NovelToon NovelToon
Masa Lalu Pilihan Mertua

Masa Lalu Pilihan Mertua

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Poligami / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Thida_Rak

Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.

Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.

Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.

Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 Masa Lalu Pilihan Mertua

Saat Arman membuka pintu rumah malam itu, suasana terasa berbeda. Tak ada suara tawa, dingin seperti hatinya. Ia melangkah pelan masuk, menaruh kunci di meja, dan duduk di kursi ruang tengah.

Tak lama, Ibu Susan keluar dari kamarnya, mengenakan daster dan wajah penasaran.

“Lho, kamu pulang sendiri?” tanyanya langsung, sedikit nada kecewa terdengar.

Arman hanya mengangguk pelan. “Dia gak mau pulang, Bu. Dia minta waktu untuk sendiri.”

Ibu Susan mendengus. “Ya ampun, Diva itu makin aneh aja. Kalau memang dia mau seperti itu, sudah lah Man. Kamu nikah aja sama Raya. Udah capek Ibu ngadepin orang sensi kayak dia.”

“Ibu…” ucap Arman pelan.

“Kenapa? Emang salah?” timpal Bu Susan agak keras. “Ibu udah tua, Man. Ibu pengen lihat kamu bahagia dan ingin segera menimang cucu. Raya itu nurut, lembut, gak bikin ribet. Lha itu si Diva, baru dikasih cobaan dikit, langsung kabur. Apa itu istri?”

Dari arah dapur, Arini muncul dengan wajah lesu. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, lalu mendekat.

“Bu... kak Diva gak kabur, dia cuma... lelah. Dan kecewa,” ucap Arini hati-hati.

Bu Susan melirik Arini tajam. “Kamu jangan ikut-ikut ngebelain dia, Rin. Ibu tahu kamu akrab, tapi ini urusan rumah tangga abangmu.”

Arini menarik napas pelan, lalu menatap abangnya. “Bang… kamu tadi pulang sendiri karena Diva tegas, ya?”

Arman mengangguk.

“Dia terluka, Bang.Dia gak ninggalin kamu. Dia cuma ninggalin keadaan yang gak adil buat dia.”

Bu Susan makin gusar. “Jadi sekarang semuanya salah Ibu?”

“Bukan salah siapa-siapa, Bu,” jawab Arini pelan. “Tapi kalau Ibu terus nyudutin kak Diva dan dorong Abang ke Raya, jangan salahin siapa-siapa juga kalau nanti Abang kehilangan lebih dari sekadar istri.”

Arman menunduk. Kata-kata Arini menusuk tepat di tempat paling dalam. Ia sadar, ia memang belum memilih. Tapi diamnya justru seperti mengizinkan semuanya terjadi.

Malam itu, rumah terasa makin sunyi. Dan masing-masing dari mereka mulai merenung tentang pilihan Diva, tentang rasa, dan tentang kehilangan yang pelan-pelan menjadi nyata.

Pagi itu, matahari menyelinap lembut lewat celah tirai rumah Kak Dira. Aroma kopi dan roti panggang tercium samar dari dapur. Di ruang tengah, Diva duduk di sofa sambil memegang cangkir teh yang sudah hampir dingin. Pandangannya kosong, jauh menembus kaca jendela.

Kak Dira memperhatikannya dari dapur, lalu berjalan pelan mendekat sambil membawa sepotong roti di piring kecil.

“Div, kamu belum sarapan?” tanyanya lembut.

Diva hanya menggeleng pelan. “Belum lapar, Kak.”

“Dari tadi kamu cuma duduk, gak bicara, gak ngapa-ngapain. Pikiran kamu masih di rumah sana ya?”

Diva menatap Kakaknya sekilas, lalu menghela napas. “Aku gak tahu harus ngapain. Rasanya hampa, Kak. Aku pulang, tapi kayak gak pulang. Aku ninggalin rumah, tapi bukan karena aku gak cinta.”

Kak Dira duduk di sebelahnya. “Kamu gak salah. Kadang kita memang perlu menjauh sebentar… untuk tahu apa yang mau kita perjuangkan.”

Diva menunduk. “Tapi kalau aku bertahan, aku yang harus menelan semuanya. Ibu, Raya, dan Arman… semua seperti saling memahami, dan aku yang di luar.”

“Tapi kamu tetap istri Arman. Kamu juga punya hak, Div. Kalau kamu diam terus, mereka pikir kamu menyerah,” kata Kak Dira lembut tapi tegas.

Diva menatap cangkir tehnya, kemudian berbisik, “Apa aku memang terlalu keras? Terlalu cepat menyerah?”

Belum sempat Kak Dira menjawab, dari dalam kamar Reza keluar sambil merapikan kemejanya. Ia hanya menyapa singkat, “Pagi, Diva… Mau nitip apa ke pasar?”

Diva tersenyum kecil. “Enggak, Bang. Makasih.”

“Kalau butuh tempat untuk mikir dan menata hati, kamu di sini aman,” ujar Reza singkat sebelum pergi. Dira mengangguk mengiyakan, lalu menepuk bahu Diva pelan.

“Kalau kamu sudah siap, bilang. Kita hadapi semuanya pelan-pelan.”

Diva mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak semalam, ia merasa sedikit lebih ringan.

Di rumah Arman, suasana pagi itu terasa sesak meski cuaca cerah. Ibu Susan duduk di ruang tengah sambil melipat kain, tapi dari wajahnya, jelas ia sedang menahan kekesalan.

“Man, ibu serius. Ibu mau kamu nikah sama Raya. Jangan bikin dia nunggu terus,” ucapnya tanpa basa-basi.

Arman mengusap wajahnya, duduk di seberang sang ibu. “Bu, Diva itu istri Arman. Arman masih ingin mempertahankan rumah tangga kami.”

Ibu Susan mendengus. “Iya, tapi Diva itu keras kepala, tidak menurut sama ibu. Sedangkan Raya... dia sopan, manis, dan cocok sama kamu. Lagipula kalau kamu takut soal status PNS kamu, nikah siri aja dulu sama Raya. Ibu gak masalah.”

Arman terpaku. Kata-kata ibunya berputar di kepalanya, menusuk rasa bersalah yang sudah membesar sejak Diva pergi. Ia tahu, menikahi Raya artinya menceraikan Diva sesuatu yang tak pernah ia niatkan. Tapi kini, ibunya terus menekan. Memberi pilihan yang bukan sekadar keputusan pribadi, melainkan mengancam kestabilan keluarga.

“Bu, ini bukan soal bisa atau nggak. Ini soal hati. Saya masih cinta sama Diva,” ucap Arman akhirnya, nadanya berat.

“Tapi kamu juga nggak bisa ngelawan ibu terus, Man. Kalau kamu nggak segera ambil langkah, ibu yang akan datangi keluarga Raya buat atur semuanya. Mau kamu apa enggak.”

Dari balik pintu dapur, Arini mendengar semuanya. Ia masuk perlahan.

“Bu, jangan paksa bang Arman. Jangan buat dia kehilangan lagi,” ujar Arini pelan, namun tegas. “Diva memang keras kepala, tapi dia baik. Dia udah berjuang buat bertahan. Ibu cuma lihat dari satu sisi.”

Ibu Susan melotot. “Kamu terus saja belain Diva ?”

“Bukan soal bela siapa, Bu. Ini soal keadilan. Diva itu istri bang Arman. Kalau ibu suruh dia nikah diam-diam, itu bukan solusi… itu penghianatan.”

Arman menunduk. Pikirannya penuh. Ia tahu, keputusan apa pun yang ia ambil akan melukai seseorang. Tapi yang lebih ia takuti adalah kehilangan dirinya sendiri dalam semua tekanan ini.

Dalam hati ia bergumam, “Kalau aku terus diam… aku akan kehilangan semuanya.”

Arini menatap pintu kamar ibunya yang baru saja dibanting oleh Bu Susan dengan kesal. Nafasnya tercekat, hatinya bergemuruh. Ia tahu, ini tidak bisa dibiarkan.

Ia berjalan ke kamarnya pelan, menutup pintu rapat. Tangannya bergetar saat meraih ponsel, membuka pesan dan menulis perlahan.

---

Arini:

Ka Diva… maaf kalau aku lancang. Tapi aku harus bilang sesuatu. Ibu nyuruh bang Arman nikah lagi… sama kak Raya. Ibu suruh nikah siri, biar nggak kena aturan PNS. Kak, aku nggak bisa diem lihat semua ini. Kakak harus tahu. Kakak masih punya kesempatan untuk pertahankan rumah tangga ini.

---

Setelah menekan tombol kirim, Arini menutup matanya sebentar. Ia tahu ini bisa membuat semuanya semakin rumit. Tapi ia juga tahu… lebih baik Diva tahu sekarang, sebelum semuanya terlambat.

Sementara itu, di rumah Kak Dira, Diva masih duduk termenung di ruang tamu, memeluk lututnya sendiri. Ponselnya bergetar. Ia mengambil dan membaca pesan dari Arini. Napasnya tertahan, matanya berkaca-kaca.

“Aku tidak boleh diam,” ucapnya lirih. “Ini rumah tanggaku. Kalau aku diam… aku benar-benar akan kehilangan semuanya.”

1
Pudji hegawan
cerita yg bagus
Thida_Rak: Terima kasih kak🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!