Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 20
Malam telah larut ketika Rania terjaga dari tidurnya. Di sebelahnya, Adrasta terlelap dengan napas teratur, wajahnya tampak lebih lembut dalam ketenangan tidur. Namun, hati Rania bergemuruh. Peristiwa yang baru saja terjadi antara mereka berdua masih terpatri jelas di benaknya. Perasaan bersalah dan penyesalan menyelimuti dirinya, membuat dadanya sesak.
Perlahan, Rania bangkit dari ranjang tanpa membangunkan Adrasta. Langkah kakinya membawanya ke kamar mandi yang terletak di sudut kamar. Begitu pintu tertutup, ia menyalakan lampu redup dan menatap bayangannya di cermin.
Mata yang sembab, bibir yang sedikit bengkak, dan jejak-jejak sentuhan Adrasta masih terasa di kulitnya. Air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung. Isakan pelan memenuhi ruangan kecil itu. Rania merasa tubuhnya telah mengkhianatinya; bagaimana mungkin ia merespons sentuhan Adrasta dengan begitu intens, padahal hatinya menolak.
la merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri, dan itu membuatnya muak. Setelah beberapa saat, Rania mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. la menyadari bahwa tinggal di vila ini bersama Adrasta hanya akan semakin menyiksa batinnya.
Keputusan pun diambil: ia harus pergi dari tempat ini. Kembali ke kamar, Rania memastikan Adrasta masih tertidur pulas. la mengambil pakaian seadanya dan mengenakannya dengan cepat. Tanpa membawa barang-barang lainnya, ia mengendap-endap keluar dari kamar, menuruni tangga dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Vila itu sunyi, hanya terdengar desiran ombak dari kejauhan. Rania tahu bahwa di ujung dermaga terdapat helipad dengan helikopter yang selalu siap sedia. Jika ia bisa mencapai helikopter itu dan menerbangkannya, ia bisa melarikan diri dari pulau ini. Langkahnya semakin cepat saat melihat helikopter tersebut.
Namun, tepat ketika ia hampir mencapai pintu kokpit, sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya. Rania terkejut dan berbalik, menemukan Adrasta berdiri di belakangnya dengan ekspresi dingin namun matanya menyiratkan kekecewaan. "Mau ke mana, Rania?" suaranya rendah namun tajam.
Rania mencoba melepaskan diri, namun genggaman Adrasta terlalu kuat. "Lepaskan aku, Adrasta! Aku tidak bisa tinggal di sini bersamamu!"
Tanpa berkata-kata, Adrasta menarik Rania kembali menuju vila. Mereka melewati lorong-lorong hingga tiba di sebuah pintu yang sebelumnya tidak pernah Rania lihat.
Adrasta membuka pintu tersebut dan mendorong Rania masuk ke dalam ruangan yang remang-remang. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai barang pribadi: foto-foto lama, buku-buku usang, dan benda-benda kenangan lainnya. Di tengah ruangan, terdapat sebuah piano tua dengan beberapa lembar partitur musik yang sudah menguning.
Adrasta melepaskan genggamannya dan berjalan menuju salah satu foto yang terpajang di dinding. la mengambilnya dan menatapnya dengan tatapan kosong. Rania, meski masih diliputi amarah, merasa penasaran dan mendekat perlahan.
"Ini tunangan ku," ujar Adrasta lirih, menunjukkan foto seorang gadis muda dengan senyum cerah. "Namanya Alina. Dia meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan." Rania terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Sejak kepergiannya, aku merasa kehilangan sebagian dari diriku," lanjut Adrasta. "Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah lagi kehilangan orang yang aku cintai."
la menatap Rania dengan mata yang penuh emosi. "Jangan pernah membuatku kehilangan orang yang aku cintai lagi, termasuk kamu, Rania."
Kata-kata itu menggema di benak Rania. la mulai memahami alasan di balik sikap posesif Adrasta terhadapnya. Namun, apakah itu cukup untuk membenarkan semua tindakan Adrasta?