HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Tunggu, baru beberapa menit perjalanan. Kenapa perutnya seakan berputar-putar. Kanaya merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, keringat dingin dan sungguh pusing dan mual juga menyerangnya secara bersamaan.
Ini sama sekali tidak lucu, bagaimana bisa seorang Kanaya Alexandra mabuk perjalanan. Sungguh tak dapat dipercaya, tidak ada yang salah dari mobil Ibra.
Mobil itu mewah, wangi dan rasanya tidak mungkin juga Ibra akan menggunakan pewangi jeruk. Kenapa harus di saat-saat begini.
"Kanaya tahan, kamu nggak mau kan dia semakin anggap kamu kampungan."
Hanya itu cara Kanaya menenangkan dirinya, namun sekuat apapun dia mencoba perutnya semakin tidak nyaman. Rasanya semua makanan sudah naik dan siap tumpah ke permukaan.
"Uuuuwww."
Kanya membekap mulut dengan kedua tangannya, Ibra yang sejak tadi fokus mengemudi kini beralih pada Kanaya, pria itu sejenak menepi terlebih dahulu, tentu tidak lucu jika terjadi tabrakan beruntun akibatnya.
"Kau sakit? Jangan ditahan jika memang mual," titah Ibra menarik paksa telapak tangan Kanaya yang membekap mulutnya kuat-kuat, jika dia lihat apa yang Kanaya lakukan kini tak lebih dari sekadar menyiksa diri.
Wwwweeeekkkk.
Byar, hancur sudah pertahan Kanaya. Wanita itu tak bisa lagi menahannya lebih lama, dan Ibra juga ikut campur dengan menarik tangannya paksa.
"Aauuwwwhh, panas."
Ibra menggigit bibirnya, meraih tisu dan segera membersihkan bibir dan dagu Kanaya. Sementara bajunya sudah tak tertolong lagi.
Isi perutnya dikuras habis, dan sialnya sudah habis mualnya masih terasa. Kanaya malu? Tentu saja, akan tetapi untuk Berpura-pura sudah sangat terlambat.
"Kau tidak demam," ucap Ibra menatap lekat wajah pucat Kanaya, wanita itu benar-benar mengkhawatirkan.
"Ma-mafkan aku."
Merasa tak enak, rasanya malu sekali kala menyadari pakaiannya sudah basah. Bisa dipastikan semua yang masuk dalam perutnya sejak pagi keluar semua. Kanaya tak berani membuka mata, sungguh kini rasanya dia tak punya muka.
"Tunggu di sini."
Secepat mungkin Ibra keluar dan meninggalkan Kanaya sendiri. Entah kemana tujuannya namun yang Kanaya dapat lihat Ibra berlari ke tempat yang tak jauh dari mobilnya berada.
"Memalukan sekali, Kanaya ... kenapa selalu begini."
Pertemuan kedua yang sama kacaunya, Kanaya mengotori jemari dan mobil Ibra kali ini. Setelah tiga minggu lalu sempat menggila, kini dia mabuk namun dalam keadaan tak berdaya.
Tak berselang lama, pria itu telah kembali. Dengan membawa beberapa paper bag di tangannya. Apa mungkin pakaian, pikir Kanaya namun dia Benar-benar semual itu.
"Ganti bajumu, aku tunggu." Ibra menyerahkan paper bag yang baru saja ia dapatkan beberapa saat lalu, beruntung saja dia berhenti di tempat seperti ini sehingga memudahkan langkahnya.
"Keluar," usir Kanaya menajamkan alisnya, Ibra hanya memerintah sementara dia masih berada di dalam mobil juga.
"Tidak mau, panas."
Penolakan paling menyebalkan namun alasannya tak dapat Kanaya tolak juga. Saat ini saja pelipis Ibra terlihat basah lantaran keringat akibat dia mencarikan perlengkapan untuk Kanaya tanpa diminta.
"Lalu maksudmu? Yang benar saja," desis Kanaya sembari menatap tajam Ibra, pria ini tengah modus besar-besaran atau bagaimana sebenarnya.
"Ck, ya buka saja ... toh aku sudah pernah melihatnya," ucapnya melirik area sensitif Kanaya dengan tatapan datar namun itu jelas-jelas nakal.
"Ibra aku tidak bercanda, tolong keluar sebentar saja."
"Sudah kukatakan aku tidak mau, ganti saja sekarang, aku tidak akan memakanmu, lagipula ini di mobil ... mana mungkin aku akan melampiaskannya di sini."
Menyebalkan sekali, namun jika Kanaya yang harus keluar rasanya tidak mungkin karena pakaiannya terlihat menjijikkan. Tidak ada cara lain, terpaksa Kanaya mencuri kesempatan dan mewanti-wanti agar Ibra tak menatapnya.
"Berani lihat aku buta sampai tua," ancam Kanaya namun membuat Ibra ingin tertawa sekali lagi, dia kira Ibra akan takut dengan sumpah serapahnya.
Cepat-cepat Kanaya membuka kemejanya, aww basah sekali. Rasanya seperti membuka pakaian di depan umum, meski kini Ibra seakan tak melihatnya sama sekali, tetap saja Kanaya was-was.
"Su-sudah," ucap Kanaya setelah jantungnya seakan copot dari tempatnya lantaran terpacu mengganti pakaiannya cepat-cepat.
"Hm, aku tau," ujarnya singkat dan sontak Kanaya menghalangi dadanya dengan tangan, sepertinya pria itu melihat semuanya, pikir Kanaya curiga.
-
.
.
Kembali melanjutkan perjalanan, setelah memastikan Kanaya lebih baik. Namun tujuan Ibra kali ini bukan rumah Kanaya, melainkan rumah sakit.
Lemas dan pucatnya wanita itu membuatnya sangat khawatir, tanpa persetujuan Kanaya dia kini melaju dan Kanaya juga tak menyadari jika jalan yang Ibra pilih kini berbeda.
Hembusan angin di luar sana sepertinya sangat menyenangkan, dedaunan yang tampak bergoyang di tepian jalan seakan membuat batin Kanaya tenang terbawa situasi alam.
"Turun," titah Ibra kala mereka tiba di rumah sakit, Kanaya yang planga plongo masih berusaha mengenali dimana dirinya berada.
"Kenapa kita kesini? Kau sakit atau mau jenguk keluargamu?" Polos atau bodoh sebenarnya, Kanaya bertanya demikian sementara Ibra menatapnya sembari menghela napas perlahan.
"Kau yang sakit, apa yang kau pikirkan hingga bisa bertahan padahal sudah selemah itu, Kanaya." Ibra menggeleng kepala pelan, entah kenapa dia merasa kesal akan kecerobohan Kanaya yang mempertahankan rasa sakit.
"Aku t-tidak ...."
"Aku tidak meminta persetujuanmu, ayo masuk ... aku tidak mau kau muntah di mobilku lagi," tutur Ibra terdengar serius namun bukan itu maksud pembicaraannya.
"Mati aku, kalau memang benar bagaimana," batin Kanaya menatap jauh tak tentu arah, semakin menambah keyakinan jika dia memang sakit.
"Apa perlu aku gendong? Hm?" Peringatan dengan suara dingin dan tatapan mata penuh ancaman, jika Kanaya tak segera menurut sudah tentu dia akan menggendong wanita itu secara bagaimana.
TBC