NovelToon NovelToon
Dipaksa Kawin Kontrak

Dipaksa Kawin Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Pelakor jahat
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dini Nuraenii

Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.

Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Kaila duduk di sofa kamar nya ,Nafasnya berat, bukan hanya karena kehamilan yang baru mulai terasa, tapi juga karena beban yang kini menghimpit hatinya.

Semua pembicaraan dengan Wira tadi masih terngiang di telinganya kata-kata Wira, dan Nayla tentang masa depan bayi yang belum lahir, tentang posisi dan peranannya yang harus ia jalani.

Sebuah rencana besar yang terasa mengekangnya, seperti benang halus yang mengikatnya tanpa bisa ia putus.

Di kamar yang luas dan sunyi itu, Kaila duduk di tepi ranjang, memeluk perutnya yang mulai membulat. Ia menutup mata, mencoba menenangkan gejolak perasaan dalam dadanya.

“Ini baru awal,” gumamnya lirih. “Tapi aku sudah merasa berat...”

Selama ini, ia tahu Nayla memperlakukannya layaknya pembantu mengatur, memerintah, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa hormat atau empati. Meskipun mereka kini tinggal dalam satu rumah, meski kamar Kaila adalah kamar utama, hubungan itu tak pernah hangat.

Kaila membuka mata, menatap dinding kosong di depannya. Di dalam hatinya, ia bertanya, “Bisakah aku menjalani semua ini? Bisakah aku melindungi bayi ini dari segala bayang-bayang yang mengelilinginya?”

Sebuah harapan kecil menyala dalam benaknya, tapi beban itu nyata. Berat. Teramat berat.

....

Arya berdiri di depan pintu kamar Kaila, menatap sejenak sebelum mengetuk perlahan.

“Kaila,” suaranya dalam dan tenang, “bisa kau keluar sebentar?”

Kaila membuka pintu, menatap Arya yang berdiri dengan wajah serius.

“Ada apa, Arya? Kamu ingin bicara?”

Namun Arya tidak langsung menjawab, hanya tersenyum tipis lalu berkata, “Siapkan dirimu, kita harus pergi.”

Kaila mengernyit. “Ke mana, Arya? Apa ini ada hubungannya dengan…” Dia berhenti, tak ingin membahas lagi soal kehamilan yang baru saja mereka bicarakan.

Arya hanya mengangguk pelan, menatap mata Kaila penuh arti.

“Kaila, percayalah, aku butuh kau ikut. Ini penting.”

Kaila menghela napas panjang, lalu mengangguk.

“Baiklah, aku siap.”

Mereka keluar dari kamar itu, dan dalam perjalanan tak ada kata lain yang terucap. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, berat tapi bukan canggung.

Tak lama kemudian, mobil mewah Arya melaju meninggalkan rumah.

Kaila duduk di sampingnya, diam, menyimpan banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Setelah beberapa menit, mobil berhenti di sebuah lokasi yang tenang dan teduh pemakaman keluarga Satya.

Kaila menatap gerbang besi hitam dengan ukiran rumit itu, suasananya berbeda dari hiruk-pikuk kehidupan bisnis Arya yang biasa.

Arya membuka pintu dan mengajak Kaila berjalan perlahan menuju makam yang sudah rapi dan dipenuhi bunga.

Di sana, berdiri sebuah batu nisan putih dengan ukiran nama almarhumah ibunda Arya,

“Dewi Arumi Satya,” terbaca dengan huruf emas yang mulai pudar.

Arya berdiri membisu sejenak, menatap batu nisan itu.

Kaila tetap diam, menjaga jarak hormat.

Arya menarik napas dalam-dalam, lalu suaranya pecah dalam keheningan.

“Ma…” katanya, menunduk pelan, “Aku tahu selama ini aku sering membuatmu kecewa. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, terlalu keras, terlalu dingin.”

Air matanya mulai jatuh, dan untuk pertama kalinya sejak Kaila mengenalnya, ia menangis sesenggukan.

Kaila menahan napas, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri di samping, menjadi saksi diam saat sosok kuat dan penuh wibawa itu memperlihatkan sisi rapuhnya.

Arya mengusap wajah dengan tangan kasar, mencoba mengendalikan air matanya, namun tak berhasil.

“ma, aku takut aku tidak akan pernah bisa memenuhi keinginan mu, menjadi anak yang kau banggakan.”

Kaila mengalihkan pandangan, mencoba menghalau haru yang mulai menggerogoti hatinya.

Namun ketika Arya kembali berbicara, suaranya yang patah terdengar sangat manusiawi.

“Kaila, aku membawa kau ke sini bukan hanya untuk mengenang mama. Aku ingin kau tahu… aku belum pernah merasa seperti ini di depan siapa pun.”

Kaila mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan pengakuan itu.

“Aku jarang memperlihatkan kelemahan, apalagi di hadapan orang lain. Tapi… kamu adalah satu-satunya yang aku percaya bisa melihat sisi itu.”

Arya menoleh, matanya menatap tajam ke arah Kaila, menyimpan sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Ini bukan soal perasaan. Bukan soal cinta. Ini soal kepercayaan, Kaila.”

Kaila mengangguk pelan, mencoba memahami kata-kata Arya.

“Aku mengerti, Arya.”

Mereka berdiri dalam diam sejenak, di antara bunga-bunga dan kenangan.

Arya melanjutkan, “mama pernah bilang, dalam hidup ini, kekuatan tidak hanya tentang mengendalikan dunia di sekitarmu. Tapi juga tentang berani menunjukkan kelemahanmu saat benar-benar perlu.”

Kaila tersenyum kecil, “Mungkin itu sebabnya aku merasa sedikit lega hari ini, meski suasananya berat.”

Arya menatapnya, ekspresinya berubah sedikit lebih lembut.

“Kalau kau merasa lega, aku senang.”

Kaila menatap Arya, menunggu apa lagi yang ingin disampaikan.

“Tapi aku tidak akan meminta maaf karena menangis hari ini.” Arya mengangkat bahu sedikit, “Karena aku tahu, mama selalu mengajarkan aku untuk jadi manusia, bukan mesin.”

Kaila menarik napas dalam.

“Aku tidak pernah membayangkan melihat Arya Satya seperti ini.”

Arya tertawa kecil, “Aku juga tidak ingin kau membayangkan itu.”

Sesaat, ada keheningan yang terasa hangat, meski belum dekat, tapi ada ruang baru terbuka di antara mereka.

Arya mengucapkan, “Terima kasih, Kaila. Karena sudah mau ikut aku ke sini.”

Kaila mengangguk, “Terima kasih juga sudah mempercayaiku.”

Mereka berbalik meninggalkan makam itu dengan langkah pelan, hati masing-masing sedikit lebih ringan meski beban belum berkurang sepenuhnya.

---

Malam mulai turun sepenuhnya ketika mobil Arya keluar dari area pemakaman. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, menghiasi jalanan yang kini mulai padat dengan kendaraan. Namun di dalam mobil, suasana tetap senyap.

Tak ada yang bicara. Kaila memandangi jendela, membiarkan pikirannya mengembara entah ke mana. Momen Arya menangis di depan makam ibunya tadi masih melekat jelas di benaknya.

Bukan karena itu membuatnya kasihan, melainkan karena ada sisi lain dari pria itu yang baru saja ia lihat sisi yang manusiawi.

Mobil berhenti perlahan di pinggir sebuah taman kota yang tenang. Di tepi trotoar, terdapat bangku panjang dari kayu, teduh oleh pohon-pohon besar dan lampu jalan berwarna kuning temaram.

“Turun sebentar,” ucap Arya pelan. “Kita duduk di situ.”

Kaila menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Di sini?”

Arya hanya mengangguk dan membuka pintu. Tak banyak kata, tapi ia menunggu sampai Kaila ikut turun dan berjalan bersamanya ke bangku taman.

Sampai di sana, mereka duduk berdampingan. Jaraknya cukup untuk menunjukkan bahwa mereka belum dekat, tapi cukup juga untuk menunjukkan bahwa mereka ada dalam percakapan yang sama.

Kaila menarik napas dalam-dalam. Angin malam membelai rambutnya, seolah membantu mendinginkan isi kepala yang penuh pertanyaan dan kekhawatiran.

“Tempat ini... tenang juga,” ucap Kaila, mencoba membuka obrolan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara kendaraan yang melintas.

Arya meliriknya sekilas. “Kadang lebih mudah berpikir di tempat yang tidak terlalu sunyi.” Ia menyandarkan punggung pada bangku, kedua tangannya bersedekap. “Terlalu sunyi malah bikin pikiran makin berisik.”

Kaila mengangguk pelan. Ada benarnya juga.

Untuk beberapa menit, tak ada yang bicara. Hanya suara dedaunan bergoyang pelan dan sesekali bunyi kendaraan dari kejauhan.

Kemudian Arya bersuara. “Kamu... baik-baik saja?”

Kaila menoleh dengan ekspresi sedikit terkejut. “Maksud kamu?”

“Setelah pembicaraan tadi di rumah, lalu ke pemakaman... dan sekarang. Kamu kelihatan banyak diam.”

Kaila menunduk. Ia menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Aku... masih mencerna semuanya. Banyak hal terjadi dalam waktu singkat.”

Arya mengangguk perlahan. “Aku tahu ini berat buat kamu.”

Kaila tersenyum kecut. “Aku tidak tahu harus merasa apa. Marah? Bingung? Takut? Atau justru pasrah? Aku hanya tahu, hidupku berubah dalam satu malam.” Ia menoleh ke Arya. “Dan kamu salah satu penyebabnya.”

Nada bicara Kaila tidak menyindir. Justru terdengar jujur.

Arya mengangguk pelan. “Aku mengerti. Dan aku tidak akan memaksa kamu untuk langsung percaya. Tapi setidaknya, izinkan aku menjaga kamu... selama semua ini berlangsung.”

Kaila tertawa kecil, getir. “Menjaga? Lucu ya, kita terjebak dalam pernikahan yang bahkan tidak kita rencanakan, dan sekarang kamu bicara soal menjaga.”

Arya menoleh. “Kaila.”

“Ya?”

“Aku serius.”

Kaila terdiam. Tatapan Arya bukan main-main. Sorot matanya penuh tekad yang tenang, bukan romantis, bukan juga dramatis.

“Aku mungkin orang yang dingin, kasar, dan terlalu blak-blakan. Tapi satu hal yang tidak bisa aku abaikan adalah tanggung jawab. Dan sekarang, kamu bagian dari itu.”

Kaila menatap ke depan lagi, memandangi lalu lalang mobil dan manusia yang tampak seperti tidak punya beban hidup.

“Kamu selalu berbicara tentang tanggung jawab. Tapi apa kamu tidak merasa... kosong?”

Arya terdiam.

Kaila melanjutkan. “Kamu terlihat kuat, Arya. Tapi hari ini... kamu tidak kuat. Kamu rapuh, sama seperti manusia lain.”

Senyum tipis muncul di wajah Arya. “Itu sebabnya aku membawa kamu ke makam Mama. Supaya kamu tahu, di balik semua ini... aku juga bisa kehilangan arah.”

“Dan kamu ingin aku tahu itu?”

“Ya,” jawab Arya tegas. “Karena aku tidak ingin kamu terus merasa seperti orang luar. Setidaknya, kamu tahu, aku tidak sesempurna yang kamu kira.”

Kaila menghela napas. “Aku tidak pernah mengira kamu sempurna, Arya. Justru... mungkin karena itu aku sedikit tenang. Kamu juga bingung, kamu juga takut.”

Arya menoleh. “Tapi aku akan tetap jaga kamu.”

Kaila terdiam, lalu berbisik, “Terima kasih.”

Mereka kembali diam. Tapi keheningan itu tidak sama seperti sebelumnya. Kali ini, keheningan mereka menyimpan sesuatu: pengakuan diam-diam bahwa mereka tidak saling memahami sepenuhnya, tapi juga tidak ingin saling menjatuhkan.

“Jadi,” Kaila bersuara lagi, suaranya lebih ringan. “Kamu suka duduk di taman malam-malam seperti ini?”

Arya mengangkat bahu. “Dulu sering. Waktu Mama masih hidup, beliau suka ajak aku ke taman. Duduk di bangku, makan es krim, atau sekadar dengar cerita beliau soal pasien-pasiennya.”

Kaila tersenyum kecil. “Mama kamu dokter?”

Arya mengangguk. “Dokter anak. Sering bawa cerita lucu tentang pasien ciliknya. Tapi beliau juga... orang paling keras yang pernah aku kenal.”

“Berarti dari Mama kamu lah sifat dingin itu diturunkan?”

Arya tertawa pelan. “Bisa jadi. Tapi Mama juga punya hati yang lembut. Beliau tegas karena tahu hidup tidak mudah.”

Kaila menatap Arya lama. Ada rasa haru yang tak bisa ia tolak. Mungkin karena hari ini untuk pertama kalinya, Arya benar-benar bicara, bukan hanya mengatur atau menyuruh.

“Kalau Mama kamu masih ada, kira-kira beliau bakal bicara apa ke aku?”

Arya terdiam cukup lama. Lalu menjawab, “Mungkin beliau akan bilang: 'Jangan takut. Anak itu keras kepala, tapi dia punya hati.’”

Kaila tertawa pelan. “Keras kepala ya?”

“Parah,” jawab Arya sambil menyeringai ringan.

“Berarti aku harus siap-siap menghadapi satu tahun yang penuh drama?”

“Penuh kejutan,” sahut Arya. “Tapi kamu akan baik-baik saja. Karena sekarang kamu tidak sendirian.”

Kaila menatapnya, kemudian mengangguk. “Aku harap begitu.”

Mereka duduk di sana cukup lama. Tanpa obrolan berlebihan. Tanpa sentuhan manis yang tidak perlu. Hanya dua orang yang sama-sama terluka, mencoba menjalani apa yang tak mereka pilih.

Dan di malam kota yang mulai sepi, dua hati itu mulai saling mengamati dari jauh. Bukan untuk jatuh cinta. Tapi untuk saling menjaga.

1
mbok Darmi
sekarang kamu merasa menang arya dan nayla tunggu saja seperti ucapan kakek wira kalian hanya menunggu waktu pembalasan atas perbuatan kalian semua ke kaila
mbok Darmi
ngapain takut melahirkan dan merawat anakmu kaila selama kamu sehat bisa bekerja keluar dari rumah tersebut kenapa kamu ragu jgn gadaikan harga diri mu untuk orang2 yg menganggap rendah dirimu jgn sampai kamu menyesal telah menukar anakmu dgn dalih tdk bisa memberikan yg terbaik builshit
R 💤
jangan mau kaila,
R 💤
hadir Thor 👋🏻
R 💤: siap Thor 👋🏻
Dini Nuraeni: Thanks dah mampir dan jadi yang pertama mengomentari 🥹🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!