Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 26 — Melacak Keberadaannya
Dengan tergesa-gesa, Kavindra mengecek ponselnya begitu rapat selesai. Melihat nama pada layar, ia langsung menekan tombol panggil ulang. Dengan cemas ia menunggu hingga panggilan itu tersambung.
“Halo, Sayang. Ada apa?” tanya Kavindra agak cemas begitu panggilan tersambung. Di ujung panggilan, Davira menjelaskan apa yang terjadi dengan sedetail mungkin.
Kavindra sama sekali tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Bahkan, Ravindra yang melihat itu pun jadi heran dengan ekspresi kakaknya yang tiba-tiba menegang.
“Baiklah, kamu tunggu di sana, ya. Aku akan segera ke sana! Tenangkan dirimu, jangan panik,” kata Kavindra mencoba menenangkan istrinya. Tak ayal bahwa ia juga sangat panik.
“Ada apa, Kak? Apa terjadi sesuatu?” tanya Ravindra heran sekaligus penasaran.
“Zein diculik!”
“Apa?! Bagaimana bisa, Kak?” tanya Ravindra tak kalah paniknya.
“Aku harus segera ke Kinder School, Rav. Davira bilang dia sudah memeriksa CCTV, kemungkinan Lauren yang membawa Zein pergi,” terang Kavindra, suaranya sedikit bergerak karena panik. Ia langsung berjalan dengan cepat keluar ruangan saat berhasil menemukan kunci mobilnya.
“Apa? Perempuan gila itu?” Ravindra pun turut mengikuti langkah sang kakak. “Aku saja yang menyetir, Kak. Kau sedang panik, berbahaya jika menyetir.”
Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk tiba di Kinder School. Davira langsung menghambur ke dalam pelukan Kavindra begitu melihat pria itu datang.
“Mas, Zein diculik, huhuhu … “ adu Davira dengan tangis yang berderai. Ia benar-benar merasa bersalah karena telah lalai dalam menjaga putra mereka.
Kavindra memberi isyarat pada adiknya itu menyalin hasil rekaman CCTV itu sebagai barang bukti sekaligus petunjuk untuk mencari keberadaan Lauren. Jika benar perempuan itu yang membawa Zein, Kavindra akan melakukan apapun untuk berusaha menemukannya.
Mengusap pelan punggung Davira, ia berusaha untuk memenangkan istrinya yang terlihat terguncang itu. “Sudahlah, Sayang. Ini bukan sepenuhnya salahmu, kita akan cari Zein, ya. Sudah, sudah, jangan menangis lagi.”
“Ini salahku, Mas! Kalau saja tadi aku gak sibuk dengan berkasku, kalau saja tadi aku lebih perhatian kepada Zein. Putra kita … putra kita mungkin tidak akan, huhu.” Tangisnya tak dapat berhenti keluar saat mengingat bahwa anak kecil itu hilang karena kebodohan dan kelalaian dirinya.
“Kak, aku sudah mendapatkannya, aku akan kirim ke timku untuk langsung diselidiki,” bisik Ravindra sambil menunjukkan hasil kerjanya. Kavindra mengangguk paham. “Kau sebaiknya bawa kakak ipar pulang dulu, dia sangat terguncang. Biarkan aku yang bekerja,” katanya lagi. Ia langsung berlalu mencari taksi untuk kembali ke kantor.
“Ayo, kita pulang dan tenangkan dirimu. Zein pasti baik-baik saja, jangan khawatir.” Kemudian, Kavindra memapah Davira untuk duduk di dalam mobil. Mengendarai mobil ke luar Kinder School, kepala Kavindra terus berpikir bagaimana cara paling cepat untuk menemukan sang putra.
Di sisinya, Davira masih mengurai tangis kesedihannya bahkan ketika mereka telah memasuki rumah sang ibu. Wajahnya sembab dengan lelehan bening yang keluar naik turun dari hidungnya.
Tatkala melihat kedatangan putra dan menantunya, Karina terlihat sangat senang. Namun, senyum di wajahnya seketika pudar saat melihat Davira menangis dan menghambur ke dalam pelukannya.
“Maafkan Davira, Ma. Maaf!” kata Davira, air matanya meleleh lagi dalam pelukan Karina. Membuat perempuan itu berpikir dan terheran-heran selama sesaat.
Mata Karina menatap Kavindra tak berkedip, seolah bertanya apa yang sedang terjadi. “Kenapa Davira menangis? Kau melukainya? Di mana Zein?” tanyanya dengan isyarat. Namun, Kavindra menggeleng pelan.
“Ayo duduk dulu, Nak. Ceritakan pada Mama, kenapa kamu menangis begini?” tanyanya seraya merangkul menantunya itu untuk duduk di sofa. Karina memanggil seorang pelayan dan meminta dibawakan air minum.
Setelah merasa lebih tenang dan dapat menguasai emosinya, Davira kembali menceritakan apa yang terjadi pada ibu mertuanya. Bahwa Zein telah hilang dalam pengawasannya.
Mendengar hal itu, Karina sontak terkejut, gelas yang berada dalam genggamannya itu bahkan terjatuh ke lantai, meninggalkan bunyi pecahan yang cukup kuat. “Apa?! Bagaimana bisa Zein hilang?!” serunya panik.
Beralih pada Kavindra, Karina menunjuk-nunjuk wajah putranya. “Bagaimana ini Kavindra? Cucu Mama hilang! Ya Allah, bagaimana ini? Cucu Mama, Zein, cucu Mama hilang!” serunya panik dengan air mata yang membanjiri pipi.
“Ma, tenang. Ravindra sedang mencari tahu. Tenang, ya? Jika tidak ada hasil, kita akan langsung menghubungi polisi,” kata Kavindra tenang sambil meraih sang ibu dan memeluknya.
“Tidak, tidak, tidak. Jangan hubungi polisi, Nak. Hubungi ayahmu saja. Ya! Hubungi kakeknya Zein, dia pasti bisa langsung menemukan Zein dengan cepat! Mama harus menghubunginya sekarang juga!” Karina mencari-cari ponselnya, bersiap menghubungi sang suami.
Namun, ketika panggilan itu terhubung, Kavindra langsung mematikan ponsel sang ibu. “Ma! Jangan menghubungi Komisaris dulu, Ravindra sedang menyelidikinya,” ucap Kavindra memperingatkan sang ibu.
Menghubungi komisaris, bukanlah solusi tepat yang Kavindra pikirkan. Pasalnya, ia tahu benar apa yang akan dilakukan sang ayah jika tahu bahwa cucu satu-satunya diculik. Bisa-bisa pria tua itu mengerahkan seluruh jajarannya untuk turut mencari dan menciptakan kehebohan publik. Dan Kavindra tak mau hal itu terjadi.
“Ma, maafkan Davira.” Davira yang semula diam dan mendengarkan percakapan itu, turut bicara juga pada akhirnya. “Maaf karena Davira telah lalai menjaga Zein.”
Karina menoleh seketika, menatap marah pada Davira. “Ini semua gara-gara kamu! Kenapa kamu membiarkan Zein sendirian? Apa saja sih yang kamu lakukan di sekolah?!” pekik Karina marah.
Kavindra meraih lengan sang ibu, “Ma, jangan menyalahkan Davira. Mama kan tahu seperti apa Zein. Sudah, ya, jangan marah-marah, tenangkan diri Mama. Biarkan kami bekerja,” ujar Kavindra meminta sang ibu untuk duduk.
Beralih pada Davira yang masih bersedih, Kavindra juga mengusap bahu istrinya dengan lembut. “Jangan bersedih, ya. Berdoalah semoga Zein baik-baik saja.” Davira hanya mengangguk mengerti. Sejak tadi lisan dan hatinya tak berhenti berdoa semoga sang putra baik-baik saja.
Merogoh ponselnya, Kavindra menekan sebuah tombol panggilan. “Halo? Bagaimana? Apa kau sudah berhasil menemukannya?”