Falling In Blue

Aku berharap jika apa yang baru saja ku ketahui adalah mimpi, namun sialnya kenyataan pahit ini benar-benar kebenaran dalam hidupku yang tidak bisa aku pungkiri. Apa yang harus aku lakukan? Masalah mana dulu yang harus aku pecahkan?

Mencari Grey yang entah kemana perginya? Menerima dan menjalani kehamilan ini? Atau mencari asal-usul ku tanpa petunjuk apapun selain kota Paris? Hahh... jika saja aku ini pemeran utama dalam sebuah novel, aku akan mengutuk penulisnya agar menggantikan peranku yang menyedihkan ini.

Sayangnya, kehidupan yang kujalani bukanlah karangan dari seorang penulis amatir, tapi sebuah kehidupan nyata dengan segala kesialan dan ketidak beruntungan.

"Nona, makanlah sesuatu. Jangan seperti ini, ingat jika Nona sedang hamil." bujuk Bibi Elodi. Seharian ini belum ada makanan apapun yang masuk dalam lambungku.

Aku menatap Bibi Elodi, wanita tua ini tidak pernah meninggalkanku, selalu ada di sampingku dan sesekali mengelus-elus tanganku.

"Apakah bibi percaya takdir" tanyaku dengan segala kerapuhan yang ada dalam hatiku.

"Bibi percaya. Kita tidak bisa mengubah takdir, tapi kita bisa mengubah nasib. Asalkan ada kemauan dan tekad yang kuat dari dalam hati," kata Bibi Elodi. Aku diam mencerna kalimat bijaknya.

"Apa Bibi tahu kalau aku hanya seorang anak angkat?" Bibi Elodi terkejut mendengar pertanyaan ku. Sepertinya Bibi Elodi tidak tahu kalau aku hanya anak angkat.

"Apa Nona menangis hanya karena mengetahui kalau Nona anak angkat?" tanyanya, aku mengangguk.

"Tidak menjadi anak kandung bukan berarti tidak beruntung. Anak kandung adalah anak pemberian Tuhan, anak yang Tuhan pilihkan untuk kita," bibi Elodi membelai rambutku. "Sedangkan anak angkat, adalah anak yang kita pilih, anak yang istimewa karena kita bisa memilih sendiri. Jangan berkecil hati hanya karena menjadi anak angkat, mungkin Tuan dan Nyonya Burnet melihat keistimewaan dalam diri Nona, hingga menjadikan Nona sebagai anak angkatnya. Apalagi selama ini Bibi melihat kasih sayang yang mereka berikan sangat tulus." penjelasan bibi Elodi malah membuatku menangis.

Mungkin kata-kata anak istimewa hanya sebuah kata pemanis yang menenangkan, tapi aku sungguh berharap jika apa yang dikatakan oleh Bibi Elodi adalah kebenaran.

"Tapi bagaimana jika ternyata aku hanyalah anak yang tidak diinginkan oleh orang tua kandung ku?" bibi Elodi tersenyum dan menghapus air mataku.

"Kenapa Nona berpikir seperti itu? Semua hal didunia ini memang memiliki sisi positif dan negatif. Saran Bibi, ambil sisi positifnya dan jadilah lebih baik. Jika memang apa yang Nona katakan tadi itu benar, jangan bersedih. Tunjukan pada mereka jika Nona sangat berharga dan buat mereka menyesal. Pikiran yang baik akan menghasilkan kebaikan, ingat jika sekarang Nona sedang hamil, jika Nona bersedih, janin yang ada dalam kandungan Nona juga bersedih. Sebaliknya, jika nona senang dia juga akan senang," bibi Elodi mengusap perutku yang masih rata.

Dengan penuh kesabaran dan kelembutan, akhirnya bibi Elodi berhasil membujuk ku untuk makan.

....

Hari ini, aku mengunjungi taman seperti biasanya. Aku duduk di bangku yang sama dimana pertama kalinya aku bertemu dengan Grey, karena tumpukan salju yang semakin tebal, tidak banyak orang yang berada di taman. Tentu saja tidak ada orang yang mau mati konyol karena kedinginan, kecuali aku.

Meskipun sudah memakai pakaian berlapis dan mantel tebal, udara dingin tetap bisa menusuk tulang tapi tak ku hiraukan. Aku ingin mengenang kembali kebersamaanku dengan Grey, meskipun pria itu tidak ada, tapi aku bersama dengan bagian dari Grey yang berada dalam rahimku.

"Nona, taman ini akan kami tutup karena diperkirakan badai salju akan turun." kata seorang pengurus taman menghampiriku.

"Benarkah?" tanyaku. Sebenarnya aku tidak rela pergi dari taman karena belum lama datang, tapi pekerja di taman ini seolah menunggu ku keluar dari taman.

Aku berjalan keluar dari taman meskipun hatiku terasa berat. Sesampainya di trotoar, aku berpapasan dengan seorang pria menggunakan pakaian tebal dari ujung kaki sampai ujung kepala, hanya terlihat matanya saja, wajar karena cuaca memang sangat dingin.

Serrr......

Hatiku bergetar saat mencium aroma parfum pria itu. Parfum yang sama persis seperti milik Grey.

"Grey!!!" teriakku. Tapi pria itu tetap berjalan tanpa berniat berhenti. Aku berlari mengejar pria itu dan langsung memeluknya.

"Jangan tinggalkan aku," ucapku sambil memeluk pria itu dari belakang. Aku menghirup dalam-dalam aroma yang sangat aku rindukan sambil memejamkan mata.

"Maaf, kau siapa?" tanya pria itu. Aku membuka mata.

"Grey," kataku pelan.

"Aku bukan Grey," katanya. Aku langsung melepaskan pelukanku, pria itupun berbalik menatapku.

"Sepertinya kau salah orang, Nona. Aku bukan Grey, tapi kalau kau mau, aku bisa menjadi kekasihmu." kata pria itu. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, karena dia memakai syal sampai menutup hidungnya.

"Maaf, aku sudah bersuami." kataku lalu meninggalkan pria itu dengan rasa kecewa.

"Tentu bukan hanya Grey yang menggunakan parfum itu," gumamku berjalan menuju stasiun metro terdekat.

***

POV. Grey

Hari ini aku kembali bertengkar dengan Daddy, pria tua itu selalu mengatur hidupku, mamaksaku agar menjalani kehidupan sesuai keinginannya.

"Kau menikah dengan Adeline atau pergi dari rumah ini!" tegas Daddy tanpa memberikan pilihan ketiga. "Jika kau pergi dari rumah ini, kau akan kehilangan segala fasilitas yang Daddy berikan selama ini! Termasuk uang bulanan." sambungnya memperingatkan ku.

"Kau pikir aku takut?" tantangku. "Aku bisa hidup dengan baik tanpa uangmu itu!" kataku tak kalah tegas. Daddy tersenyum remeh mendengarnya.

"Kau pikir kau bisa bertahan tanpa harta Daddy?" katanya merendahkan ku.

"Kau terlalu sombong Tuan Anderson!" ucapku muak dengan sikap sombongnya.

"Ya, kesombongan adalah salah satu sifat orang kaya seperti ku." katanya dengan senyum lebar. Tanpa menunggu lama, aku segera pergi meninggalkan pria tua ya g mengaku sebagai Daddy ku.

"Keluarkan semua kartu kredit dari dalam dompetmu," ucapnya. Aku melemparkan kartu-kartu tipis itu dari dalam dompetku dan hanya mninggalkan kartu identitas serta beberapa lembar uang cash. Lalu keluar dari mansion besarnya.

Aku harus mendapatkan apa yang menjadi hak ku, tapi sialnya aku baru bisa mendapatkan hak ku jika aku sudah menikah. Itulah wasiat yang diberikan oleh mendiang kakek, karena semua harta yang Daddy miliki adalah harta kakek. Semua harta kakek diwariskan padaku karena aku adalah anak dari wanita yang kakek pilihkan untuk Daddy.

Sayangnya Daddy tidak pernah mencintai mendiang Mommy, Daddy selalu meninggalkan Mommy untuk bersama dengan wanita yang dicintainya. Bahkan saat Mommy meninggal, Daddy tidak ada disamping Mommy. Itulah asalan mengapa kakek tidak mewariskan hartanya pada Daddy, sebagai hukuman karena menyia-nyiakan wanita pilihannya.

"Menikah dengan Adeline?" gumamku mengingat perkataan Daddy. "Baru kali ini ada seorang ayah yang ingin menikahkan putranya dengan seorang wanita penghibur. Aku memang bukan pria baik, tapi aku juga bukan penjajah kenikmatan wanita, aku bukan penjahat kelamin!" aku semakin benci dengan Daddy.

Adeline adalah wanita yang seperti piala bergilir, pria manapun bisa menidurinya. Lalu Daddy menyuruhku menikahi Adeline hanya karena Adeline anak tirinya? Daddy benar-benar kelewatan, dia memikirkan anak tirinya dan menyesatkan anak kandungnya.

*

*

*

*

*

TBC