"Panggil Bee aja seperti biasa. Gak ada akan ada yang curiga kan kalau kita in relationship, namaku kan Bilqis keluarga panggil aku Bi."
"We have no relationship."
Samapai kapanpun aku akan mengingat kalimat itu.
>_<
Bahkan hubungan yang aku pahami, lain dari hubungan yang kamu pahami.
Kamu tidak salah.
Aku yang salah mengartikan semua kedekatan kita.
Aku yang begitu mengangumimu sejak kecil perlahan menjelma menjadi cinta, hingga salah mengartikan jika apa yang kamu lakukan untukku sebulan terakhir waktu itu adalah bentuk balasan perasaannku.
Terima kasih atas waktu sebulan yang kamu beri, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasakan layaknya seorang kekasih dan memilikimu.
Tolong jangan lagi seret aku dalam jurang yang sama, perasaanku tulus, aku tidak sekuat yang terlihat. Jika sekali lagi kamu seret aku kejurang permainan yang sama, aku tidak yakin bisa kembali berdiri dan mengangkat kepala.
This is me, Bee Ganendra.
I'm not Your Baby Bee Qiss anymore
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Unik Muaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memanggil Namamu
"Itu mobil Kak atau gocar?."
"Motor Kakak rusak?."
Aku langsung menyengir mendengar pertanyaan anak-anak kampung yang mengelilingiku.
Ini kali pertama aku menggunakan mobil pergi kelapangan basket di perkampungan, jadi wajar saja anak-anak bertanya seperti barusan.
"Iya, motor kakak lagi masuk bengkel. Mau pakek ojek, tapi kakak bawa banyak buah untuk kalian, untuk rujakan sama ibu-ibu juga."
Aku menenteng dua kantong keresek ditanganku dan menunjuk satu dus berisi snack untuk mereka semua yang baru di turunkan oleh supir keluarga.
Mereka berseru kegirangan, membuatku tertawa kecil.
"Terima kasih Pak" ucapku pada Pak Iwan.
Pak Iwan adalah supir keluarga kami, dan beliau juga bisa diajak kerja sama agar tidak memberi tahu siapa pun kemana hari ini aku pergi. Dari hotel Raja Throne, aku langsung pergi ke supermarket untuk berbelanja dan melarikan diri kesini.
Disisi taman ada ibu-ibu sedang berkumpul sehingga aku berjalan mendekati mereka dengan dua kantong keresek ditanganku.
"Dek Bilqis bawa apa?."
Ibu Adit degan segera langsung menghampiriku dan membantu membawa barang ditanganku.
"Buat ibu-ibu rujakan sama anak-anak juga" jawabku.
"Waduh ... Ngerepotin ..."
"Terima kasih."
"Padahal kalau mau main basket sama anak-anak ya tinggal main aja."
Aku terkekeh kecil.
Mereka semua orang-orang yang ramah, sehingga aku juga merasa aman dan nyaman. Bahkan Ibu Adit mempercayaiku meminjam motor dan membawa Adit sebentar untuk membeli minuman dimini market depan, karna aku lupa membawa minum untuk mereka.
Setelah membeli munuman untuk semua orang, dan Ibu-ibu menyiapkan minuman dan rujak, aku dan anak-anak mulai bermain basket bersama dilapangan. Setiap kali aku berhasil mencetak poin, aku akan bertos ria dengan para anggota timku.
Di sini tidak ada yang tahu Bilqis anak bungsu keluarga Ganendra, dan aku nyaman dengan itu.
"Ini mah gak imbang."
Deg ...
Aku segera menoleh kearah suara mencoba memastikan kebenaran tebakanku akan pemilik suara itu. Baru saja aku mengatakan jika aku nyaman disini karna tidak ada yang mengetahui siapa aku, kini kenyamanan itu sepertinya akan hilang.
Dia berdiri disana sembari tersenyum lebar.
Kenapa dia disini?.
Aku yang tidak siap akan kehadirannya membuang muka dan meringis, perasaan gugup menyerang diriku sehingga sesegera mungkin aku mengepalkan tanganku dan bernafas teratur agar tenang.
"Adesya Bilqis Ga ..."
"AH SAGARA!!!."
Tampa berfikir dua kali aku dengan cepat menyerukan namanya demi membuatnya tidak melanjutkan apa yang akan dia katakan, dan ini untuk pertama kali aku memanggil namanya dengan vokal.
Tidak ada lagi perasaan gugup atau salah tingkah lagi, karna dikepalaku sekarang ... Aku harus menjaga identitasku didepan anak-anak atau Ibu-ibu.
Aku berbalik badan dan berjalan cepat menghampirinya dan berhenti beberapa langkah didepannya, ya ... Meski tiba-tiba gugup mulai kembali merayap.
"Bilqis" tekanku, dengan gigi mengatup dan tersenyum lebar karna Ibu-ibu menatap kearah kami. "Just Bilqis, jangan membawa nama keluarga."
Dia malah tersenyum ...
Ah ... Kenapa malah tersenyum didepanku begitu?, dengan jarak sedekat ini pula ...
Deg ...
Tangannya terangkat dan mengelus puncak kepalaku, ah ....
Tidak ada yang boleh memegang puncak kepalaku kecuali Ayah dan Abang Ar, bahkan Abang-Abang lain hanya aku perbolehkan mengelus rambut bagian belakangku, bukan puncak kepalaku!.
Ingin marah tapi mulutku seakan tidak bisa terbuka seinci pun, dan sialnya debaran didadaku semakin menggila.
*-*
Aku merengut duduk dipinggir lapangan menatap dia dan timnya yang bisa mencetak angka lebih banyak dariku.
"Jangan nekuk."
Dia tiba-tiba menghampiriku.
Karna kesal, aku membuang muka. Ini pertama kali aku kalah saat bermain dengan anak-anak kampung, sudah sering menang tentu saja sekali kalah langsung kesal.
Tap ...
Kakiku tiba-tiba tertarik.
Kepalaku seketika menoleh padanya yang ternyata menatapku sembari terkekeh sekana tidak merasa bersalah.
"Ih ... Apaan sih ..." Keluhku.
"Kamu dibilangin satu kali gak dengerin" ucapnya sembari duduk tepat disampingku.
Sumpah, parfum yang dia kenakan menguasai indra penciumanku padahal dia sedang berkeringat. Jantungku yang semula tenang kembali berdetak cepat.
Tak ...
Bahuku tersenggol sehingga aku menoleh kesamping, kembali menatapnya yang masih saja menatapku dengan senyum.
"Abang gue dokter, tentu gue tau ... Gak usah lo jelasin" ucapku ketus, menutupi kegilaan jantungku.
"Cuma tau ilmunya, tapi gak dipraktekin buat apa?" ucapnya dengan nada sindirannya.
Mataku langsung membola mendengarnya, "dari pada gak punya ilmu sama sekali?."
"Ilmu kan harus dipraktekkan?."
"Kenapa jadi cowok cerewet banget sih?" Omelku demi menghentikan dia terus mengajakku berdebat.
Dia kembali tertawa, dan lagi-lagi tangan besarnya itu mengacak puncak rambutku.
Kugigit bibir bagian bawahku sebelum menepis tangannya dan memelototinya lalu berdiri dan pergi dari sama.
Lebih baik bersama ibu-ibu saja!.
"Itu siapa neng ...."
"Pacar ya?."
"Kasep pisan ...."
Aku hanya tersenyum dan memainkan kepala tidak menjawab pertanyaan ibu-ibu itu sehingga mereka semakin menggodaku.
Dari tempatku dan ibu-ibu rujakan, aku melihat Dia sedang berbicara dengan para anak-anak sembari tertawa kecil, sesekali melirikku sehingga aku memelototinya. Dia malah mengangkat tangannya, semakin membuat ibu-ibu ricuh.
"Ah ... Ibu-ibu mah sok tau semua" gerutuku sembari berdiri dan menjinjing tasku, "mendingan saya mandi. Ibu Adit numpang mandi ya!" Seruku.
Yup, dari pada mendengar kehebohan Ibu-ibu, lebih baik aku mandi.
"Serius kamu mandi numpang dirumah orang begini?."
Dia ternyata sudah berjalan disampingku.
Pertanyaannya itu membuatku terkekeh kecil, "memangnya apa yang salah?" Tanyaku tampa menghentikan langkahku.
"Gak salah kok, cuma gak nyangka aja" ucapnya.
"Emangnya kenapa?."
"Ya ... Seorang Ganen ..."
"Sagara" panggilku sembari menghentikan langkahku.
Dia juga menghentikan langkahnya tepat satu langkah didepanku, lalu berbalik badan menghadapku sehingga jarak kami begitu dekat.
Jantungku tidak semenggila tadi karna aku berhasil memanggil namanya, atau pun dengan kedekatan kami karna sekarang. Karna perasaan kesalku pada dia yang selalu membawa-bawa nama keluarga lebih besar dari perasaan gilaku padanya.
"Aku sudah bilang jangn membawa-bawa nama keluarga disini!."
"I'm sorry" ucapnya dengan wajah menyesal, "tapi aku benar-benar amez dengan apa yang kamu lakukan sekarang."
"Tidak ada yang harus diluar biasakan disini Sagara" ucapku dan menghela nafas dalam, "dan satu lagi ... Jangan pernah memberitahu tempat ini dan apa yang aku lakukan, pada siapapun."
Dia menarik sebelah sudut bibirnya, "perintah atau minta tolong?."
"Terserah mau lo apa" jawabku santai.
Dia terkekeh kecil, "nama insta lo apa?" dia tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dari saku dan membuka aplikasi Insta, "gue cari nama lo gak ketemu."
"Kita gak sedekat itu untuk ..."
"Apa salahnya sih?" Potong Dia, sembari menatap tajam padaku. "Nanti kalo mau kesini ajak gue lagi, disini se ...."
Dia tidak melanjutkan kalimatnya, karna ada dentingan notifikasi, dia menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak.
Aku menatap reaksinya dengan sebelah alis terangkat, mungkin ada DM dari pacarnya.
Hendak kulangkahkan kakiku meninggalkannya, namun langkahku semakin berat kala dia bertanya sesuatu entah pada siapa.
"Dia di Mall?, apa maksudnya ngelempar pancing?" Geramnya.
"Siapa?" Tanyaku tampa bisa ditahan.
"Sakura" jawabnya singkat sembari meletakkan ponselnya ditelinga, "gue pulang duluan ya. Sorry gak bisa nungguin lo."
Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Dia mulai melangkah pergi menjauh, aku yang teringat akan sesuatu berbalik badan, tersenyum lebar lalu berteriak.
"Sagara!, terima kasih!."
Untuk ketiga kalinya hari ini aku memanggil namanya.
^-^