NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika

Jam pelajaran matematika adalah momen paling sepi dan paling berisik sekaligus di dalam kepala Juno. Dari luar, dia tampak duduk tenang, mencatat soal di papan tulis, sesekali mengangguk pura-pura paham. Tapi di dalam benaknya, kalimat demi kalimat mengalir seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti—bukan rumus, tapi puisi.

Sore itu, di tengah hitungan integral, Juno menuliskan bait ini di pojok buku catatannya:

> “Jika dunia ini berbentuk persamaan,

> Maka aku adalah variabel tak terdefinisi.

> Dipecahkan dengan logika,

> Tapi tak pernah cukup untuk dimengerti.”

Ia menyelipkan kertas itu ke dalam saku. Tidak ada yang tahu bahwa semua puisinya ditulis di jam pelajaran matematika. Di antara angka-angka, ia menemukan tempat paling aman untuk menjadi dirinya sendiri.

Juno bukan siswa bodoh. Tapi ia benci matematika. Bukan karena sulit, tapi karena kaku. Segalanya harus pasti, harus benar, harus logis. Padahal hidupnya jauh dari semua itu.

Sejak kecil, ia lebih nyaman bicara dengan kata-kata daripada angka. Ibunya dulu sering berkata, “Puisi itu indah, Nak. Tapi tidak bisa buat kamu sukses.” Dan sejak itu, Juno belajar menulis puisi diam-diam, seperti orang menyembunyikan dosa kecil.

“Juno!” suara Bu Nira memecah lamunannya.

“Ya, Bu?” Juno tersentak.

“Silakan selesaikan nomor 5 di papan.”

Juno melangkah pelan. Bukan karena takut, tapi karena sadar ia tidak punya jawaban. Di depan kelas, ia berdiri lama. Spidol di tangan, tapi pikirannya kosong.

“Maaf, Bu. Saya tidak bisa,” katanya akhirnya.

Beberapa siswa tertawa pelan. Ada yang berbisik, ada yang senyum sinis. Bu Nira mendengus. “Kamu ini, Juno. Di kelas cuma melamun, hasilnya ya begini.”

Juno menunduk. Bukan karena malu. Tapi karena tahu, dia sedang ada di tempat yang salah untuk bicara jujur.

Istirahat pertama, Juno duduk di tangga belakang perpustakaan. Di tangan kirinya ada buku tipis berjudul *"Perih yang Tak Pernah Selesai"*—kumpulan puisi dari penyair muda yang ia kagumi. Di tangan kanannya, ia memegang pena, dan mulai menulis:

> “Sekolah bukan tempatku belajar,

> Tapi tempatku kehilangan kata.

> Di kelas, aku dituntut hafal rumus,

> Tapi tak ada yang mau mendengar rasa.”

Suara langkah kaki mendekat. Ternyata Raka. Duduk tanpa bicara, hanya menyalakan rokok elektriknya dan menyodorkan ke Juno.

“Gue nggak ngerokok,” kata Juno sambil senyum.

“Gue juga nggak beneran,” kata Raka, lalu tertawa kecil. “Lo kenapa diem-diem aja di kelas tadi?”

Juno mengangkat bahu. “Gue gak bisa pura-pura ngerti. Dan gue juga capek pura-pura.”

“Lo tahu gak?” Raka menatap ke langit. “Gue malah salut. Lo gak bohong sama diri lo. Gue aja kadang masih suka berpura-pura ngerti biar gak dibilang bodoh.”

Juno menoleh, sedikit tersenyum.

“Kalo kata puisi lo,” lanjut Raka, “lebih baik gak dimengerti, daripada pura-pura paham.”

“Wih, kapan gue nulis gitu?” tanya Juno.

“Gue baca di blog lo yang lo pikir anonim. Tapi nama penanya ‘Juno’ gitu. Cerdas banget.”

Juno tertawa pelan. “Lo yang gagal paham sekarang.”

Sore itu, Juno memutuskan mengunggah puisi baru ke blognya:

> *“Di tengah angka yang berdansa,

> Aku menulis diam-diam.

> Di papan tulis ada soal,

> Tapi di dadaku ada soal yang lebih sulit:

> Siapa aku, jika bukan apa yang mereka mau?”*

Ia tahu mungkin tidak banyak yang membaca. Tapi menulis membuatnya merasa utuh.

Dua hari kemudian, Dita datang ke kelas sambil tergopoh.

“Juno, puisi lo diangkat akun sastra nasional! Gila, ini akun gede banget. Mereka bilang tulisan lo jujur, dan mewakili keresahan anak muda zaman sekarang!”

Juno terpaku. Dita menunjukkan layar HP-nya. Di sana, puisinya yang terakhir—yang ia anggap paling pribadi—diposting ulang dengan ratusan komentar positif.

Raka ikut nimbrung, “Wah, si penyair kita naik daun juga akhirnya.”

Nala menyusul masuk ke kelas. “Lo harus bikin podcast episode sendiri, Jun. Puisi lo itu kayak suara generasi yang gak bisa disampaikan lewat orasi.”

“Gue?” tanya Juno ragu.

“Ya, elo. Justru karena lo pendiam, kata-kata lo lebih terasa. Satu bait lo bisa lebih dalam dari sepuluh menit gue ngoceh.”

Juno terdiam. Ia belum pernah merasa dilihat seperti ini.

Malam itu, Juno merekam suaranya sendiri. Dengan latar musik piano pelan, ia membaca puisi:

> “Aku tidak bisa menjawab soal integral,

> Tapi aku bisa menghitung sakit yang tertinggal.

> Aku tidak tahu akar kuadrat dari 144,

> Tapi aku tahu luka yang tumbuh diam-diam.”

Ia mengunggahnya diam-diam di akun podcast mereka.

Keesokan harinya, itu jadi episode dengan pemutaran tercepat.

Komentar-komentar masuk:

> “Puisi ini bikin gue nangis.”

> “Gue kira cuma gue yang ngerasa sendirian di sekolah.”

> “Terima kasih, Juno. Akhirnya ada yang berani bilang: gak semua orang cocok belajar dengan cara yang sama.”

Tapi kabar baik datang bersama kabar buruk. Di ruang guru, kepala sekolah memutar audio Juno keras-keras.

“Siapa yang izinkan anak-anak ini rekaman suara seperti ini? Ini menyudutkan pelajaran matematika! Ini melecehkan guru!”

Bu Nira diam saja. Di sudut matanya ada emosi yang belum terdefinisi. Apakah marah? Tersinggung? Atau... merasa disindir?

Sementara itu, di kelas, Juno menerima panggilan ke ruang BK.

“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil, Juno?” tanya Pak Robi, guru BK yang sebenarnya cukup sabar.

Juno mengangguk. “Karena saya jujur?”

Pak Robi menatapnya lama. “Karena kamu jujur, tapi jujur tidak selalu aman.”

Juno menggigit bibir. Ia ingin berkata: *Bukankah tugas sekolah adalah membuat kejujuran jadi aman?* Tapi ia tahu, percuma.

Pak Robi akhirnya berkata, “Kamu punya bakat, Juno. Tapi dunia ini belum siap mendengar semuanya. Hati-hati. Kadang kejujuran bisa jadi boomerang.”

Saat pulang, Juno tak langsung ke rumah. Ia duduk di halte, hujan turun perlahan.

Ia menulis lagi:

> “Dunia takut pada yang tak bisa dihitung.

> Maka aku pun dianggap kacau.

> Tapi bukankah cinta, sedih, marah—

> Semua itu juga tak bisa dihitung?”

Ia mengirimkan puisi itu ke Nala. Dan di bawahnya, ia menulis:

> “Kalau kalian masih mau, gue siap bikin episode puisi mingguan di podcast.”

Beberapa menit kemudian, Nala membalas:

> “Kami tunggu, Penyair Matematika.”

Namun tanpa mereka tahu, seseorang sedang memperhatikan semuanya diam-diam dari kursi belakang kelas—Dita. Tatapannya kosong, tapi penuh gejolak. Ada rasa kagum, iri, sekaligus takut. Karena bagi Dita, puisi bukan solusi. Ia ingin bebas dari ekspektasi, bahkan jika itu berarti... menjadi bodoh.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 4 – Dita dan Keinginan Jadi Bodoh]**

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!