Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kurir
Hari-hari Mitha kembali disibukkan dengan rutinitas seperti biasanya. Kuliah lalu kerja di toko roti hingga malam. Beberapa kali Abi, papanya menelepon dan menanyakan kabarnya. Tak jarang pria itu mengirimkan sesuatu lewat Bian karena merasa tak tega pada putri sekaligus menantunya itu. Abi memang belum bisa menjenguknya karena mamanya masih dalam perawatan dan sangat membutuhkannya. Demi mamanya, papa tersayangnya itu rela tak masuk kerja dan menyerahkan tanggung jawab perusahaan pada Elang untuk sementara waktu, dibawah pengawasan Bian tentu.
Mitha tersenyum senang kala papanya mengirimkan foto mamanya sudah mulai baikan dan memulai aktifitas ringan. Tak jarang Abi mengajaknya video call dengan Maria untuk melepas kangen tentu saja dengan alasan masuk akal kalau dia sedang di asrama hingga beberapa bulan kedepan sesuai dengan sekenario Abi.
"Mith." panggil Gea teman kerjanya dari arah meja kasir. Mitha yang baru saja melayani pelanggan mendekat padanya.
"Ya, Ge?"
"Maaf ya Mith, bisa minta tolong nggak?" ucapnya sungkan.
"Apaan Ge?"
"Antar pesenan orang. Taukan, kurir kita nggak masuk hari ini." Toko memang sedang ramai karena hanya ada tiga orang disana. Satu pekerja dan satu kurir tidak masuk hari ini. Terpaksa Mitha dan Gea turun tangan bergantian mengantarkan pesanan. Gea yang memang petugas kasir hanya mengantarkan pesanan jarak dekat saja, selebihnya adalah tugas Mitha karena dua lainnya adalah pengurus dapur.
"Owwhh..itu, sini biar kuantar."
"Ini pesanan dan alamatnya ya." Gea meletakkan sebuah kotak lalu kertas nota beserta alamatnya. Tak lupa dia menyerahkan kunci motor metic iventaris bos mereka pada Mitha yang langsung mengambil helmnya dan meluncur ke alamat yang akan dia tuju.
"Permisi, pesanan atas nama nona Sindy." katanya saat seorang wanita muda yang cantik dan elegan membuka pintu rumah besar itu.
"Ya itu saya." sahut si wanita sambil menerima kotak dari tangan Mitha dan mengulurkan uangnya. Mitha merogoh sakunya, mencari kembalian sesuai arahan Gea tadi.
"Oooww..rupanya jadi kurir sekarang?"
deggg.....
Dengan segera Mitha mengangkat wajahnya karena mengenal suara bariton itu. Elang, pria itu berdiri gagah di depannya dengan setelan kerja yang membuatnya sangat..sangat dan sangat tampan dan maskulin. Gerakannya seketika berhenti.
"Apa sekretaris pujaanmu itu sama sekali tak bisa mencukupi kebutuhanmu hingga menyuruhmu jadi kurir roti? lelaki macam apa dia itu? kalian berdua sama-sama menjijikkan." decih Elang sambil memindai tubuhnya dari atas ke bawah dengan tatapan menghina. Mitha menghela nafas panjang, menyerahkan kembaliannya pada Sindy.
"Jangan diterima yank, berikan saja pada kurir miskin ini. Sesekali biar dia bisa membeli makanan yang layak. Lihat, tubuhnya kerempeng begitu." hina Elang lagi. Apa tadi? dia memanggil wanita bernama Sindy itu 'yank' ahh ya Tuhan....apa mereka? membayangkannya saja sudah cukup membuat Mitha berkecil hati. Dibanding dia, tentu wanita bernama Sindy itu lebih diatas segalanya. Ya, harus Mitha akui jika Elang dan Sindy adalah pasangan serasi, apalagi Sindy juga wanita karir. Pakaian yang dikenakannya berkata demikian.
"Hmmm baiklah, kembaliannya untukmu saja dhek." sahut sindy kemudian dengan senyum ramahnya. Tapi Mitha menolak dan tetap meletakkannya diatas kotak roti dalam pegangan Sindy.
"Ini terlalu banyak untuk saya kak." balasnya lembut seraya tersenyum manis. Entah keberanian dari mana saat dia memilih menghadapi Elang setelahnya.
"Kak Bian tidak pernah menyuruh saya bekerja karena saya bekerja atas kemauan sendiri. Tidak seperti saya mengikutinya karena suami sayalah yang menyuruhnya. Saya rasa suami saya lebih tidak bertanggung jawab dari pada kak Bian. Terimakasih, saya permisi kak." dan setelahnya Mitha berlalu pergi dengan motor maticnya, meninggalkan Elang yang mengepalkan tangannya kuat.
"Kenapa Lang? kau kenal dia?" tanya Sindy setelahnya dengan wajah bingung karena melihat interaksi berlebihan Elang pada wanita muda pengantar kue tadi.
"Dia adikku." jawabnya datar.
"Adikmu, Paramitha?" tanya Sindi memastikan.
"Ya."
"Kau terlalu ketus padanya Lang."
"Dia pantas menerimanya."
"Terserah kau saja. Ayo masuk, kita nikmati rotinya." dan Elang berjalan masuk beriringan dengan Sindy ke dalam rumah.
Jalanan yang sedikit macet membuat kesabaran Mitha hampir menurun. Dia harus berulang kali menghapus air matanya yang terus turun kala mengingat perkataan Elang tadi. Sampai ditempat kerjapun dia sudah tidak lagi fokus bekerja. Nafasnya terasa sesak. Jika bukan karena permintaan kedua orang tuanya, mungkin dia tidak akan sesedih sekarang. Tapi menyalahkan keduanya juga bukan sesuatu yang bijak. Dia dibesarkan juga oleh kasih sayang keduanya. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, dan Mitha yakin mama papanya punya alasan tersendiri ketika memutuskan menikahkan dirinya dengan Elang.
Pukul Enam sore saat Mitha keluar dari toko karena pergantian shift. Beberapa rekannya sudah datang. Gea dan dua orang lainnya sudah dijemput, menyisakan dirinya yang menunggu angkot. Andai saja dia masih sempat membawa motornya.....tentu dia akan lebih leluasa bergerak tanpa menunggu yang namanya angkot.
"Mitha." panggi seseorang yang baru keluar dari mobil putih di dekatnya.
"Andra..." desis Mitha. Pria itu, Andra. Pacarnya atau lebih tepatnya mantan pacarnya yang langsung bergerak memeluknya tanpa sadar jika mereka berada ditempat umum.
"Ya Tuhan..aku kangen sekali sama kamu Mith. Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?" dan Mitha hanya diam, masih sangat terkejut oleh kehadiraan Andra yang begitu tiba-tiba. Pria itu kembali memeluknya erat saat ekor mata Mitha menangkap bayangan seorang pria yang sekejap kemudian menaikkan kaca mobilnya dengan tatapan garang.