Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. PERTENGKARAN
Sore itu merayap turun perlahan di langit kota, membawa semburat jingga keemasan yang menimpa kaca jendela apartemen luas milik Raven. Cahaya senja menelusup masuk, memantul pada lantai marmer putih yang mengkilap, menciptakan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan dingin yang merambat di dada Jessy sejak pagi.
Ia duduk di sofa ruang tengah, tangan meremas pangkuannya yang membesar oleh usia kehamilan tujuh bulan. Napasnya naik-turun tak stabil, bukan karena kondisi fisik semata, tetapi karena kecemasan yang amat menekan. Jessy mengelus bagian itu sambil berbisik pelan, entah pada bayinya atau pada dirinya sendiri.
"Ayahmu akan memberimu tempat ... harus," gumam Jessy lirih.
Namun suara itu tak cukup menenangkan. Setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk, menunggu Raven pulang dari kantor. Ia telah meneleponnya tiga kali sejak siang, namun Raven hanya menjawab singkat: "Nanti kita bicarakan di rumah."
Di rumah.
Sejak kapan tempat ini disebut rumah? Jessy menghabiskan enam bulan terakhir tinggal di apartemen ini, mengisi sunyi demi menunggu laki-laki yang pulang hanya ketika ia tak bisa pergi ke tempat lain. Namun ia tetap bertahan, menggantungkan seluruh hidup dan rasa pada janji: "Kalau kau hamil, aku akan menikahimu."
Janji yang kini terasa rapuh.
Pintu elektronik berbunyi singkat, menandakan seseorang memasukkan kode akses. Jessy menegakkan tubuhnya, memegangi perutnya dengan kedua tangan. Suara berat langkah sepatu formal terdengar makin dekat.
Raven masuk, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang belum sempat ia lepas. Rambutnya sedikit berantakan, tanda ia telah melewati hari yang panjang. Namun yang lebih jelas adalah wajah kesalnya, Raven pulang bukan dengan kepala dingin.
Jessy menelan ludah. "Raven?"
Raven melempar kunci mobil ke atas meja dan menghembuskan napas panjang, seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu yang melelahkan. Matanya mengarah pada Jessy yang duduk dengan mata sembab.
"Kita bicara sekarang?" Raven bertanya datar.
Jessy mengangguk perlahan.
Raven menarik napas dan duduk di sofa lain, sengaja menjaga jarak.
Jessy merasakan itu seperti tamparan.
"Aku ... ingin membicarakan tentang pernikahan kita," kata Jessy.
Raven mengusap wajahnya, frustasi sudah tersirat dari gerakannya.
"Jessy, kita sudah membicarakan ini berkali-kali," tukas Raven.
"Belum selesai!" potong Jessy, emosinya memuncak tiba-tiba. "Kau bilang sebelum aku hamil, kau sendiri yang bilang kalau aku mengandung anakmu, kau akan menikahiku. Sekarang kandunganku tujuh bulan, Raven. Tujuh bulan! Apa lagi yang harus aku tunggu?!"
Raven menegakkan tubuh. "Jessy, dengarkan aku dulu."
"Aku sudah mendengar! Selama berbulan-bulan aku mendengar alasanmu, alasan ayahmu, alasan keluargamu, alasan perusahaanmu. Tapi bagaimana denganku? Dengan anak ini?" Jessy menyentuh perutnya, suaranya pecah. "Kau tidak pernah memikirkan bagaimana aku melewati semua ini sendirian!"
Raven menggeser duduknya, rahangnya mengeras. "Ayahku tidak setuju, Jessy. Kau tahu itu."
"Kenapa aku harus peduli pada setuju atau tidak setuju? Kau bukan anak kecil! Kenapa kau tidak bisa memutuskan apa pun sendiri?!" seru Jessy.
"Jessy, aku bukan anak kecil, benar," ujar Raven, suaranya lebih dingin. "Tapi ayahku memegang semuanya. Termasuk hak waris, termasuk saham perusahaan, termasuk masa depanku. Kalau aku menikahimu sekarang, dia akan menarik semuanya dariku."
Jessy membeku.
Raven melanjutkan, nada suaranya lebih tegas, dan lebih tajam. "Ayahku sudah berbicara langsung. Dia bilang: 'Jika kau menikahi perempuan itu, aku akan mencabut hak warismu. Nama Wattson akan hilang darimu.' Itu bukan ancaman kosong."
Jessy terdiam, lalu perlahan berdiri meski tubuhnya berat.
"Jadi semua ini ... hanya soal warisan?" tanya Jessy pelan, terlalu pelan untuk menutupi sakit di baliknya.
"Ini soal hidupku, Jessy. Masa depanku. Masa depan anak ini juga!" Raven membalas.
"Anak ini?" Jessy tertawa hambar. "Kau bahkan belum menyentuh perutku sebulan ini! Kau bahkan tidak bertanya bagaimana kondisinya!"
"Jessy-"
"Kalau benar masa depan anak ini kau pikirkan, kau akan menikahiku tanpa mempertimbangkan apa kata ayahmu!" Air mata Jessy jatuh. "Atau ... kau memang tidak pernah benar-benar menginginkanku?"
Raven terdiam. Bukan karena tidak ingin menjawab, melainkan karena setiap jawaban terasa salah.
Jessy memegangi dadanya, mencoba menahan gemuruh yang menyakitkan.
"Raven. Aku tinggal di sini. Sendirian. Menunggu. Memakan makanan yang kau suruh, minum vitamin yang kau pilih. Kau bilang kita akan menikah setelah trimester kedua. Kau bilang akan bicara dengan keluargamu. Kau ... kau membuatku percaya," ujar Jessy dengan suara bergetar.
Raven menutup mata dan mengusap pelipisnya. "Aku mencoba. Aku benar-benar mencoba bicara dengan ayahku. Tapi dia-"
"TIDAK PEDULI!" Jessy berteriak. "Tidak peduli! Aku tahu! Tapi kenapa itu membuatmu berpindah ke sisi ayahmu?! Kenapa kau tidak sekali saja berpihak padaku?"
Raven membalas dengan suara tinggi, suatu hal yang jarang ia lakukan.
"KARENA INI HIDUPKU, JESSY! Aku tidak bisa membuang segalanya hanya demi—-"
"Demi aku?" tanya Jessy, suaranya seperti pisau tumpul yang tetap menusuk.
Raven terdiam.
Keheningan turun perlahan, berat, menyesakkan.
Jessy mengusap matanya, air mata mengalir semakin deras.
"Aku malu ... karena seluruh dunia tahu aku selingkuhanmu. Aku penunggu bayang-bayang. Aku perempuan yang kau sembunyikan. Aku hanya ingin status jelas ... aku hanya ingin kau mengakui aku dan anak ini!" kata Jessy.
Raven mengepalkan tangannya.
Air mata Jessy menetes hingga membasahi gaun longgar yang ia kenakan.
"Raven ... aku bahkan tidak berani keluar rumah tanpa merasa semua orang memandangku seperti perempuan murahan. Kau janji padaku, kau janji akan memperbaiki semuanya. Kau janji akan menikahiku," kata Jessy.
Raven menggeser duduknya, wajahnya sempat melunak. "Jessy, aku mengerti perasaanmu, tapi-"
"Tidak. Kau tidak mengerti," bantah Jessy. Jessy mengangkat wajahnya, matanya memerah dan basah.
"Jessy-"
"Kau tahu apa yang paling aku takutkan?" potong Jessy. "Bahwa aku melahirkan anak ini ... tapi tidak punya siapa pun. Bahwa kau akan meninggalkanku begitu saja ketika semuanya sudah terlambat untuk kembali."
Raven melangkah mendekatinya, namun Jessy mundur selangkah. Ia mengangkat tangan, mencegah Raven mendekat.
"Kau tidak pernah memikirkanku. Hanya dirimu sendiri. Warisanmu. Nama keluarga Wattson-mu. Kau memilih itu daripada aku."
Raven menghela napas kasar. "Jessy, kalau aku kehilangan semua itu, bagaimana aku bisa menjamin kehidupan anak kita?"
"Kau tidak perlu kehilangan segalanya," jawab Jessy, suaranya memanas. "Kau hanya perlu menepati janji!"
Raven memalingkan wajah, tidak mampu menatapnya.
Lalu, kata-kata itu keluar, tanpa rencana, tanpa kendali.
"KALAU KAU MEMAKSAKU MENIKAHI MU, AYAH AKAN MENARIK HAK WARISKU! KAU TIDAK MENGERTI BETAPA SULITNYA POSISIKU!" seru Raven.
Jessy terpaku. "Kau lebih memilih kekayaan ... daripada aku?”
"Ini bukan hanya soal kekayaan-"
"LALU APA?!" Jessy menjerit. "APA?!"
Raven tidak menjawab.
Keheningan itu memberi jawaban yang jauh lebih kejam.
Jessy merasakan dunia runtuh.
Untuk beberapa detik, hanya suara napasnya yang pecah terdengar. Perutnya terasa keram atas semua emosi, Jessy mengusap perutnya sambil mengerang pelan.
"Baiklah," kata Jessy pelan, namun suaranya gelap. "Kalau begitu aku hanya tinggal mengambil keputusan sendiri."
Raven menegang. "Apa maksudmu?"
Jessy menatapnya, bola matanya merah, penuh luka dan amarah menyala yang belum pernah Raven lihat sebelumnya.
"Jika kau tidak mau menikahiku ..." Jessy mengambil napas panjang, lalu berkata dengan suara yang menusuk, "Aku akan menggugurkan anak ini."
Dunia seakan terhenti.
Raven memandang Jessy dengan mata membesar, wajahnya memucat seketika.
"Apa yang kau katakan?"
Jessy mengangkat dagunya, walau tubuhnya bergetar. "Aku akan mengakhiri kehamilan ini. Aku sudah bertahan. Aku sudah menunggu. Tapi kalau kau tidak mau bertanggung jawab ... maka aku tidak akan melahirkan bayi ini," katanya.
Raven langsung membeku mendengar hal itu, sebelum akhirnya murka keluar dari mulut Raven yang membuat Jessy gemetar takut, menyesal telah mengatakan hal itu.
kalo aku di depa Hans : Hans itu di gendong bukan malah dituntun woyyy, udah kesakitan itu paokkk, kapan sampe rumah sakit nya kalo di tuntun begitu, biar tambah bingung Hans nyaa 🤣🤣🤣
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
bab ini aku terhura 🥹
mirisnya hidup mu.