Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Ketegangan Akhirnya Datang
Tiga minggu. Baru tiga minggu Tari berada di kantor pusat Kartanegara Beauty, dan dunia kecil yang sedang ia coba bangun perlahan mulai retak.
Rumor menyebar cepat, seperti kabut beracun yang merambat di lorong-lorong gedung ber-AC. Semua dimulai setelah kejadian malam itu—saat Vanya, dengan mata menyala, melihat Gilang tertawa bersama Tari. Setelah itu, sesuatu berubah.
Tatapan orang-orang tak lagi hangat. Senyum mereka menyempit, ucapan mereka menggantung. Bahkan Riska, yang sebelumnya sekadar sinis, kini terang-terangan pasif-agresif setiap berbicara dengannya.
Nana yang biasanya ramah mulai menjauh. Bahkan Rega, yang suka bercanda, hanya memberi sapaan singkat.
Yang paling terasa adalah sikap Restu, manajernya sendiri. Wanita yang sebelumnya sangat suportif itu kini mulai terlihat ragu.
“Saya nggak mau ikut campur urusan pribadi,” katanya suatu sore saat memanggil Tari ke ruangannya. “Tapi banyak yang mulai membicarakan kedekatanmu dengan Pak Gilang.”
Tari menegakkan punggung. “Kami hanya bicara soal perjalanan ke Denpasar, Bu. Saya diminta Bu Tirta mendampingi—”
“Saya tahu,” potong Restu cepat. “Tapi... tahu sendiri kan, Vanya punya pengaruh. Banyak yang masih dekat dengannya. Termasuk... beberapa direksi.”
Tari mengangguk pelan. Tapi matanya mulai panas. Ia menunduk, menyembunyikan perasaan yang membuncah.
“Aku akan profesional,” bisiknya pelan.
Restu tidak menjawab, hanya memandangnya lama sebelum kembali menatap layar komputernya.
Hari-hari berikutnya adalah ujian kesabaran. Di ruang kerja, Tari mulai terbiasa dengan tatapan-tatapan yang memeriksa, seolah ia membawa virus. Riska tak lagi menyapa. Nana hanya berbicara jika perlu. Rega mencoba netral, tapi canggung.
Yang paling menyakitkan... komentar dari salah satu staf senior yang merupakan anggota Gilang Fans Club, dilemparkan saat makan siang di pantry.
“Cuma tiga minggu udah akrab banget ya sama Pak Gilang. Apa kabar yang tiga tahun kerja keras di sini?”
Ucapan itu diiringi tawa setengah menahan amarah dari rekan-rekan lainnya.
Tari tidak membalas. Ia hanya berdiri dan keluar dari pantry sebelum air matanya turun.
Kenapa semua ini harus terjadi padaku?
Ia tidak meminta perhatian dari siapa pun. Tidak dari Gilang. Tidak dari kantor ini. Ia bahkan tidak ingin berada di sini kalau saja tidak terpaksa.
Yang membuatnya bertahan hanya satu: perjalanan ke Denpasar bersama Bu Tirta adalah tanggung jawab penting. Dan ia ingin menyelesaikannya sebaik mungkin.
Tapi ketegangan itu memuncak pada hari Kamis, tepat setelah jam makan siang.
Tari sedang berdiri di depan lift lantai lima ketika suara tumit tinggi terdengar cepat dari arah belakang.
“Bisa bicara sebentar?”
Suaranya tegas. Milik Vanya.
Sebelum Tari sempat menjawab, tangan Vanya sudah mencengkeram lengannya dan menariknya ke sudut lorong, di antara lemari arsip dan panel dinding kaca.
“Apa yang kamu lakukan dengan Gilang?” tanyanya dingin.
Tari berusaha tenang. “Kami bicara soal perjalanan kantor.”
“Jangan main cantik ya,” ujar Vanya dengan suara nyaris mendesis. “Kamu pikir kamu siapa? Magang baru yang bisa merebut seseorang seperti Gilang?”
Tari mundur satu langkah. Tapi Vanya mengejarnya, matanya merah.
“Jangan berlagak polos. Aku lihat cara kamu menatapnya. Cara dia... melihat kamu.” Vanya mendekat. “Apa kamu pacarnya sekarang?”
Tari tidak menjawab. Jantungnya berdetak cepat. Matanya mencari pertolongan. Tapi lorong itu sepi.
Vanya mengangkat tangannya. Tatapannya marah.
Dan pada detik itu, sebelum tamparan mendarat, sebuah suara menggelegar menghentikan segalanya.
“Jangan macam-macam kamu, Vanya.”
Vanya menoleh.
Gilang berdiri di ujung lorong, napasnya berat, matanya gelap. Di belakangnya, seorang satpam masih tercekat karena telah menyaksikan kejadian itu dan langsung melapor.
Vanya menurunkan tangannya perlahan. “Jadi... dia pacar barumu sekarang?”
Gilang melangkah cepat ke arah mereka. “Pergi dari sini sebelum aku benar-benar mempermalukan kamu.”
Beberapa staf yang mendengar suara keras mulai keluar dari ruang kerja masing-masing. Tatapan mereka campur aduk—penasaran, bingung, kaget.
Tari hanya berdiri kaku.
Hingga akhirnya, tak tahan lagi, ia berbalik dan berlari—bukan ke lift, tapi ke tangga darurat. Langkahnya cepat, tubuhnya gemetar, dan ketika mencapai lantai dua, ia berhenti di antara tangga dan dinding beton dingin... dan menangis.
Semua tekanan, semua tuduhan, semua ketegangan yang menumpuk akhirnya pecah.
Ia tidak minta ini.
Ia hanya ingin menjalani hidupnya. Menyelamatkan toko bunga. Membalas kebaikan orang yang mengaku neneknya. Tapi semua ini... terlalu menyakitkan.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar menuruni tangga. Lalu suara familiar itu berbicara pelan.
“Tari.”
Tari tidak menjawab. Ia menyeka wajahnya cepat, tapi tangisannya belum reda.
“Tari, aku minta maaf.”
Ia mendongak. Gilang berdiri dua anak tangga di atasnya, wajahnya tak seperti biasanya. Bukan datar. Bukan dingin. Tapi cemas. Rapuh.
“Seharusnya aku melindungimu dari dia,” katanya pelan.
Tari menggeleng. “Aku nggak apa-apa.”
“Jangan bohong.”
Hening sesaat.
Tari akhirnya bicara, nadanya getir. “Mantan kekasihmu itu terlalu sempurna. Seharusnya kamu nggak pernah kehilangannya.”
“Aku tidak meninggalkannya,” jawab Gilang pelan.
Tari menatapnya.
“Dia yang meninggalkan aku,” lanjut Gilang. “Waktu tahu aku bukan anak kandung Bu Tirta, dia mundur. Tanpa pamit. Seperti aku ini... bukan siapa-siapa.”
Tari tidak tahu harus berkata apa.
“Aku nggak akan pernah ninggalin seseorang karena alasan serendah itu,” lanjut Gilang. “Karena aku tahu rasanya ditinggalkan.”
Untuk pertama kalinya, Tari melihat sesuatu yang dalam di mata pria itu. Luka yang disembunyikan di balik ekspresi dingin. Kesepian yang dibungkus oleh sikap tegas.
Dan untuk pertama kalinya juga, Tari merasa... ia tak sendirian dalam rasa sakit.
Namun sebelum ia sempat menjawab, ponsel Gilang bergetar.
Ia melihat layar dan mendadak wajahnya berubah.
“Tari, kamu harus ikut aku. Sekarang.”
Harii berikutnya, suasana kantor tak benar-benar pulih. Meskipun keributan antara Vanya dan Tari tidak sempat menjadi gosip resmi—berkat penyelamatan cepat dari Gilang dan pengamanan internal—tetapi getaran tegangnya masih terasa.
Tari kembali bekerja seperti biasa. Ia mencoba menundukkan kepala, fokus menyelesaikan laporan final untuk keberangkatan ke Denpasar. Namun begitu ia masuk ruang divisi kreatif, atmosfer langsung terasa aneh. Beberapa rekan kerja menatap ke arahnya, lalu berpaling cepat. Bahkan Nana yang biasanya hangat, kini lebih sibuk dengan komputernya dan hanya menyapa seperlunya.
Namun yang paling mencolok... adalah ketidakhadiran Rega.
"Rega sakit?" tanya Tari pelan ke Riska saat duduk di meja kerja.
Riska tidak menoleh. “Nggak tahu. Tapi katanya dia habis dimarahi gara-gara salah kirim dokumen klien ke agensi branding-nya Vanya.”
Tari membeku. “Dokumen kampanye?”
Riska menoleh kali ini. Tatapannya tajam. “Iya. Dokumen final visual dan strategi yang kamu bikin. Dan... katanya isi email itu ada nama kamu ditulis sebagai konsep utama.”
Tari menegang. “Tapi itu dokumen internal.”
“Makanya,” gumam Riska. “Dan sekarang kabarnya, versi yang mirip banget sama konsep kita muncul di salah satu presentasi agensi Vanya ke brand kosmetik kompetitor. Gila, kan?”
Tari merasa darahnya surut dari wajah. Ia langsung berdiri dan melangkah ke ruang manajer.
Restu terlihat stres. Ia mengangkat wajah saat Tari mengetuk pintu.
“Kamu tahu soal bocornya file kampanye?” tanya Tari, suaranya tertahan.
Restu mengangguk berat. “Ya. Gilang sudah minta tim legal cek. Tapi kita belum tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab.”
“Tapi kalau Rega...”
“Rega bilang dia nggak sengaja. Tapi jujur saja, Tar, semua orang tahu kamu yang paling vokal soal ide itu. Dan kalau bener-bener kejadian pencurian konsep, posisi kamu bisa rawan.”
Tari terdiam.
“Orang akan berpikir kamu sengaja kasih ke Vanya,” lanjut Restu, pelan.
Tari menatap manajernya, tak percaya. “Tapi kenapa saya harus—”
“Kamu tahu sendiri gosip yang beredar. Dekat dengan Gilang. Vanya cemburu. Sekarang muncul isu dokumen kamu bocor ke dia. Banyak yang mungkin... berpikir ini permainan.”
Tari terduduk.
Tiba-tiba semua perjuangan selama tiga minggu, semua usaha menjaga profesionalisme, semua kesabaran menghadapi sindiran dan tatapan miring, terasa sia-sia.
Ia yang tidak tahu apa-apa, kini harus menghadapi tuduhan baru.
Sebagai... pengkhianat.
Dan kali ini, tidak hanya reputasinya yang terancam. Tapi juga kepercayaan Bu Tirta, proyek penting ke Denpasar, dan... mungkin posisinya di perusahaan ini.