Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Dua jam telah berlalu sejak Nina kembali ke kios laundry, setelah pertemuan dengan Hani. Ia masih terpaku di kursinya, menatap kosong ke arah mesin cuci yang berputar tanpa henti, seperti pikirannya sendiri yang tak kunjung menemukan ketenangan. Wati dan Ayu, melihat kondisi majikan mereka yang tak seperti biasanya, saling berbisik khawatir.
“Mbak Wati, Bu Nina kenapa ya? Dari tadi cuma bengong aja,” bisik Ayu, mencoba melirik Nina tanpa sepengetahuannya.
“Aku juga nggak tahu, Yu. Bu Nina kan orangnya bisa dibilang tertutup.Ada masalah apapun juga gak pernah cerita sama kita. Apalagi kalau itu masalah pribadi,” jawab Wati, ikut merasa cemas. Mereka berdua memang sudah cukup lama bekerja dengan Nina, sejak Nina membeli lahan baru di tempat itu, jadi mereka tahu betul bagaimana karakter majikannya.
Nina tersentak dari lamunannya saat mendengar bisikan-bisik Wati dan Ayu. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayangan Wito dan Anton yang terus menghantuinya. Ia harus kuat, demi Agus, demi masa depannya.
“Aku tidak apa-apa, kalian jangan khawatir,” ucap Nina akhirnya, suaranya terdengar lirih. Ia tak mampu menceritakan semuanya secara detail kepada Wati dan Ayu, namun ia merasa perlu sedikit bercerita untuk mengalihkan pikirannya.
“Apa ibu sedang ada masalah, Bu? Ceritakan saja sama kami. Mungkin kami bisa membantu,” tawar Wati dengan tulus. Ayu mengangguk setuju. Mereka berdua merasa seperti keluarga bagi Nina.
Nina menceritakan sedikit tentang pertemuannya dengan Hani, tentang kecurigaan terhadap Wito. Ia menyembunyikan detail yang terlalu pribadi, hanya menceritakan secara garis besar.
Wati dan Ayu mendengarkan dengan seksama. Mereka tercengang mendengar cerita Nina. Mereka tak menyangka bahwa Wito, yang selama ini terlihat baik dan bertanggung jawab, ternyata menyimpan rahasia besar.
“Ah, pantas saja. Kadang aku sedikit merasa aneh dengan teman bapak itu,” ucap Ayu.
“Bu Nina, sabar ya. Ibu harus lebih kuat. Jangan biarkan apa yang dilakukan bapak, membuat ibu menjadi terpuruk,” menghibur Wati, sambil menepuk pelan tangan Nina.
“Iya, Bu. Kami selalu ada untuk Bu Nina,” tambah Ayu, memberikan dukungan moril.
Dukungan dari Wati dan Ayu sedikit mengurangi beban Nina. Ia merasa sedikit lebih tenang. Keputusan untuk bercerai semakin kuat Ia akan mempersiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan bisa saja akan terjadi. Ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi reaksi Agus, keluarga, dan lingkungan sekitarnya.
Nina berpikir, mungkin dia perlu bicara dengan ayah dan juga pak lik nya. Dia perlu saran dan bantuan dari mereka berdua. Dan jika perlu dia akan melibatkan pak saleh dan pak Kartono. Karena saat itu pembuatan surat perjanjian juga melibatkan mereka.
***
Nina pulang ke rumah sebelum waktunya. Ia pamit dan menyerahkan segala urusan laundry pada Wati dan Ayu. Sebuah rasa mendesak tiba-tiba mencengkeram hatinya. Ia harus segera pulang. Pikirannya melayang pada berkas-berkas penting, surat-surat, dan dokumen-dokumen yang selama ini ia simpan di rumah.
Nina merasa perlu mengamankan nya sebelum Wito menyadari bahwa dirinya sudah ketahuan, dan juga niatnya untuk bercerai. Bukan sedih, bukan patah hati. Tapi dia kecewa. Kepercayaan dan kesempatan yang dia berikan ternyata disia-siakan oleh Wito.
Untuk itu dia tak kan menunda lama. Dia tak ingin bermain drama dengan memberi pelajaran atau bermain-main dulu. Baginya sudah cukup dia akan membuat Wito menjadi miskin.
Wati dan Ayu menatap kepergian Nina dengan rasa iba. Kedua karyawati yang merupakan tetangga se-desa Nina itu tahu majikannya sedang dalam kondisi yang tak baik. Merka ikut prihatin, apalagi Wati yang juga pernah mengalami pahitnya pengkhianatan.
***
Sesampainya di rumah, Nina yang tak menemui keberadaan Agus langsung bergegas menuju kamarnya.
“Pasti di sedang main ke rumah Sinta atau Yoga,” pikirnya.
Nina membuka lemari pakaian, di rak paling atas, mencari sebuah map tebal yang berisi dokumen-dokumen penting. Jantungnya berdebar kencang saat tangannya menyentuh map itu. Ia membuka dan mengeluarkan isinya satu persatu. Ada BPKB mobil pick up, BPKB motor, sertifikat rumah, sertifikat tanah, buku tabungan, dan beberapa surat penting lainnya yang akan ia butuhkan guna mengurus perceraian. Ia memeriksa semuanya dengan teliti, memastikan semuanya lengkap dan dalam kondisi baik.
Setelah mengumpulkan semua dokumen penting, Nina memasukkannya ke dalam sebuah tas ransel yang sudah disiapkan sebelumnya. Termasuk juga beberapa kotak perhiasan yang sebelumnya ia beli sebagai tabungan hari tua. Ia akan menyimpan semua itu di rumah ayahnya. Sekarang, sebelum wito pulang.
***
Sementara itu di tempat lain.
Di sebuah salon besar yang terletak di dekat jalan raya, Sudah sejak kembali ke salon tadi, Hani menghubungi susilo kakaknya untuk datang ke salon miliknya. hani ingin menyampaikan apa yang diminta oleh Nina.
Wanita itu terlihat gelisah mondar-mandir. Ia sesekali melirik jam tangannya, menunggu kedatangan kakaknya. Telepon genggamnya masih tergenggam erat di tangan,
“Semoga Mas Susilo nggak ada halangan,” gumam Hani, sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas tangan kecil. Udara di dalam salon terasa sedikit pengap, menambah kegugupannya. Kalau saja dia bisa meninggalkan salonnya lebih lama, pasti dia yang akan pergi menemui kakaknya.
Susilo seorang yang bebas. Kakak Hani itu memiliki lima buah truk pengusung pasir dan tanah merah. Satu truk dikemudikan sendiri, sedang yg lain sudah ada yang bertanggung jawab. Jadi pekerjaannya fleksibel. Itu sebabnya dia meminta kakaknya saja yang datang ke salonnya.
Tak lama kemudian, sebuah truk berwarna hijau tua berhenti di depan salon. Hani tersenyum lega, mengetahui itu adalah truk milik Susilo.
Susilo, dengan penampilannya yang santai—kaos oblong, celana jeans, dan sepatu karet—turun dari truknya. Rambutnya sedikit berantakan, menandakan aktivitasnya yang padat sepanjang hari. Di balik sikap santainya, terlihat sorot mata yang tajam dan penuh tekad.
“Han, sorry telat. Tadi ada sedikit masalah di tambang,” ucap Susilo, menyapa Hani dengan senyum ramah. Tangannya bergerak menyeka keringat dengan handuk yang mengalung di lehernya. Tampak sekali pria itu sedang lelah.
“Gak papa, Mas. Yang penting Mas Susilo sudah datang,” jawab Hani, menarik napas lega. Ia mengajak Susilo ke ruang kerjanya yang sederhana di pojok salon.
Hani menceritakan permintaan Nina secara detail. Ia menjelaskan tentang bukti yang dibutuhkan Nina.
“Jadi kamu sudah ceritakan semua yang pernah kita lihat pada Nina?” tanya Susilo. Hani melihat ada sesuatu yang berbeda di mata Susilo. Sebuah api amarah yang terpendam di balik senyumnya.
“Iya, Mas. Ini tadi juga aku habis ketemuan sama dia di kafe terus hubungin Kamu,” terang Hani. “Lalu Nina bilang butuh foto-foto atau kalau bisa mungkin video.”
Susilo mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk tanda mengerti. Kedua tangannya terkepal erat, dengan sorot mata menyala, membuat Hani sedikit merinding melihat nya.
Susilo tidak pernah semarah itu sebelumnya. Bahkan dulu saat dia pulang dari kerja di Malaysia dan mengetahui Nina telah menikah dengan pria lain saja, kakaknya tidak semarah itu.
Pria yang sebenarnya telah menyimpan perasaan pada Nina sejak lama itu hanya terlihat kecewa, dan menyesali dirinya yang tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Nina. Namun kini melihat Wito berkhianat, pria itu tidak terima. Perasaan sakit dan marah bercampur aduk dalam dadanya.
“Apakah maksudnya, Nina butuh bukti yang kuat untuk bisa menggugat cerai Wito?” tanya Susilo memastikan pemahamannya. Suaranya terdengar datar, namun terlihat rahangnya mengeras.
“Iya, Mas. Nina bilang begitu. Dia tak akan memberikan kesempatan pada Wito lagi” jawab Hani.
Susilo mengangguk pelan. Ia tak perlu waktu lama untuk memutuskan. “Baiklah, Han. Aku akan bantu Nina. Aku akan dapatkan apa yang dia butuhkan,” kata Susilo tegas dan penuh keyakinan.
Susilo memiliki jaringan dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Sebagai seseorang yang terbiasa berurusan dengan orang-orang di berbagai lapisan masyarakat, mendapatkan informasi dan bukti bukanlah hal yang sulit baginya. Lebih dari itu, ia ingin membalas sakit hati yang dirasakan Nina.
“Terima kasih, Mas. Aku tahu aku bisa mengandalkan Mas Susilo. Dan Nina pasti juga sangat senang,” ucap Hani. Ia sangat lega.
“Jangan khawatir, Han. Paling lama satu minggu untuk mendapatkan bukti terbaru.” Susilo menepuk punggung tangan Hani.
“Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu, ya? Masih ada pesanan yang harus aku selesaikan.”
“Hati-hati bawa truk nya, Mas!”
tak or yak?
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/