Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan di Gunung Meru
Arjuna tertidur di sofa reyot dengan lengan bersedekap, ekspresi wajahnya tetap angkuh meski dalam lelap. Nafasnya teratur, dadanya naik turun perlahan. Bara duduk di lantai, bersandar pada dinding dengan tangan di belakang kepala, sementara Kirana masih sibuk dengan ponselnya, mencari lebih banyak informasi.
"Jadi, menurut lu, dia beneran Dewa?" Bara membuka pembicaraan, suaranya rendah agar tak membangunkan Arjuna.
Kirana menghembuskan napas panjang. "Gue nggak tahu, Bar. Banyak yang cocok sama cerita dia, tapi rasanya masih nggak masuk akal. Ini bukan film atau komik, ini dunia nyata."
Bara mengedikkan bahu. "Tapi kalau dia bohong, buat apa? Kalau niat nipu, kenapa repot-repot bikin cerita serumit ini?"
Kirana terdiam. Itu juga yang mengganggunya. Arjuna memang sombong, tapi dia tidak tampak seperti orang yang berusaha menipu. Malah, sepertinya dia kesal karena mereka tidak langsung percaya padanya.
"Mungkin dia kena amnesia atau semacamnya," kata Kirana akhirnya. "Bisa jadi dia punya trauma dan menciptakan dunia ini di pikirannya."
Bara mendengus. "Ya, atau bisa juga… dia beneran Arjuna."
Kirana menatap Bara dengan ekspresi tidak percaya. "Lu mulai percaya sama dia?"
Bara mengangkat tangan. "Gue cuma bilang… kita nggak punya bukti buat nolak kemungkinan itu. Kalau bener dia Dewa, dan kekuatannya dicabut, itu berarti dunia ini lebih gila dari yang kita bayangin."
Kirana menggigit bibirnya, kembali melirik Arjuna yang masih terlelap. "Kalau dia beneran Dewa… berarti ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi."
Bara menyeringai. "Yah, kalaupun nggak, minimal kita dapat cerita paling unik sepanjang hidup kita."
Malam semakin larut. Di luar, suara kendaraan yang melintas terdengar samar, bercampur dengan angin malam yang berhembus lembut. Di dalam ruangan kecil itu, dua manusia biasa duduk, mencoba memahami seorang pria yang mengaku sebagai Dewa.
Dan entah kenapa, mereka merasa bahwa pertemuan ini akan mengubah hidup mereka selamanya.
Di puncak Gunung Meru, di dalam istana megah yang menjulang di antara awan, Dewa Arka Dewa berdiri di balkon utama, menatap ke bawah dengan ekspresi keras. Di kejauhan, samudra langit membentang luas, sementara kota-kota para Dewa berkilauan dengan cahaya emas. Namun, baginya, pemandangan itu terasa hampa.
Di belakangnya, Dewi Laksmi berdiri dengan ekspresi penuh kegelisahan. Matanya yang lembut menatap suaminya, mencoba mencari celah dalam pertahanan emosionalnya yang kokoh.
"Kau masih memikirkan dia?" suara Laksmi lirih, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh Arka Dewa.
Dewa Agung itu tidak segera menjawab. Ia tetap diam, kedua tangannya mengepal di pagar balkon. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Aku telah mengambil keputusan. Tidak ada yang bisa mengubahnya."
Laksmi melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut namun sarat dengan ketegasan. "Aku tidak meminta untuk mengubah keputusanmu, Arka. Aku hanya ingin kau mendengar isi hatiku."
Arka Dewa akhirnya menoleh, matanya menyiratkan pertentangan batin yang jarang terlihat darinya. "Aku mendengar, Laksmi."
Laksmi menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Arjuna memang sombong, angkuh, dan tidak mendengarkan nasihat kita. Tapi dia masih anak kita. Kau mengirimnya ke dunia manusia tanpa kekuatan, tanpa perlindungan. Bagaimana jika dia dalam bahaya? Bagaimana jika dia tidak bisa bertahan?"
Arka Dewa menghela napas panjang, suaranya terdengar lebih berat. "Itulah yang harus dia pelajari. Jika dia ingin menjadi pewaris takhta, dia harus tahu bagaimana rasanya menjadi lemah. Dia harus tahu bahwa kekuatan bukanlah segalanya."
Laksmi menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Tapi dia sendirian di sana..."
Arka Dewa menatap istrinya dengan penuh kasih sayang, tetapi juga dengan keteguhan hati. "Dia tidak akan pernah benar-benar sendirian. Dia anak kita, Laksmi. Dan suatu hari, dia akan kembali… dengan pemahaman yang lebih besar tentang siapa dirinya sebenarnya."
Laksmi menundukkan kepalanya, masih merasa berat menerima keputusan ini, tetapi ia tahu bahwa suaminya tidak akan berubah pikiran. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia berharap Arjuna akan menemukan jalannya kembali sebelum semuanya terlambat.
Di dalam aula besar istana Gunung Meru, keempat saudara Arjuna berkumpul. Suasana terasa tegang sejak keputusan Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia.
Dewi Indira berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke puncak awan. Matanya menatap langit yang mulai gelap, seakan menyalin kegelisahan dalam hatinya.
"Ayah terlalu keras," ucapnya akhirnya, suaranya bagaikan guruh yang tertahan. "Aku tahu Arjuna punya banyak kesalahan, tapi mengirimnya ke dunia manusia tanpa kekuatan? Itu hukuman yang kejam."
Dewa Bhima, yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, mendengus. "Arjuna terlalu besar kepala. Aku sudah sering memperingatkannya. Dia pikir dia yang paling kuat, paling hebat. Sekarang dia akan merasakan bagaimana rasanya menjadi lemah."
Dewi Saraswati yang duduk di singgasananya hanya menghela napas. "Tapi apa kita akan membiarkannya begitu saja? Bagaimanapun juga, dia tetap saudara kita."
Dewa Nakula yang sejak tadi hanya bersandar di pilar akhirnya angkat bicara, suaranya ringan tetapi tajam. "Mungkin ini adalah bagian dari takdirnya. Arjuna selalu berpikir bahwa menjadi kuat berarti menguasai segalanya. Mungkin ini cara agar dia belajar bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang kemampuan bertarung."
Indira menoleh kepada saudara-saudaranya, ekspresinya penuh ketegangan. "Lalu, apa kita hanya akan menonton?"
Bhima menatap Indira dengan mata tajam. "Kita tidak bisa menentang keputusan Ayah."
Saraswati mengangguk pelan. "Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa mengawasinya dari kejauhan."
Nakula tersenyum kecil. "Aku bisa menyelinap ke dunia manusia dan melihat keadaannya. Ayah tidak akan menyadari keberadaanku."
Indira akhirnya tersenyum tipis, tetapi matanya masih menyiratkan kecemasan. "Lakukan dengan hati-hati, Nakula. Jika ada hal buruk yang terjadi pada Arjuna, kita harus siap untuk bertindak."
Di kejauhan, awan-awan gelap berkumpul, seakan menandakan bahwa takdir Arjuna baru saja dimulai.