuk menyamakan langkah Zefon.
Di mobil, tidak terdengar suara apa pun. Yura sibuk mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Lalu mengembuskan napas kasar dan fokus menatap ke depan. Meski penasaran, bertanya pun percuma, ia yakin Zefon tidak akan menjawabnya.
Hingga sampailah mobil tersebut di sebuah hunian seperti gedung tua yang tidak terawat. Kening Yura mengernyit dalam. “Kita di mana?” tanya Yura yang sudah di ambang batas penasaran.
“Sssstt!” Zefon meletakkan jari telunjuk di bibir Yura. Lalu mendekatkan tubuhnya pada Yura, memasangkan sebuah earphones kecil di salah satu telinga Yura.
Netra gadis itu tak berkedip, bahkan menahan napas ketika tubuh Zefon begitu dekat dengannya saat ini. “Dengarkan!” titah lelaki itu setelah meniup wajah Yura yang menatapnya sedari tadi. Ia mengetuk benda kecil di telinga Yura.
Beberapa bawahan Zefon menyusup ke dalam. Dan mereka membawa alat penyadap suara, yang langsung bisa didengarkan oleh Zefon dan Yura sekarang.
“Berapa lama obat ini akan bereaksi? Bisa langsung bikin mati, ‘kan?” Suara Sarah terdengar ketus. Detak jantung Yura bertalu dengan begitu kuat. Yura menoleh, saling menatap lekat dengan Zefon.
“Tidak! Paling lumpuh otak dan tubuhnya. Yang langsung mati masih diproduksi. Butuh beberapa bulan lagi mungkin,” sahut suara bariton yang Yura sendiri tidak tahu itu siapa.
“Ah, yaudah! Ini sisa pembayarannya! Awas saja kalau mengecewakan! Ini tinggal dicampur ke makanan atau minuman ‘kan?” tanya Sarah memastikan.
“Ya! Tuangkan saja! Tidak akan kelihatan!”
Bibir Yura bergetar, menoleh pada Zefon dan tanpa sengaja mencengkeram lengan pria itu. Napasnya mulai tak beraturan. Ketakutan sekaligus kekhawatiran menyergapnya.
‘Apakah ini rencananya membunuh ayah?’ batin Yura berkecamuk.
Bersambung~
Hai, Best....