NovelToon NovelToon
Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikahmuda / Single Mom / Nikah Kontrak / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 - Cemburu

Minggu demi minggu berlalu. Tanpa terasa, sudah satu bulan saja umur Jihan. Hari ini adalah imunisasi pertama bayi itu.

Sebulan ini Jenar berusaha keras menjadi ibu sambung yang baik untuk Jihan. Ia tidak sendiri. Ada Gena yang mendampinginya. Mereka bekerja sama layaknya orang tua sungguhan bagi Jihan. Tinggal serumah, berganti-gantian begadang, sampai pergi kerja pun mereka jarang. Hanya saja, Gena tetap datang di siang hari ke kafenya untuk sekedar memantau. Tidak lama. Paling hanya satu sampai dua jam, lalu pulang.

Perlahan Jenar mulai menerima keadaan. Hubungannya dengan Gena juga tidak sekaku dulu. Waktu yang membawa mereka kembali dekat secara naluriah. Tidak ada lagi dendam. Yang mereka pikirkan saat ini hanyalah masa depan Jihan.

“Habis dari rumah sakit nanti kita belanja bulanan ya? Bahan makanan pada habis semua,” kata Jenar.

Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju rumah sakit.

“Atur aja. Aku temenin.”

“Baik banget, ciii!” Jenar mengimut-imutkan suaranya. Ia menggoyang-goyangkan Jihan yang berada dalam gendongannya itu. “Paman baik, yaa? Bilang makaci duluuw cama Paman—“

“Jangan panggil Paman! Udah berapa kali dibilang!” Gena jengkel. Bibirnya mengerucut tak suka.

Namun bukannya tersinggung, Jenar malah tertawa. Lucu sekali melihat wajah Gena ketika mengambek.

“Lagian kenapa enggak boleh manggil Paman? Benar kan panggilannya begitu sama Om sendiri?"

"Kalau gitu kamu juga harus mau dipanggil Bibi, ya!”

“Enak aja!”

“Nah, makanya. Biasain manggilnya Om aja!”

“Nggak mau. Lucuan Paman. Oh, atau Pakde deh. Ahahahah lucunyaa. Pakde Gena.”

“Jenar!” Gena bersungut-sungut, dan itu membuat Jenar semakin gemar saja menjahilinya.

Dua manusia itu terus-terusan bergelut, disaksikan oleh Jihan yang terbengong-bengong. Bayi itu akhirnya tertawa melihat orang tua sambungnya saling ledek.

“Eh, dia ketawa!” seru Jenar heboh.

Gena menepikan mobilnya sebentar, lantas mendekatkan diri pada Jenar. Ia kecup pipi Jihan hingga rambut Gena mengenai dagu perempuan itu. Rasanya sangat nyaman. Debaran itu akhirnya kembali muncul tanpa permisi.

“Ummh ... keponakan Om sayang,” Gena mengecup pipi Jihan. “Tayaaang banget.” Kecupan kedua mendarat di hidung mungil bayi itu. Tanpa Gena sadari, ada bayi besar lainnya yang iri karena tidak mendapat kecupan. Malah Jenar memaju-majukan bibirnya seolah ia yang dicium.

Tepat saat Gena mengangkat wajah, ia terkejut mendapati Jenar memonyongkan bibir. Ia tepuk bibir perempuan itu menggunakan telunjuknya,

“Kenapa monyong-monyong begitu?”

Jenar menampol balik wajah Gena. “Apa sih?!”

Maka Gena tersenyum genit. Ia colek hidung Jenar sambil membisik, “kepengen ya?”

“Ih, apaan ngomong gitu depan bayi? Nggak boleh!”

“Boleh asal bayinya enggak ngerti.”

“Tetap nggak boleh, Genaa!”

“Boleh!”

Seolah tidak membiarkan Jenar tantrum berkepanjangan, Gena kecup pipi gadis itu. Ocehan Jenar terhenti, berganti raut malu sambil memengangi pipinya sendiri.

“Tuh, tantenya udah dikasih. Jangan cemburu lagi,” gumam Gena seraya mengacak rambut Jenar.

Bisa-bisanya Gena tampak santai mengemudikan mobilnya setelah membuat Jenar nyaris kena serangan jantung mendadak.

Ini imunisasi pertama Jihan. Bayi itu sangat rewel hingga susah sekali ditenangkan sejak tadi. Terpaksa di sini Gena dan Jenar berganti-gantian menggendongnya. Jihan banyak tingkah. Mulai dari minta susu, poop, sampai buang air kecil juga di gendongan Gena.

“Dia rewel banget!” keluh Jenar.

“Sabar, namanya juga anak-anak. Ini baru anak orang. Kalau anak sendiri nanti gimana”

“Ya kita tetap kayak gini. Ganti-gantian urus anak kita,” sahut Jenar.

Dalam hitungan detik ia menepuk mulutnya karena asal bicara. Sesuai dugaannya, Gena menatapnya sembari mengedip-ngedipkan mata.

“Ngarep nikah sama aku ya?”

“Enggak, ya!” tolak Jenar.

“Masa? Tadi kamu bilang ‘anak kita’,” Gena kembali mengingatkan.

“Ya itu perumpamaan. Kamu ini nyebelin banget!”

Malah Jenar yang tantrum. Aneh sekali gadis itu. Sampai sekarang Gena sangat sulit memahami jalan pikiran Jenar.

Tiga puluh menit kemudian akhirnya imunisasi Jihan selesai. Mereka keluar ruangan itu bersama-sama. Kali ini, Gena yang menggendong Jihan. Sementara Jenar membawa tas dan perlengkapan bayi.

Tepat saat mereka berbelok menuju koridor rumah sakit, seorang lelaki tampak berjalan berlawanan arah dengan mereka. Langkah Jenar terhenti, begitu juga dengan lelaki tersebut.

“Jenar?” panggilnya.

Jenar tersenyum kikuk. Ia hanya bisa diam saat lelaki berseragam dokter itu menghampirinya. “Lho, Jihan sakit?”

Gena mengamati interaksi mereka. Dulu, Gena pernah bertemu dengan dokter ini sekali, yaitu waktu Jenar harus dirawat inap saat kedua kakak mereka meninggal.

Mau apa, sih, dia? Kenapa kayaknya mereka akrab sekali? Gena merengut dalam hati.

“Eh, Mas Hanif. Nggak, dia habis imunisasi aja,” balas Jenar. Wajah gadis itu menunduk seperti perempuan yang tengah malu-malu.

Terjadilah percakapan-percakapan ringan antara mereka. Tidak banyak, hanya berkisar tentang kabar masing-masing, kabar adiknya Hanif yang merupakan sahabat Jenar, dan hal-hal kecil lainnya yang sukses membuat keduanya saling senyum.

Gena mulai muak. Ia menyela, “Udah belum? Kalau belum pulang sendiri aja nanti. Kasihan Jihan kelamaan nunggu!”

“Ah, iya, maaf.” Jenar merasa tak enak hati. Ia tatap Hanif untuk pamit pulang. “Mas, aku pulang dulu, ya?”

“Oh iya. Hati-hati di jalan kalian!”

Gena mengabaikan basa-basi tak penting itu. Ia melangkah lebih dulu meninggalkan Jenar hingga membuat perempuan itu tertinggal di belakang.

“Ih, tungguin. Jangan buru-buru jalannya!” oceh Jenar.

“Salah sendiri lelet! Lagian kalau masih mau temu kangen nggak usah ngeribetin orang lain. Kasihan Jihannya!”

“Aku tau salah. Tap—Gena!”

Jihan menjerit saat Gena mempercepat langkah. Ia tidak mengerti kenapa lelaki itu begitu marah saat dirinya berinteraksi dengan Hanif. Masa, sih, Gena cemburu? Jihan menepis pikiran itu. Tidak mungkin Gena cemburu. Ia tidak mau berharap untuk kedua kalinya pada lelaki ini. Cukup ia jatuh sekali kala itu karena harapan-harapannya yang tak terwujud.

Bahkan sampai di mobil pun, Gena tidak bersuara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Gena jengkel karena Jenar tidak menjelaskan sesuatu padanya. Padahal sesuatu itu ingin sekali ia dengar sejak tadi.

Maka, Gena yang sudah tidak tahan itu akhirnya membuka suara.

“Dokter itu siapa, sih? Kelihatannya kalian akrab banget?” tanya Gena sewot.

Jenar menoleh. Sejujurnya ia ragu menceritakan hal ini pada Gena. Entah kenapa, alam bawah sadar seolah menahan dirinya. Ada rasa takut yang muncul begitu saja di pikiran Jenar. Lebih tepatnya ... takut ditinggalkan, mungkin.

Namun rasanya akan sangat tidak sopan jika ia menyembunyikan siapa Hanif. Ia dan Gena akan tinggal bersama dalam waktu yang tidak ditentukan. Berkemungkinan sampai Jihan besar, atau mungkin di antara mereka nantinya menemukan pasangan masing-masing.

Oleh karenanya, Jenar pun memutuskan untuk jujur. Ia berkata, “kamu ingat cowok yang bikin aku patah hati sampai kabur ke pantai Pangandaran waktu itu?”

“Ya. Kenapa memangnya?”

Jenar mengembuskan napas perlahan. Ia melanjutkan, “Dokter Hanif itu ... cinta pertama yang aku ceritain ke kamu dulu.”

Detik itu juga, jantung Gena serasa hendak copot dari rongganya.

1
Wirda Wati
😇😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😭😭😭😭😭😭
Wirda Wati
semoga mereka bersatu
Nur Adam
lnjur
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
nikah aja Jenar sama gena kan aman
Wirda Wati
cari baby siter aja....dan pembantu
Wirda Wati
🥰🥰🥰🥰
Wirda Wati
😂😂😂😂😂😂
Wirda Wati
senang dg ceritamu thort
Wirda Wati
semoga baik baik saja
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
ya kamu juga sih ngomongnya sembarangan.
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
Wirda Wati
sebenarnya mereka serasiii...
Wirda Wati
cepat kali....
cinta atau obsesi
😇😇😇
Wirda Wati
cinta kilat namanya😂
Wirda Wati
semoga hubungan mereka berkelanjutan..
Wirda Wati
kereeen thort
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!