Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Hari demi hari sudah terlewati dengan begitu cepat, Tampa terasa sudah sembilan bulan usia kandungan, Sena. selama ini ia menjalani hidup penuh dengan suka duka, apalagi warga mengetahui ia hamil tanpa adanya suami, cibiran selalu datang silih berganti, namun wanita cantik itu memilih untuk tutup telinga dan fokus menata hidup.
Pagi ini seperti biasa Sena menyiapkan sarapan menu sederhana untuk putrinya, namun ada hal yang berbeda dari raut wajah anak perempuannya itu.
"Sayang ini sarapannya," ucap Sena.
Sementara itu Ara hanya terdiam namun masih menanggapi segelas susu dari ibunya. "Sayang, kenapa diam?"
"Ara sebel, sama teman-teman di sekolah, masak iya mereka ngatain Mama hamil sendiri," ucapnya dengan perasaan kesal.
"Sayang, maafkan Mama ya Nak, gara-gara Mama Ara jadi seperti ini," sahut Sena.
"Kenapa Mama harus meminta maaf, Mama tidak salah kok, sangking mereka saja yang jail," jelas anaknya itu.
"Baiklah nanti Mama akan datang ke sekolah untuk menegur teman kamu yang suka jail itu Nak," ucap Sena.
"Ga usah Ma, biar aku hadapi sendiri, aku kuat kok, hanya sedikit kesal aja," sahutnya segera.
Sena tersenyum bangga, ia tahu kalau gadis kecilnya ini bukan tipikal anak yang lemah, bahkan anak sekecil ini sudah pandai menyikapi dunia yang tidak selalu berpihak kepadanya.
"Makasih ya Nak, kamu sudah menjadi kuat demi Mama," kata Sena sambil mengelus rambut anaknya.
"Aku harus kuat, karena yang aku jaga bukan hanya Mama saja, tapi calon adik Ara," sahutnya penuh kehangatan dan perlindungan.
Tidak lama kemudian sarapan selesai dan Ara pun berangkat sekolah, dengan berjalan kaki, karena jarak antara sekolah dan rumah tidak terlalu jauh.
☘️☘️☘️☘️
Sepeninggalan anaknya di sekolah, tiba-tiba saja Sena merasakan mulas yang datang begitu mendadak. Tangannya refleks menahan perut yang mulai mengencang, wajahnya memucat, keringat dingin mulai bercucuran di pelipis.
“Napas… pelan, Sen…” bisiknya pada diri sendiri, mencoba tetap tenang sambil bersandar di dinding ruang tamu.
Rasa sakit itu datang lagi, kali ini lebih kuat. Sena memegang ujung meja untuk menahan diri agar tidak jatuh. Ia berusaha berjalan ke kamar, mengambil ponsel di atas meja kecil, tapi tubuhnya goyah. Ponsel itu terjatuh, baterainya lepas.
“Ya Allah… tolong…,” lirihnya serak.
Dengan langkah terseok ia mencoba keluar rumah, berharap ada tetangga yang bisa membantu.
Di luar, Bu Mirna tetangga sebelah yang kebetulan sedang menyapu halaman, segera berlari menghampiri.
“Ya ampun, Sena! Kamu kenapa, Nak?”
“Bu… kayaknya… udah waktunya…” jawab Sena terbata di antara rasa sakit yang menekan.
Tanpa banyak bicara, Bu Mirna langsung memanggil anak laki-lakinya yang kebetulan punya motor. Mereka bergegas membawa Sena ke puskesmas terdekat. Sepanjang perjalanan, Sena hanya bisa menggenggam perutnya erat, menahan sakit sambil berulang kali menyebut nama anaknya, Ara… Ara jangan sampai tahu Mama kesakitan sendiri…
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu di sekolah, Ara yang sedang menggambar di kelas tiba-tiba merasa gelisah. Entah kenapa, ada firasat aneh di dadanya. Setelah jam istirahat, ia diam-diam keluar dan berlari pulang.
Begitu tiba di depan rumah, ia melihat pintu masih terbuka, tapi tak ada siapa pun di dalam. Piring di meja masih berisi nasi yang belum dibereskan.
“Mama?” panggilnya cemas.
Ia berlari ke kamar, ke dapur, ke halaman belakang semuanya kosong.
Tak lama, Bu Mirna datang sambil menepuk bahu Ara pelan.
“Ara, sayang… Mama kamu dibawa ke puskesmas, sebentar lagi melahirkan.”
Mata Ara membulat, lalu berkaca-kaca. “Mama sendirian, Bu?”
“Tenang, Nak, Ibu yang antar Mama. Kamu sabar ya, nanti kita ke sana bareng.”
☘️☘️☘️☘️
Beberapa jam kemudian, tangisan bayi menggema di ruang bersalin puskesmas itu. Sena menangis haru dalam pelukan lemah, antara sakit dan bahagia. Air matanya mengalir deras saat bidan menyerahkan bayi mungil yang masih merah ke pelukannya.
“Selamat, Bu Sena. Bayinya sehat,” ucap sang bidan lembut.
Sena tersenyum lirih. “Alhamdulillah… terima kasih, Bu.”
Ia menatap wajah mungil itu, dan seolah seluruh rasa sakitnya sirna.
“Maaf ya, Nak… Mama cuma punya cinta dan doa… tapi Mama janji, Mama akan berjuang buat kamu dan Kak Ara,” bisiknya, suaranya bergetar tapi penuh janji.
Langit siang itu tampak teduh, meski di hati kecil Ara, segalanya terasa bergemuruh. Napasnya tersengal karena berlari dari rumah menuju puskesmas bersama Bu Mirna. Seragam sekolahnya sudah kusut, rambutnya berantakan, dan keringat membasahi pelipis mungilnya. Namun yang ada di pikirannya hanya satu Mama.
Begitu tiba di depan ruang bersalin, Ara berhenti sejenak. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia mendengar suara tangisan bayi. Jantungnya berdegup kencang.
“Bu… itu suara adik ya?” tanyanya lirih.
Bu Mirna tersenyum hangat. “Iya, Nak. Mama kamu sudah melahirkan. Kamu boleh masuk sebentar, tapi pelan-pelan ya.”
Ara menelan ludah, menahan air mata yang sudah nyaris tumpah. Langkah kecilnya menyusuri lorong puskesmas, dan saat tirai putih itu disibak, pandangannya langsung jatuh pada sosok yang paling ia rindukan.
“Mama…” panggilnya pelan.
Sena menoleh dengan mata yang masih sembab, senyum tipis terbit di wajah pucatnya. Di dadanya, bayi mungil terbungkus kain putih sedang tertidur tenang.
“Ara… sini, sayang.”
Gadis kecil itu berlari kecil mendekat lalu memeluk ibunya dengan hati-hati, takut menyentuh bagian yang sakit.
“Mama kenapa nggak bilang sih kalau udah mau lahiran? Aku takut banget Mama sendirian,” ucapnya terisak.
Sena mengelus kepala anaknya pelan. “Maaf ya, Nak. Mama nggak mau kamu panik. Tapi lihat deh… adik kamu sudah lahir dengan selamat.”
Ara menatap bayi kecil itu dengan mata berbinar, rasa haru menenggelamkan segala kekesalannya. “Kecil banget, Ma… lucu.”
Sena tersenyum. “Iya, dia masih butuh banyak doa dari kita, biar tumbuh kuat seperti Kakaknya.”
Ara mengangguk dengan semangat. “Ara janji, Ma. Ara bakal jaga Mama dan adik. Ara nggak mau ada yang nyakitin Mama lagi.”
Ucapan polos itu membuat dada Sena bergetar hebat. Ia menggenggam tangan kecil Ara, dan air matanya pun jatuh lagi—bukan karena sedih, tapi karena bahagia.
“Terima kasih, sayang… Mama kuat karena kamu.”
☘️☘️☘️☘️
Beberapa jam kemudian, setelah proses administrasi selesai, Bu Mirna membantu membawa mereka pulang. Di sepanjang jalan, beberapa warga yang melihat hanya bisa berbisik-bisik, sebagian dengan senyum miring, sebagian lagi dengan iba.
Namun Sena menatap lurus ke depan sambil menggendong bayinya, sementara Ara berjalan di sampingnya dengan kepala tegak, menatap siapa pun yang mencoba menghakimi ibunya.
Hari itu, di balik semua cibiran dan tatapan miring, ada satu hal yang tumbuh kuat di hati mereka: ikatan kecil yang bernama keberanian untuk bertahan.
Bersambung ...
Jangan Lupa Like dan komen ya 🙏🙏🙏🥰🥰🥰
janji "aja tuh