Tegar adalah seorang ayah dari dua anak lelakinya, Anam si sulung yang berusia 10 tahun dan Zayan 6 tahun.
Mereka hidup di tengah kota tapi minim solidaritas antar sekitarnya. Hidup dengan kesederhanaan karena mereka juga bukan dari kalangan berada.
Namun, sebuah peristiwa pilu membawa Tegar terjerat masuk ke dalam masalah besar. Membuat dirinya berubah jadi seorang pesakitan! Hidup terpisah dengan kedua anaknya.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Bisakah Anam dan Zayan melalui jalan hidup yang penuh liku ini? Jawabannya ada di 'Surat Terakhir Ayah'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjelasan Anam
Pertengkaran di rumah Ria menjadi buah bibir hampir setiap orang yang mengenalnya. Ria yang saat itu pulang dari rumah Tegar mendapati suaminya yang baru pulang bekerja. Awalnya tidak ada yang aneh, Ria menyiapkan makan siang untuk suaminya, lalu mengobrol ringan setelah itu.
Hingga pembahasan mereka bermuara ke kasus yang menyeret Tegar. Ria sudah diwanti-wanti oleh suaminya untuk tidak ikut campur ke dalam urusan Tegar, juga yang melibatkan tetangganya itu. Anam dan Zayan yang suami Ria maksud.
"Ya tapi kan kita nggak bisa biarin Anam dan Zayan lontang-lantung sendirian bang. Hati nurani ku nggak bisa diajak musuhi bocah nggak berdosa kayak mereka. Terlepas mereka itu anak siapa, aku nggak bisa nutup mata ku dari penderitaan mereka." Ria tidak suka suaminya terlalu pro pada orang-orang yang memusuhi Tegar.
"Kamu jadi orang ngeyel banget sih Ri! Denger ya, banyak intel dari kepolisian yang lagi memata-matai Tegar dan siapapun yang dekat dengannya sekarang ini. Mereka bisa nyamar jadi siapa aja. Bego banget sih kamu! Kalo kamu sering ke rumah Tegar, ntah itu ngasih makan anaknya atau nolongin apa lah aku nggak tau! Kamu bakal kena ciduk juga. Kamu pikir kasus pengedaran narkoba itu kasus biasa, kasus enteng? Ngotak jadi orang Ri! Hidup kita sendiri udah susah, nggak usah nambah masalah dengan sok-sokan jadi pahlawan kesiangan."
Suami Ria, Sengkala akhirnya meledak ketika tahu istrinya tidak bisa dinasehati. Tetangga Tegar sengaja menjauh dan mengucilkan Anam serta Zayan karena takut terseret oleh kasus yang diberitakan di media massa. Ternyata berita penangkapan Tegar bisa menyebar karena polisi melakukan konferensi pers. Mereka mengaku telah menangkap salah seorang pengedar narkoba yang sudah lama menjadi target incaran kepolisian. Foto Tegar pun di sertakan di sana, hanya mengedit sedikit bagian mata dengan memberi garis hitam agar tidak terlalu ketara.
Namun jelas itu adalah Tegar. Siapapun yang mengenal sosok Tegar pasti tahu, wajah lelaki kalem itu ternyata menyimpan banyak kebusukan. Begitu asumsi orang-orang tentang Tegar. Dan semenjak polisi mengumumkan berita penangkapan Tegar melalui media massa, Anam dan Zayan ikut terkena imbasnya. Mereka dijauhi dan dihindari, seperti membawa virus atau mungkin penyakit menular jika berdekatan dengan mereka.
Ada-ada saja kan? Memang mengada-ada, karena semua itu hanya rekayasa pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ingin menyembunyikan kebenaran lain atas kecelakaan yang merenggut nyawa pasangan muda-mudi di tol Cipularang beberapa minggu yang lalu. Kecelakaan maut yang terjadi karena kelainan pengendara lain, yang ternyata berkendara dalam kondisi mabuk dan mengkonsumsi narkoba, jelas saja kasus itu akan ditutup dengan akhir kecelakaan tunggal karena pengendara yang memakai mirasantika tersebut adalah anak tunggal dari petinggi kepolisian.
Tapi sayangnya, banyak netizen di jagat maya yang mencurigai jika kasus kecelakaan tersebut bukan sesederhana itu. Ada sesuatu yang ditutupi, ada seseorang yang dilindungi. Dan untuk mengalihkan perhatian masyarakat, maka dilakukan skenario besar seperti ini. Tegar si pengedar narkoba tertangkap saat akan melakukan transaksi barang haram bersama rekannya yang tewas tertembus timah panas kala penggerebekan!
Ria dan Sengkala bertengkar karena mempertahankan pendapat masing-masing. Ria pikir dia benar, dan Sengkala juga beranggapan demikian. Tidak ada yang mau mengalah. Hingga pertengkaran mereka menjadi konsumsi tetangga di sekitar rumah mereka.
Siang menjelang sore, Zayan lapar. Dia menggoyangkan tubuh Anam yang tertidur, belum ada satu jam bocah itu terlelap karena efek obat penurun panas yang dia minum sebelum Ria pergi dari rumahnya. Anam sudah terjaga karena dibangunkan adiknya.
"Iya Za." Suara Anam masih serak.
"Abang masih sakit?" Tanya Zayan basa-basi.
"Nggak. Kenapa?"
Anam turun dari tempat tidur. Memakai sandal dan bergerak ke luar kamar. Diikuti Zayan dari belakang. Rumah mereka masih berlantai tanah. Jadi di dalam rumah pun mereka tetap memakai sandal. Itupun kadang-kadang mereka lakukan, lebih banyak nyeker sebenarnya.
"Bang, aku laper. Tadi katanya bi Ria mau ke sini lagi buat masakin kita. Kok nggak dateng-dateng ya." Zayan bicara jujur.
"Hmm, masih ada nasi kan? Abang ke warung bentar. Beli telur sama minyak. Kamu di rumah ya."
"Ikut bang."
Anam dan Zayan belum tahu ada uang di plastik hitam pemberian Aji kemarin siang, mereka memakai uang pemberian Bayu yang terselip di tas sekolah Anam sewaktu mencari Tegar waktu itu. Masih ada sisa dua puluh ribu, cukup untuk membeli telur dan minyak goreng. Urusan mau di masak dimana, bisa pakai buku bekas lagi. Begitu pikir Anam.
Kedua anak itu berjalan menuju warung, Anam sudah lebih dulu memberikan alas kakinya pada Zayan. Sedangkan dia lebih memilih nyeker tanpa mengunakan sandal. Meski Zayan sudah menolak untuk memakai sandal abangnya, nyatanya Anam lebih pintar bicara.
"Pakai. Kalo nggak mau pakai ya nggak usah ikut." Begitu kata Anam tadi.
"Bang. Nanti kalo kita udah punya uang, kita beli sandal ya bang. Buat abang." Zayan berjalan sambil memegang ujung kaos Anam. Anam mengangguk saja.
"Bang, penjara itu di mana?" Tanya Zayan.
"Abang nggak tau. Kenapa Za?"
"Aku mau ke penjara, jemput bapak. Biar kita bisa kumpul lagi sama bapak. Pasti bapak nungguin kita bang. Kenapa kita nggak ke penjara aja?" Kata Zayan polos.
Anam menatap adiknya. Dia berhenti sesaat. Zayan pun demikian.
"Za.. Kamu tau polisi?" Tanya Anam, Zayan mengangguk.
"Kamu tau polisi suka nangkap orang nakal?" Lagi-lagi Zayan mengangguk.
"Orang-orang nakal yang polisi tangkep itu ditaruh di penjara Za. Penjara itu tempat orang-orang nakal. Yang nggak bisa diatur. Yang suka bandel. Bapak di sana. Bapak ditangkep polisi, ditaruh di penjara."
Zayan melepaskan pegangan tangannya pada kaos Anam. Matanya mengerjap seperti mencari kebenaran atas penjelasan yang Anam katakan. Anam tetap diam, menunggu reaksi Zayan berikutnya.
"Kenapa bang? Bapak nakalin siapa? Kenapa bapak ditangkep polisi? Bapak kita kan baik bang.. Kenapa pak polisi nangkep orang baik?" Tanya Zayan sudah melupakan rasa laparnya.
Anam menelan ludahnya. Dia berjalan lagi, diikuti Zayan tentunya. "Bang! Jawab bang!" Perintah Zayan.
"Abang nggak tau Za.. Abang nggak tau.."
"Kenapa nggak tau? Abang kan sekolah, kata abang sekolah bikin pinter. Kenapa abang nggak bisa jawab pertanyaan ku? Apa abang bohong? Sekolah nggak bikin pinter ya bang? Abang bohong kan, bapak nggak jahat kan bang? Bapak nggak ditangkep polisi kan?" Zayan sudah menangis. Tapi tidak meraung-raung seperti biasanya. Hanya lelehan air mata dan terus berjalan mengikuti abangnya.
"Bang! Pakai. Ini sandal abang. Aku nggak mau pakai bang. Kita nggak usah ke warung. Nggak usah beli telur. Aku nggak lapar bang. Aku mau ke penjara aja. Aku mau bawa bapak pulang." Zayan melepaskan sandal yang dia pakai.
"Za.." Panggil Anam ketika Zayan berjalan cepat melewati dirinya.
"Abang bohong..." Balas Zayan dengan derai air mata.
"Za! Dengerin abang!" Anam mempercepat langkahnya untuk mengejar Zayan.
"Bapak nggak nakal bang, bapak baik. Kenapa bapak ditangkep polisi.. Abang bohong..." Kali ini Zayan berlari.
"Za!! Berhenti kamu mau kemana?!" Teriakan Anam tidak menghentikan langkah Zayan.
"Kalo abang nggak mau bawa pulang bapak, biar aku aja. Aku cari bapak sendiri ke penjara. Aku bawa bapak pulang.. Abang lagi sakit, di rumah aja. Biar aku yang bawa bapak pulang bang!!"
Satu tarikan kencang di bahu Zayan berhasil menghentikan langkah Zayan. Bocah itu berontak tapi akhirnya diam dan menangis di pelukan abangnya.
"Dengerin abang.. Bapak emang nggak nakal, bapak baik. Baik banget malah. Tapi, nggak semua orang baik dapat balasan kebaikan dari orang lain Za. Kamu inget, bapak sering bantu pak RT, sering bantu warga sini. Bikin pagar, benerin tiang lampu jalan, ngepel masjid, semua... Bapak lakuin semua kebaikan buat warga sini. Tapi.. Tapi saat bapak ditangkep polisi, mereka nggak ada yang mau bantu bapak Za. Mereka diem aja. Mereka pasti tau bapak nggak salah, tapi nggak ada yang bantu bapak.."
Penjelasan dari Anam belum mampu ditangkap oleh pikiran Zayan. Dia masih tak terima bapaknya disamakan dengan orang-orang nakal yang ditangkap polisi! Dia terisak, menangis tanpa memperdulikan rasa lapar di perutnya.
bukan nyari muka
seperti kata kong abut berubah lebih baik untuk kalian sendiri
bulu apa ini 🤔🤔🤔