Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
“Kalian tahu nggak, kadang perubahan besar itu datang dari hal-hal yang nggak kita rencanakan,” kata seorang pria berkacamata bulat, sambil menyesap kopi di depan Juno dan Nala. Namanya Arvan. Ia adalah editor dari sebuah platform media alternatif yang beberapa hari lalu mengirimkan DM ke akun podcast Gagal Paham.
“Podcast kalian itu bukan cuma berani, tapi juga jujur,” lanjut Arvan. “Dan jujur itu langka banget sekarang. Terutama di dunia pendidikan.”
Pertemuan ini berlangsung di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Bukan tempat mewah, tapi hangat. Dindingnya dipenuhi rak buku dan poster kutipan filsuf. Arvan mengenakan hoodie hitam bertuliskan “Kritis Bukan Berarti Kurang Ajar”, dan matanya berbinar tiap kali membicarakan soal perubahan sosial.
Nala, yang biasanya vokal, hari itu banyak diam. Entah karena grogi atau karena terlalu banyak hal berkecamuk di kepala. Juno pun mengambil alih pembicaraan.
“Terus, Mas Arvan, tujuannya ngajak ketemu kita buat apa, ya?” tanyanya hati-hati.
Arvan tersenyum, lalu meletakkan cangkirnya.
“Gue mau ngajak kalian kolaborasi. Buat nulis serial opini di website kami, tentang keresahan anak sekolah zaman sekarang. Bukan cuma soal sistem, tapi juga pengalaman pribadi. Kalian bisa jadi suara generasi yang sebenarnya.”
Nala akhirnya angkat bicara. “Tapi kita bukan penulis profesional.”
“Justru itu yang bikin kalian otentik. Tulis pakai gaya kalian. Mau gaya puisi? Cerita pendek? Dialog imajiner? Bebas. Yang penting, suaranya asli. Bukan editan orang dewasa.”
Juno dan Nala saling pandang.
Mereka tak menyangka keresahan yang awalnya cuma mereka bicarakan lewat podcast kecil bisa membuka pintu seluas ini.
Di perjalanan pulang, angin malam terasa berbeda.
Seolah kota ini sedang memeluk mereka.
“Apa kita ambil tawaran Mas Arvan?” tanya Juno, melirik Nala dari spion motor.
Nala memeluk jaketnya lebih erat, lalu menjawab, “Kita udah jauh. Jangan setengah-setengah.”
Juno mengangguk pelan. Di dalam hatinya, rasa haru dan takut bercampur. Mereka bukan hanya sedang bicara soal tulisan. Ini soal keberanian menghadapi risiko yang lebih besar.
Karena semakin luas mereka bicara, semakin banyak mata yang mengawasi.
Esok paginya, suasana sekolah terasa lebih… tegang.
Beberapa guru melirik mereka dengan tatapan tajam. Bahkan Pak Hadi guru sejarah yang selama ini cukup santai tiba-tiba memanggil Juno dan Nala ke ruang guru.
“Podcast kalian sudah terlalu jauh,” katanya tanpa basa-basi. “Kalian tidak sadar, banyak orang tua yang mulai bertanya-tanya tentang integritas sekolah ini.”
Nala mencoba tenang. “Tapi, Pak, kami cuma menyuarakan apa yang kami alami.”
“Dan itu bukan caranya. Kalian menjelekkan institusi ini di mata publik.”
Juno ikut bicara. “Kami tidak pernah menyebut nama sekolah, Pak. Semua disamarkan.”
“Tapi orang tahu. Dan sekarang kepala sekolah sedang mempertimbangkan untuk memanggil orang tua kalian.”
Diam.
Juno mengepalkan tangan. Ia merasa seperti sedang dihukum karena berkata jujur. Tapi sebelum suasana makin panas, Pak Hadi menambahkan satu kalimat yang mengejutkan mereka.
“Tapi saya pribadi… setuju dengan beberapa hal yang kalian sampaikan.”
Mata Juno membulat. “Pak?”
Pak Hadi menghela napas.
“Ini sistem yang sudah berjalan terlalu lama. Kami guru pun sering merasa tertekan. Tapi hati-hati, Nak. Dunia tidak selalu ramah pada mereka yang jujur.”
Malam harinya, mereka mulai menulis.
Juno duduk di meja belajarnya, menyalakan lampu baca, dan membuka laptop bekas ayahnya yang sering ngadat. Ia mengetik:
> Judul: Sekolah Rasa Penjara
Oleh: Juno, 17 tahun
> Kami duduk rapi setiap pagi. Mendengarkan tanpa boleh bertanya terlalu banyak. Menulis cepat untuk mengejar materi, bukan memahami makna. Kami diajari nilai-nilai, tapi tidak diajak bicara tentang nilai-nilai itu. Kami diminta sopan, tapi suara kami tidak pernah diizinkan keluar.
> Ini bukan sekolah. Ini penjara berpagar kurikulum.
> Dan kami… sedang belajar melarikan diri, bukan dari ruangannya, tapi dari kebisuannya.
Sementara itu, Nala menulis dengan cara berbeda. Ia masih menggunakan buku tulis, menuliskan draf dengan pena warna-warni.
> Judul: Nilai yang Tidak Bernilai
> Di sekolah kami, angka adalah segalanya. Nilai rapor lebih penting dari nilai hidup. Anak yang pandai bicara dianggap pembangkang. Anak yang terlalu sering bertanya dianggap mengganggu.
> Lalu, untuk apa kami belajar, jika satu-satunya tujuan adalah menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak mau berubah?
Artikel mereka dipublikasikan seminggu kemudian.
Responsnya mengejutkan.
Banyak remaja dari sekolah lain membanjiri kolom komentar. Mereka merasa kisah mereka akhirnya punya tempat. Salah satu komentar berbunyi:
> “Gue pikir cuma gue yang ngerasa begini. Ternyata kita banyak. Mungkin kita harus bersuara juga.”
Namun tentu saja, tak semua senang.
Seorang guru menulis balasan panjang yang menyudutkan mereka. Seorang alumni bahkan menyebut mereka generasi manja. Dan kepala sekolah mulai memanggil orang tua mereka, satu per satu.
Tapi dari semua yang terjadi, satu pertemuan mengubah segalanya:
Mereka diundang ke forum pendidikan nasional di ibu kota, sebagai “perwakilan suara siswa” dalam diskusi panel tentang masa depan pendidikan Indonesia.
Undangan itu datang dari seorang dosen bernama Bu Mariska, yang ternyata diam-diam mengikuti perjalanan mereka sejak podcast pertama.
Di emailnya, tertulis:
> “Kalian bukan hanya sedang bersuara. Kalian sedang menulis sejarah. Jangan berhenti.”
Juno dan Nala tak lagi sekadar pelajar yang resah. Mereka kini pembicara, penulis, dan simbol kecil dari generasi yang ingin dimengerti.
Tapi perjalanan ini belum selesai.
Karena setiap langkah lebih tinggi, anginnya lebih kencang. Dan belum tentu semua teman akan tetap bersama.