Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Sangat Mirip?
"Argh!" Ajela menjerit ketika merasakan nyeri menjalar semakin kuat di perut. Tenaganya seperti hendak tercabut dari raganya. Bahkan untuk sekedar bergerak pun begitu sulit.
Kelopak matanya menutup dan terbuka secara perlahan. Namun, sekeliling terasa buram dalam pandangannya, dan waktu seolah bergerak pelan. Napasnya terengah-engah.
Dalam sisa kesadaran, Ajela masih dapat mendengar riuhnya suara orang-orang di sekitar. Hingga tak lama berselang ia merasakan tubuhnya dipeluk erat, entah oleh siapa. Namun, yang pasti Ajela masih dapat menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh yang sedang mendekapnya.
"Bangun, Ajela !" Ia merasakan pipinya ditepuk pelan berkali-kali, serta mendengar suara tak asing meneriakkan namanya dengan panik. Memekik tepat di telinga. Bertahan sebentar saja! Aku akan membawamu ke rumah sakit!" 66
Ajela merasakan tubuhnya seperti melayang. Seseorang berlari cepat mengangkat tubuhnya entah ke mana.
Perlahan Ajela membuka mata. Namun, lagi-lagi semuanya gelap. Yang terlihat hanya bayangan tersamar. Kesadarannya pun semakin menurun.
**
**
Alvian berjalan
mondar-mandir dengan gelisah di depan sebuah ruangan berpintu kaca. Sudah setengah jam Ajela didalam sana, namun belum ada dokter yang keluar untuk memberitahu keadaan wanita itu.
Alvian menghempas tubuhnya di kursi tunggu. Frustrasi, bahkan ia tak lagi menghiraukan ponselnya yang sudah puluhan kali berdering. Seluruh pikirannya hanya tertuju pada Ajela dan anak dalam kandungannya.
"Permisi, apa Anda suami pasien?" Seorang dokter wanita tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Alvian diam mematung. Tak tahu harus memberi jawaban apa. Panik membuatnya tak dapat berpikir jernih. Lidahnya pun terasa kaku.
"Kenapa, Dok?"
"Kondisi pasien sangat lemah dan tidak sadarkan diri. Harus segera dilakukan tindakan operasi. Kalau tidak, bisa membahayakan ibu dan bayi dalam kandungannya."
Layaknya tersambar petir, Alvian tiba-tiba merasakan seluruh tubuhnya gemetar. Dadanya penuh sesak, seolah udara dalam ruangan itu tak cukup baginya untuk bernapas. Perasaan aneh ini benar-benar menyiksa, seolah terjadi kepada istri dan anaknya sendiri.
"Lakukan saja yang terbaik, Dokter!"
"Baik, kalau begitu silahkan ikut saya ke dalam!"
Tanpa pikir panjang, Alvian langsung mengikuti langkah sang dokter. Di dalam sana terlihat salah satu dokter sedang menyiapkan peralatan medis. Ada pula yang menyiapkan berkas-berkas. Sementara Ajela sedang terbaring di ranjang pasien dalam keadaan tak sadarkan diri. Di sisinya ada dua orang perawat yang tengah kesulitan melepas pakaiannya yang penuh noda darah.
Entah dorongan dari mana, Alvian segera mendekat. Membantu dua perawat itu menanggalkan seluruh pakaian Ajela hingga menampakkan perutnya yang buncit.
Alvian menatap wajah pucat wanita itu.
Sebelah tangannya terangkat untuk mengelus perut. Begitu telapak tangannya bersentuhan dengan permukaan perut, ada perasaan aneh yang sulit ia jabarkan. Apalagi ketika merasakan bayi di dalamnya bergerak. Seolah merespon sentuhan Alvian.
**
**
Di gedung hotel....
Riana terlihat galau di tengah keramaian. Sudah 15 menit ia mencari Alvian di antara kerumunan para tamu. Sebab acara inti, yaitu peresmian pertunangan dengan pertukaran cincin akan segera tiba. Namun,calon tunangannya itu tak kunjung memunculkan diri. Entah ke mana dia pergi.
"Riana, mama dengar Alvian tidak ada, ya?" tanya Mama Veny. Wanita itu juga panik sama seperti Riana.
"Iya, Mah. Aku sudah cari ke mana-mana, tapi Alvian tidak ada." Riana menjatuhkan tubuhnya di kursi. Matanya mulai melelehkan cairan bening.
"Memangnya Alvian tidak bilang sama kamu mau ke mana?"
Riana hanya menyahut dengan gelengan kepala. Mami palsu yang sejak tadi berada di sisinya sedang berusaha menenangkan.
"Kita tunggu saja dulu. Siapa tahu Alvian sedang ada keperluan di luar. Tidak mungkin dia meninggalkan acara pertunangannya sendiri. Dia pasti akan kembali," bujuk Mama Veny, seraya mengusap bahu Riana. "
Kamu sudah coba telepon?"
"Sudah, Mah. Tapi tidak dijawab." Riana mulai terisak-isak hingga makeup yang memoles wajahnya luntur.
Melihat itu, Mama Veny pun kebingungan. Sebab putranya tiba-tiba saja menghilang di puncak acara. Bisa malu mereka jika sampai Alvian tidak kembali.
Di pintu terlihat Galih sedang berjalan ke arah mereka dengan sedikit tergesa-gesa.
"Bagaimana?" tanya Riana ketika melihat Galih mendekat ke arahnya.
"Tidak ada."
Informasi yang disampaikan Galih membuat Riana langsung lemas. Pikirannya menebak apakah Alvian sengaja meninggalkannya di puncak acara untuk mempermalukannya? Tega sekali.
"Kamu yakin sudah cari ke mana-mana? Di depan, di taman belakang, di toilet?" Riana mencecar, hendak memastikan.
"Aku sudah keliling, Riana.Tapi Alvian memang tidak ada! Mobilnya juga tidak ada di parkiran."
"Ya ampun, lalu ke mana anak itu?" Mama Veny membuang napas kasar. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Geram kepada putranya sekaligus iba kepada Riana yang kini sedang terisak-isak.
"Tadi salah satu petugas keamanan bilang, ada karyawati katering jatuh di tangga dan mengalami pendarahan. Alvian yang bawa ke rumah sakit."
"Ke rumah sakit mana?"
"Tidak tahu, Tante. Katanya Alvian gendong wanita itu ke mobilnya dan langsung pergi."
Riana tersentak. Kedua tangannya terkepal di bawah meja.
Ia menduga bahwa orang katering yang dimaksud Galih adalah Ajela .
Senjata makan tuan mungkin
adalah perumpamaan yang paling tepat untuk Riana. Setiap kali ia menjahati Ajela pasti berbalik menyerangnya. Mulai dari malam ia dan ibunya menjual Ajela , dan ternyata yang membelinya adalah Alvian. Dan malam ini Riana membayar orang untuk mencelakai Ajela , tetapi justru ditolong Alvian. Riana benar-benar ingin mengamuk dan memaki takdir.
"Jadi bagaimana ini sekarang, Jeng? Bisa-bisanya Alvian meninggalkan Riana hanya demi seorang karyawati katering. Memangnya tidak ada orang lain yang bisa menolong?" Mami Trisha membuka suara melayangkan protes.
"Maafkan saya, Jeng Trisha. Mungkin Alvian panik dan tidak tahu harus berbuat apa." Mama Veny melirik Galih. "Kamu sudah coba hubungi Alvian?"
"Sudah, Tante. Tapi tidak dijawab. Chat juga tidak dibaca."
Semakin frustrasi saja Mama Veny dibuatnya. Ia kembali mengusap pucuk kepala Riana." Riana Sayang, bagaimana kalau kita tunggu Alvian dulu? Siapa tahu dia sudah di jalan perjalanan kembali ke sini."
Tak ada sahutan dari Riana. Pikirannya saat ini sangat kalut dan takut. Bagaimana jika anak dalam kandungan Ajela benar-benar benih Alvian? Dan bagaimana jika Ajela memberitahu Alvian, bahwa Riana dan ibunya lah yang telah menjualnya malam itu.
Jika itu terjadi, semua rencana Riana untuk mendapatkan Alvian bisa gagal total.
**
**
Sudah hampir dua jam operasi berjalan, namun belum ada tanda-tanda akan selesai. Alvian memilih duduk di kursi sambil menyandarkan punggung. Menatap kemejanya yang penuh bercak darah Ajela .
"Kenapa juga aku harus setakut ini? Bukankah Ajela dan anak itu bukan siapa-siapaku?"
Alvian pikir harus cepat menghubungi keluarga Ajela , atau paling tidak ayah dari anak yang dikandungnya. Dia sendiri tidak mungkin terus terjaga di rumah sakit, sementara mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.
Alvian meraih tas kecil milik Ajela dan membukanya. Berharap menemukan ponsel milik wanita itu untuk mencari nomor kontak keluarganya. Namun di dalam tas tak ada ponsel sama sekali. Hanya ada dompet kecil dan kunci kamar.
"Apa dia tidak punya hp?"
Bersambung ~