Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rayyan Witjaksono yang pernah tersakiti
Pletak...!
Dentuman bunyi Bolpoin itu telah memecahkan keheningan ruangan, sebuah bolpoin mahal itu telah melayang, mendarat telak di dahi Frans, sang Assisten yang kini tengah mematung, keberaniannya barusan telah berani menyebut nama wanita yang paling di haramkan oleh Tuannya. Seperti bunuh diri yang di sengaja.
Tuannya yang saat ini diselimuti oleh amarah yang panas membara menegakkan punggung dari kursi kulitnya, sorot matanya tajam dan menghukum.
"kau sedang cari mati, Frans? Atau nyawamu sudah tidak berarti lagi, hah? sudah berapa kali peringatan itu aku jejalkan di telingamu, kau bosan hidup Frans? Haram...haram bagiku mendengar satu kata dari nama wanita iblis itu.Tapi kau...kau malah menyebut namanya dengan sengaja, seolah menantang takdirmu!"
Frans tertunduk tak berani berkutik, keringat dingin mulai menjalar di sekujur tubuhnya, wajahnya berubah menjadi pias
"m...maaf beribu maaf Tuan, saya janji ini adalah yang terakhir!"
"sudahlah, enyah kau dari hadapanku! Kau telah membuat ku menjadi muak dan tidak berselera! Siapkan mobil untukku, aku ingin kembali ke Mansion!" perintahnya dengan sorot matanya yang tajam dan menakutkan.
Frans hanya menelan ludah saat Tuannya sudah bersikap marah seperti itu, ia pun merutuki diri sendiri karena telah menyebut nama Viona di hadapan Tuan Rayyan Witjaksono, sang mantan istri yang telah tega mengkhianati suaminya dengan cara berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, sungguh suatu pengkhianatan yang sangat menyakitkan.
.
.
Malam sudah mulai merayap saat mobil Rolls Royce berwarna hitam metalik milik Rayyan Witjaksono melaju perlahan memasuki gerbang utama Mansion Witjaksono. Dua tahun sudah Rayyan hidup dalam kegelapan emosi yang dipicu oleh pengkhianatan yang tak termaafkan.
Ia keluar dari dalam mobil, sosoknya menjulang tinggi, mengenakan setelan jas mahal yang membungkus tubuh atletis namun memancarkan aura dingin yang menusuk. Wajah tampannya, yang dulu dihiasi senyum hangat, kini hanya menyisakan pahatan ketegasan yang kaku.
Di ruang tamu utama, sosok yang paling ia percayai di dunia ini, Nyonya Martha Witjaksono, telah menunggunya. Namun, ada yang berbeda. Di sisi sang ibu duduk seorang wanita muda, anggun, dengan balutan gaun berwarna merah Maroon duduk di dekatnya. Senyum wanita itu terasa ramah, tetapi di mata Rayyan, semua senyum wanita hanyalah topeng penipu. Semuanya palsu.
"Rayyan, kau akhirnya tiba, Nak," sambut Nyonya Martha, sambil berdiri dan memeluk putranya dengan hangat, satu-satunya kehangatan yang masih bisa dirasakan oleh Rayyan.
Rayyan membalas pelukan ibunya sebentar, tatapannya langsung tertuju pada wanita asing di samping ibunya, tatapannya dingin dan menusuk.
"Ada apa ini, Bu? Aku tidak ingat ada janji temu hari ini." Ucapnya dengan suaranya yang rendah, datar, dan tanpa intonasi. Jelas menunjukkan ketidaksukaan atas kejutan ini.
Nyonya Martha tersenyum penuh harap, gestur yang sangat Rayyan kenali, yakni gestur yang selalu menandakan bahwa sang ibu akan memaksakan kehendaknya.
"Tentu saja ada janji, Sayang. Ibu ingin memperkenalkan mu pada Nona... Amanda ." Nyonya Martha menoleh pada wanita itu.
"Amanda, ini adalah putraku, namanya Rayyan."
Amanda berdiri dengan anggun, ia mengulurkan tangan.
"Selamat malam, Tuan Rayyan. Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda."
Rayyan menatap tangan yang terulur itu selama beberapa detik yang terasa sangat panjang. Ia tidak menyambutnya. Ia membiarkan tangan itu menggantung di udara.
"Kehormatan, Nona? Ok baiklah mari kita persingkat drama ini, Bu. Apa maksud dari semua ini?" Rayyan langsung duduk di sofa tunggal, dan mengambil jarak.
Wajah Nyonya Martha sedikit keruh karena rasa malu dan juga kesal, akan tetapi ia segera menguasai diri.
"Rayyan, bersikaplah sopan! Amanda ini wanita baik-baik dan dari keluarga terhormat. Ibu membawanya kemari untukmu. Ibu berharap... kalian bisa saling mengenal lebih jauh lagi."
Rayyan terdiam, pandangannya kini mengunci Amanda seolah sedang menganalisis serangga di bawah mikroskop. Amanda, meskipun terlihat terkejut dengan sambutan dingin itu, mempertahankan ketenangannya.
"Mengenal lebih jauh?" Rayyan menyandarkan punggungnya, seringai sinis terukir di bibirnya. "Untuk apa, Bu? Untuk menikahiku?"
Nyonya Martha mengangguk penuh semangat. "Tentu saja putraku! Sudah dua tahun ini kau menyendiri. Ibu ingin kau bahagia, Rayyan, dan sudah waktunya kau punya pendamping lagi!"
Rayyan tertawa, tawa hambar yang lebih terdengar seperti gerutuan. Suara itu begitu dingin, begitu kejam.
"Sayang sekali ya Bu. Nona Amanda, tidak akan peduli seberapa terhormat keluarganya, ia tidak akan pernah bisa menjadi pendampingku."
Rayyan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap tajam ke arah mata Amanda
"Aku tidak percaya pada wanita. Mereka semua sama. Begitu mereka tahu ada yang kurang dariku... begitu mereka tahu kau tidak bisa memuaskan mereka di atas ranjang... mereka akan pergi, bahkan setelah sumpah sehidup semati. Mereka akan mencari yang lain."
Suaranya Rayyan bergetar dengan kepahitan yang terpendam, mengacu pada tragedi pahit dua tahun yang lalu saat Viona mencampakkannya setelah kecelakaan mobil tiga tahun lalu yang meninggalkan Rayyan dengan luka fisik dan rasa trauma yang mendalam, termasuk impotensi yang tak tersembuhkan.
"Jadi, Nona Amanda, hematlah waktu Anda. Aku tidak butuh istri. Dan aku tidak butuh pengkhianatan kedua."
Kemudian Rayyan berdiri. "Maaf, Bu, saya lelah. Saya harap Anda bisa mengurus kepulangan Nona Amanda sekarang."
Rayyan berbalik, meninggalkan ibunya yang terkejut dan Amanda yang kini menatap punggungnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, seperti campuran rasa sakit, kejutan, dan mungkin, sedikit rasa iba. Kini hanya Nyonya Martha yang tersisa, satu-satunya wanita yang masih bisa Rayyan percaya di tengah puing-puing kepercayaan yang kini telah hancur.
Setibanya di dalam kamar, Rayyan mulai menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang tempat tidurnya yang mewah dengan ukuran king Size. Ia menatap langit-langit dan sekilas memori ingatan akan kenangan pahit dua tahun yang lalu kembali terlintas, dimana saat dirinya ingin memberikan kejutan berupa perayaan anniversary ke 2 pernikahan mereka, justru malah Rayyan sendiri yang mendapatkan kejutan tragis dari mantan istrinya.
Bagaimana tidak, ranjang tempat tidur yang biasanya ia gunakan untuk melepaskan rasa rindunya selama ini, serta rasa lelahnya kini telah ternoda oleh pengkhianatan Viona, Apartemen yang iya hadiahkan untuk istri tercintanya sebagai kado ulangtahunnya tiga bulan yang lalu, kini telah menjadi sarang pengkhianatan yang keji dan menjijikkan.
"Sial. Kenapa aku mengingat kembali kejadian menyakitkan ini?!"
Rayyan mengepalkan tangannya kuat-kuat, buku-buku jarinya memutih. Ingatan itu menyerang lagi, seolah proyektor di otaknya memutar ulang adegan yang coba ia kubur dalam-dalam.
"Setiap sudut apartemen itu... setiap bantal yang ku peluk... semuanya jadi saksi. Saksi kebohonganmu, Vio, Saksi kehancuranku."
"Katanya kita berbagi segalanya. Katanya ranjang ini adalah tempat teraman kita. Tempat kita merajut mimpi, tempat kita saling menguatkan. Tapi kau telah merusaknya. Kau kotori kesucian tempat itu dengan khianatmu."
"Dulu, saat kau memanggil namaku dengan lembut di ranjang itu, dan semua itu adalah musik terindah. Sekarang? Setiap kenangan itu seperti serpihan kaca yang menusuk-nusuk paru-paruku. Bagaimana bisa? Setelah semua yang kuberi, semua janji yang ku ucapkan... kau tega menginjak-injak harga diriku, cinta kita."
Bersambung...