Ini bukan tentang harga diri lagi, ini hanya tentang mencintai tanpa dicintai.
Aruna nekat menjebak calon Kakak iparnya di malam sebelum hari pernikahan mereka. Semuanya dia lakukan hanya karena cinta, namun selain itu ada hal yang dia perjuangkan.
Semuanya berhasil, dia bisa menikah dengan pria yang dia inginkan. Namun, sepertinya dia lupa jika Johan sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Yang dia cintai adalah Kakaknya, bukan Aruna. Hal itu yang harus dia ingat, hingga dia hanya mengalami sebuah kehidupan pernikahan yang penuh luka dan siksaan. Dendam yang Johan punya atas pernikahannya yang gagal bersama wanita yang dia cintai, membuat dia melampiaskan semuanya pada Aruna. Perempuan yang menjadi istrinya sekarang.
"Kau hanya masuk dalam pernikahan semu yang akan semakin menyiksamu" -Johan-
"Jika perlu terluka untuk mencintaimu, aku rela" -Aruna-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencintaimu Adalah Luka
Nafasnya terasa sesak, air seolah sudah masuk ke dalam rongga mulut dan hidungnya. Dia tidak bisa melakukan apapun saat tangan kekar suaminya menahan kepalanya agar terus tenggelam di dalam bak mandi yang penuh dengan air. Kemarahan Johan semakin menjadi ketika mereka sampai di rumah, saat Aruna yang mendapat telepon ari Faas. Hal itu membuat Johan semakin marah.
"Kamu cemburu Kak?"
Pertanyaan yang membuat Johan semakin marah. "Aku tidak mungkin cemburu! Memangnya kau siapa? Aku menikahimu bukan karena cinta!"
Sebuah kalimat yang akan selalu tertanam dalam ingatan Aruna sampai dia mati. Dia tidak akan pernah bisa menjadi wanita yang dicintai suaminya. Karena Johan sendiri yang tidak pernah mau membuka hati hanya untuk dirinya.
"Ya, kamu tidak pantas cemburu padaku Kak! Karena apa? Karena kamu hanya sedang merasa tidak percaya sebagai seorang suami. Ketika ada pria lain yang lebih bisa membuat aku tersenyum dan peduli padaku. Sementara kamu sebagai suamiku, tidak pernah bisa memberikan itu. Harga diri kamu sebagai seorang suami sedang terinjak-injak sekarang. Iya 'kan?"
Entah ada keberanian darimana Aruna sampai mengatakan semua itu. Kilat kemarahan di mata Johan semakin terlihat jelas. Dia menarik kasar tangan Aruna dan membawanya ke kamar, membanting tubuh Aruna ke atas lantai. Lututnya terbentur lantai sampai membiru.
"Berani kau mengatakan hal seperti itu! Sepertinya aku terlalu baik selama ini"
Johan menindih tubuh Aruna yang meringkuk di atas lantai. Mencengkram rahangnya dengan kuat. "Kau memang hanya perempuan mura*han!"
"Ya, aku memang hanya perempuan mura*han. Sampai aku rela memurahkan diriku hanya untuk bersamamu. Hanya tidak ingin kamu terjebak dengan orang yang salah. Kak Jesika tidak pernah tulus mencintaimu, Kak"
"Diam!"
Johan menarik tangan Aruna dan membawanya ke kamar mandi, menjatuhkan tubuh Aruna ke dalam bak mandi yang masih kosong. Lalu dia menyalakan keran air untuk mengisi bak mandi itu sampai penuh. Dia berada di depan Aruna, mengukung tubuh gadis lemah itu.
"Kak, hanya aku yang mencintaimu dengan tulus" lirih Aruna dengan tenaganya yang tersisa.
Johan tertawa mengerikan, dia meraih dagu Aruna dan mencengkramnya dengan kuat. "Cinta kau bilang? Kau hanya perempuan penuh obsesi yang menjebakku hingga aku gagal menikahi perempuan yang aku cintai!"
Aruna hanya tersenyum lirih dengan air mata yang sudah tak terhitung berapa banyak dia mengalir. Saat air di bak mandi ini sudah hampir penuh, dengan tega Johan menenggelamkan kepala Aruna ke dalam bak mandi. Aruna benar-benar hampir kehabisan nafas. Dia mengangkat kembali kepala Aruna, segera dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, tapi itu tidak berarti apa-apa. Karena Johan hanya mengangkat kepalanya beberapa detik saja.
Jika mencintaimu adalah luka, maka aku rela untuk terluka.
Aruna mulai kehilangan kesadarannya, perlahan matanya terpejam. Dan Johan melepaskan tangannya yang menahan kepala Aruna di dalam air. Melihat istrinya yang sudah tidak sadarkan diri sekarang. Dia keluar dari dalam bak mandi, berjalan keluar kamar. Berteriak memanggil pelayan.
"Kau urus dia di dalam, jika perlu memanggil Dokter. Panggil saja"
*
Aruna terbangun di sebuah tempat yang bahkan dia tidak mengenalinya. Ini adalah taman bunga yang jelas sangat indah. Dia terbangun dan melihat sebuah cahaya yang cukup menyilaukan. Sampai perlahan dia melihat sosok yang berjalan ke arahnya dari cahaya putih itu.
"Ibu"
Aruna berlari untuk memeluk Ibunya, rasa rindu yang selama ini dia rasakan, bisa terobati karena bertemu dengan Ibunya. Ibu mengelus kepala Aruna dengan lembut.
"Ibu, Aruna lelah disini. Kenapa Ibu tidak bawa Aruna pergi bersama Ibu?"
Ibu tersenyum, wajahnya terlihat cantik. Gaun putih yang dia kenakan juga terlihat semakin memancarkan cahaya penuh kecantikan. "Kamu sudah berjuang sejauh ini. Ibu yakin suatu saat kamu akan menemukan kebahagiaan itu, Nak. Bertahan dan terus kuat untuk menjalani semuanya"
Air mata Aruna mengalir begitu saja, mengingat semua rasa sakit yang dia rasakan. "Seandainya Ibu masih ada, mungkin Aruna tidak akan sendirian"
"Sudah takdir Ibu, lagian menjadi yang kedua itu tidak enak Nak. Jadi, berusahalah untuk kamu bisa menjadi yang pertama. Ibu yakin kamu pasti bisa"
Aruna terdiam, mungkinkah itu bisa? Dia? Menjadi yang pertama untuk Johan? Apa mungkin?
"Ibu harus pergi sekarang, tapi Nak, berhati-hatilah dengan saudara kamu dan Ibunya. Jangan sampai kamu jadi korban seperti Ibu"
Setelah itu, Ibu melangkah pergi meninggalkan Aruna yang terus memanggilnya. Aruna ingin mengejarnya, tapi kakinya seolah tidak bisa bergerak sekarang. Dia hanya terus memanggil Ibunya, tapi tidak dihiraukan sama sekali olehnya.
*
"Ibu, jangan tinggalkan Aruna. Ibu, Ibu, bawa Aruna pergi bersama Ibu"
Keringat memenuhi kening dan tubuhnya, bibirnya terus berkata lirih memanggil Ibunya. Sebuah plaster dingin ada di keningnya, kompres penurun demam.
"Ya ampun Nona, demamnya malah semakin tinggi. Sadar Nona" Evi yang terlihat bingung dan panik dengan keadaan Nona mudanya ini.
Dia sudah memanggil Dokter dan Aruna juga sudah diperiksa, tapi bagaimana mau membaik ketika obat dari Dokter saja belum dia berikan, karena Aruna yang masih belum sadarkan diri sejak tadi.
"Nona, ayo bangun"
Tidak henti Evi mengelap leher Aruna yang berkeringat dengan handuk basah. Sampai perlahan Aruna mulai mendapatkan kesadarannya, dia membuka kelopak matanya sekarang.
"Nona, syukurlah. Ayo minum obat dulu, Nona demam"
Evi membantu Aruna untuk bangun dan bersandar di tempat tidur. Lalu Evi memberikan obat untuknya dan juga minum. Dia kembali mengelap peluh Aruna dengan handuk basah itu.
"Evi, aku bermimpi bertemu Ibu tadi. Dia sangat cantik sekali, tapi kenapa dia tidak mau membawaku pergi ya" lirih Aruna.
Evi ikut merasakan sakit dan sedih yang dirasakan oleh Aruna. Matanya sudah berkaca-kaca. "Mungkin Ibu Nona ingin Nona bertahan dan bisa melewati semua ini"
"Tapi aku lelah sekarang Vi, tidak ada yang peduli padaku"
Evi memegang tangan Aruna, ada bekas memerah di pergelangan tangannya. Bekas cengkraman Johan pastinya. "Ada saya yang selalu peduli pada Nona. Jika besok Nona masih seperti ini, kita ke rumah sakit saja ya"
Aruna menggeleng pelan, dia tersenyum lirih dengan bibir pucatnya. "Pergi ke rumah sakit pun, sudah tidak akan ada harapan untukku Vi"
"Apa maksud Nona?"
Aruna menggeleng pelan, dia menatap kosong ke arah depan. "Bukan apa-apa. Yang diinginkan suamiku adalah kematian. Dan mungkin itu tidak akan lama lagi"
Evi tidak kuasa menahan air matanya lagi sekarang. "Tidak, Nona pasti akan kuat. Jangan berbicara seperti itu. Tuan Johan akan perlahan melihat ketulusan Nona"
Bersambung
Ramaikan ramaikan.. Sebelum aku Hiatus. wkwk. bercanda bercanda..
selamat ya Jo.... selamat menuai, yg slama ini kau tanam