Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Petir Yang Menari, Api Yang Mengamuk: Akhir Pertarungan Melawan Gong Cheng
Petir masih menjalar di sepanjang lengan Wu Shen ketika Wu Ruoxi berdiri di sampingnya. Kabut belum sepenuhnya hilang, namun hawa panas dan ion listrik yang menyelimuti udara membuat seluruh goa seperti kantong badai yang siap meledak kapan saja.
Gong Cheng berdiri goyah. Tubuhnya compang-camping—darah mengalir dari pelipis, kulitnya retak dan menghitam terbakar. Namun mata bandit veteran itu masih menyala. Bukan karena kekuatan, tapi karena harga diri yang menolak untuk tumbang.
“Dua lawan satu,” gumamnya parau. “Jangan kira angka bisa menggulingkan batu karang.”
Wu Ruoxi menyipitkan mata. “Kau bukan batu. Hanya arang yang belum tahu kapan saatnya padam.”
ZRAK!
Wu Shen bergerak. Bayangannya berkelebat di antara kabut, tubuhnya melesat menjejak batu dan dinding dengan kecepatan tinggi, menciptakan suara seperti cambuk yang berderak. Ia meluncur ke arah Gong Cheng dengan posisi rendah, lalu menghantam lutut pria itu dengan tendangan menyamping bertenaga chi petir.
Seketika, percikan listrik meloncat dari tubuhnya, menyengat sendi dan mengacaukan keseimbangan.
“ARGH!” Gong Cheng menggeram, mengayunkan siku ke bawah—namun Wu Shen sudah memantul ke belakang, tubuhnya mendarat ringan seperti hembusan bayangan.
SRETT!
Wu Ruoxi menyelinap dari sisi kabut, tubuhnya berputar satu lingkaran penuh, lalu melepaskan tendangan belakang dengan titik api yang menyala di tumitnya.
“Seni Naga Api: Tendangan Merah!”
BAMM!
Tendangan menyambar sisi tubuh Gong Cheng, memaksanya terpental beberapa langkah. Panas dari teknik itu bukan hanya membakar kulit, tapi menembus ke dalam, membuat ototnya mengencang karena syok termal.
Wu Shen segera menembus kabut dari sisi sebaliknya, tubuhnya melesat seperti kilatan petir.
“Seni Naga Petir: Sambar Tiga Ruas!”
Tiga lutut cepat dan mematikan menghantam titik-titik vital: ulu hati, solar plexus, dan bawah dagu. Dentuman dari tiap pukulan terdengar tajam—seperti besi menghantam daging.
Tubuh Gong Cheng terguncang keras, napasnya terputus, namun dalam keadaan terhuyung, ia menghantam tanah dengan tinju.
“Seni Naga Bumi: Perisai Tubuh Batu!”
Lapisan tanah terangkat, merambat ke seluruh tubuhnya, mengeras menjadi zirah kasar yang menebalkan bahu, dada, dan punggung. Uap panas mengepul dari kulitnya yang terbakar, tapi ia tetap berdiri. Mata merahnya menatap mereka seperti binatang liar yang tak bisa ditundukkan.
Wu Ruoxi mengatur napasnya, bahunya mulai naik-turun. “Shen'er. Saatnya... kita menguburnya hidup-hidup.”
Wu Shen mengangguk. Ia menjejak dinding, lalu meluncur memutari Gong Cheng. Kali ini, bukan untuk menyerang langsung—tetapi menghantam titik persendian dengan pukulan mikro yang menyuntikkan listrik ke dalam tubuhnya.
Setiap sentuhan adalah serangan internal. Aliran listrik merusak koordinasi otot Gong Cheng, memperlambat refleksnya.
Sementara itu, Wu Ruoxi menurunkan tubuh, lalu memutar, menyapu tanah dengan tumit menyala merah—serangan itu memanaskan area sekitar Gong Cheng, membuat tanah di sekitarnya memanas seperti bara.
Uap mulai muncul dari lapisan zirah Gong Cheng.
Wu Shen meloncat tinggi ke udara dari punggung ibunya, tubuhnya berputar dalam manuver berani yang menyilaukan.
“Seni Naga Laut: Bayangan Laut Dalam!”
Wu Shen mengganti seni beladiri yang dia gunakan di detik-detik terakhir, matanya bersinar kebiruan ketika aura laut yang menyejukkan mulai menyelimuti dirinya.
Dengan telapak tangan yang diselimuti energi Chi Air, Wu Shen menghantam tubuh besar Gong Cheng, mengalirkan lebih banyak energi air ke dalam tubuh batu itu.
Gong Cheng mendongak, matanya membelalak ketika menyadari gejolak hebat di dalam tubuhnya, seolah dirinya tenggelam sepenuhnya dalam air yang dalam.
“Apa ini…!?” gumamnya terperangah.
Itu adalah momen yang ditunggu Wu Ruoxi.
Ia menjejak tanah, lalu melompat ke depan, tubuhnya berputar satu kali, dan memusatkan seluruh napas, tenaga, serta elemen api ke dalam satu pukulannya.
“Seni Naga Api: Sumbu Kehancuran!!”
Tinjunya menyala merah keemasan—bukan hanya api, tapi kobaran yang padat dan memutar seperti bor panas yang memecah batu. Pukulan itu menghantam tepat di kepala Gong Cheng—menghancurkan armor batunya dan langsung menghantam tengkoraknya.
KRRAKK!!!
Suara keras retakan dan dentuman menggema di seluruh goa. Batu pecah. Kepala terpukul keras. Tubuh Gong Cheng melayang beberapa meter sebelum menghantam batu di belakangnya dengan keras.
Tanah bergetar bersamaan dengan ledakan uap seperti air yang dipanaskan.
Wu Shen mendarat di tanah, namun langsung terjatuh akibat lututnya yang mati rasa, nafasnya tersengal berat.
'Aku terlalu banyak menggunakan energi Chi...' pikir Wu Shen. Meskipun kapasitas energi Chi miliknya jauh lebih besar dari orang di ranah setingkatnya, namun itu tetap saja kurang dalam penggunaan dua aliran seni beladiri sekaligus.
Wu Ruoxi mencoba berdiri tegak, tapi pundaknya sedikit goyah. Keringat membasahi pelipisnya, dan kulit tangannya kemerahan karena panas teknik terakhir yang ia paksa gunakan di ambang batas.
Ketika uap mulai mereda, terlihat Gong Cheng yang tergeletak tak jauh dari mereka.
Zirah batu di tubuhnya retak seperti pecahan keramik. Tubuhnya hangus, dada tak lagi naik-turun. Matanya terbuka, tapi tidak bergerak—menatap langit-langit goa dengan pandangan kosong dan tercengang.
Sang bandit yang merupakan jenderal pembangkang... telah mati.
Wu Ruoxi menurunkan lengannya perlahan begitu menyadari jika lawannya telah kalah.
“Sudah berakhir…” gumamnya.
Wu Shen, yang masih terduduk di lantai goa tersenyum kecil meski keringat membasahi wajahnya. "Latihan yang baik untuk ranah baruku..." ucapnya nyaris seperti gumaman.
Wu Shen kemudian menoleh kearah ibunya. “Ibu…” katanya lirih, tersenyum kecil di balik kelelahan luar biasa. “Kita menang—”
Namun, Wu Ruoxi hanya diam tak menjawab. Ia menatap rekan-rekannya yang tak sadarkan diri satu persatu. Lalu akhirnya menatap kearah Wu Shen dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Ia membuka setengah mulutnya, hendak bertanya tentang sesuatu yang mengganggunya sejak tadi.
Namun akhirnya, Wu Ruoxi menghela nafas panjang dan berkata: "Kita akan bicara nanti, sebaiknya kau berkata dengan jujur ketika kita bicara."
Setelah mengatakan itu, Wu Ruoxi menghampiri He Qingsu yang tengah tak sadarkan diri. Ia mengambil sebuah gulungan jimat dari dalam tas kecil He Qingsu dan menggunakannya untuk meminta bantuan dari Sekte Phoenix.
Bagaimanapun, tidak mungkin Wu Ruoxi membawa kelima anggotanya yang sedang tidak sadarkan diri itu ke Sekte tanpa bantuan.
Wu Shen hanya menatap ibunya ketika wanita itu tengah mengirim jimat yang berubah menjadi burung origami dan terbang cepat keluar goa. Ia sedikit bingung dengan sikap Wu Ruoxi, namun tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
'Dia... mencurigaiku karena bisa menggunakan aliran seni beladiri lain selain Seni Naga Api...'