Kael Draxon, penguasa dunia bawah yang ditakuti dan dihormati pada masa nya. Namun, di puncak kekuasaan nya, Kael Draxon di khianati oleh teman kepercayaan nya sendiri, Lucien.
Di ujung kematian nya, Kael bersumpah akan kembali untuk balas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon asep sigma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyelamatkan Elira
Malam itu, suasana di daerah dekat pabrik terlihat seperti biasa. Namun di mata Kael dan Taron, ada perasaan yang menegangkan yang sangat berbeda dari malam-malam lainnya. Jalanan yang siang tadi penuh dengan kehidupan kini hening, hanya diterangi oleh lampu jalan yang samar-samar menyinari aspal dingin. Kael dan Taron berjalan menyusuri gang sempit menuju gedung tua yang disebutkan dalam pesan. Wajah mereka tegang, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Angin malam yang dingin seperti menusuk hingga ke tulang, namun mereka tidak peduli. Ada hal yang lebih penting dari rasa dingin—menyelamatkan Elira.
“Gedungnya di depan,” bisik Taron, menunjuk sebuah bangunan tua yang berdiri dengan bayangannya yang gelap. Cat dindingnya mengelupas, jendelanya pecah, rerumputan liar yang tumbuh dan banyak lumut yang menempel di tembok gedung tua itu.
Kael menggenggam gagang pintu itu perlahan, berhenti sejenak sebelum membukanya. “Kau siap?” tanyanya, menatap Taron dengan serius.
Taron mengangguk. “Aku selalu siap.”
Kael mendorong pintu itu, dan suara deritan nya menggema, membuat suasana semakin mencekam. Mereka melangkah masuk ke dalam, disambut oleh aroma apek dan debu. Lampu redup bergantung di langit-langit ruangan itu, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding.
"Bi... bi. Dimana kamu bibi?" suara Kael menggema ke seluruh lantai satu gedung itu. Mereka menyusuri lantai satu dengan teliti, namun tidak ada siapa pun di lantai satu.
"Sepertinya Elira tidak ada di lantai ini Zayne, kalau begitu, ayo kita ke atas."
Kael dan Taron menuju lantai atas, sama seperti lantai sebelumnya. Tidak ada tanda Elira di sini. Namun, mereka mendengar suara gesekan tali dan juga kursi yang bergerak.
"Kau dengar itu Taron?"
"Iya, sepertinya Elira diikat di atas, ayo bergegas Zayne."
Mereka pun naik ke lantai 3 gedung itu. Menyusuri seluruh ruangan yang ada, namun hasilnya nihil juga. Hanya tersisa satu ruangan besar di ujung lorong gedung ini.
"Hanya ruangan ini yang tersisa, semoga saja Elira ada di dalam."
Kael perlahan membuka gagang pintu ruangan itu.
Di tengah ruangan, mereka melihat Elira. Dia duduk di sebuah kursi kayu yang sudah lapuk, tangannya diikat ke belakang, dan mulutnya dibekap kain. Matanya memandang Kael dan Taron dengan campuran rasa takut dan harapan.
“Elira!” seru Taron, melangkah maju.
Namun langkah mereka terhenti saat suara tepuk tangan pelan terdengar dari balik bayangan. Pria botak yang pernah melaporkan Kael pada bos misterius itu keluar dari kegelapan, diikuti oleh beberapa pria berwajah garang. Ada setidaknya delapan orang yang berdiri mengelilingi ruangan, semua dengan senyum penuh kesombongan.
“Kalian benar-benar datang. Hahaha, berani juga kalian.” kata pria botak itu, suaranya berat dan dingin. “Tapi kalian bodoh. Datang tanpa persiapan. Apa kalian pikir ini lelucon?”
Kael menatap pria itu tajam. “Lepaskan dia. Aku tidak peduli siapa kau, tapi jika sesuatu terjadi padanya, kau akan menyesal.”
Pria botak itu terkekeh. “Kau sombong sekali, bocah. Tapi di sini, akulah yang pegang kendali. Kalau kalian ingin melepaskan wanita itu, tunjukkan apa yang bisa kalian lakukan.”
Tanpa peringatan, salah satu anak buah pria botak itu menyerang. Kael dengan cepat menghindar, langkahnya gesit seperti bayangan. Dia memutar tubuh dan memberikan tendangan keras ke arah liver pria itu, membuatnya terjatuh ke belakang dengan bunyi keras. Nice shoot. Tendangan dwichagi—taekwondo yang tepat mengenai sasaran.
"Arghh," terdengar erangan kesakitan dari pria itu.
Taron, di sisi lain, mengayunkan tongkat logam yang sudah dia bawa-bawa sebelum berangkat ke tempat ini, memukul salah satu pria yang mencoba mendekat dari belakang. Dua petarung musuh sudah tumbang. Tersisa enam orang yang masih berdiri tegap.
Pertarungan menjadi kacau dalam hitungan detik. Kael berhadapan dengan tiga orang sekaligus, menghindari pukulan dan serangan dengan gerakan yang tajam dan presisi. Meski tubuh Zayne belum sepenuhnya berada dalam performa terbaik, Kael memanfaatkan semua pengalaman bertarungnya dari kehidupan sebelumnya.
Salah satu pria mencoba menyerang dengan pisau, tapi Kael menangkap pergelangan tangannya, memutarnya hingga pria itu menjatuhkan senjatanya dengan teriakan kesakitan. Kael menggunakan momentum itu untuk menghantam wajahnya dengan sikunya, membuatnya roboh.
Di sisi lain, Taron sedang bergulat dengan dua orang sekaligus. Dia terpojok, tapi senyum kecil tetap terpampang di wajahnya. Dengan satu gerakan cepat, dia menendang salah satu musuhnya di selangkangan. Membuat preman itu merasakan kesakitan dan ngilu luar biasa.
"Arrghhh..." preman itu meringis sambil loncat-loncat dan memegang telur kehidupannya.
Taron memanfaatkan kesempatan itu untuk melayangkan pukulan keras ke wajah preman satunya lagi.
Kael, yang kini hanya berhadapan dengan pria botak, maju dengan perlahan. “Kau punya kesempatan terakhir. Serahkan Elira, atau aku tidak akan berbelas kasihan.”
Pria botak itu menyeringai, mengeluarkan pisau besar dari balik jaketnya. “Kau terlalu percaya diri, bocah.”
Pertarungan antara mereka berlangsung sengit. Pria botak itu lebih kuat dari anak buahnya, serangannya cepat dan mematikan. Tapi Kael memiliki keunggulan dalam strategi. Dia memanfaatkan kekuatan pria itu melawan dirinya sendiri, menghindari serangan demi serangan hingga akhirnya menemukan celah. Dengan gerakan yang cepat, Kael menendang lutut pria itu, membuatnya kehilangan keseimbangan, lalu menghantamkan pukulan keras ke pelipisnya. Pria itu terjatuh, tak sadarkan diri.
Taron, yang sudah selesai dengan lawannya, segera berlari menuju Elira. Dia dengan cepat melepas ikatan di tangan dan kaki Elira. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada cemas.
Elira mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku baik-baik saja... tapi kita harus pergi sekarang. Tempat ini tidak aman.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki berat terdengar dari arah lorong. Seorang pria dengan tubuh besar dan wajah penuh bekas luka muncul dari kegelapan. Dia mengenakan setelan hitam yang rapi dengan jaket berbulu, tapi aura dingin dan mematikan terpancar darinya.
“Sudah ku duga, mereka bahkan tidak bisa menangani anak kecil,” katanya dengan suara rendah yang mengintimidasi. Dia menatap Kael dan Taron dengan mata tajam seperti pisau.
Kael berasumsi kalau pria ini adalah bos dari pria botak yang barusan dia habisi. Dia bisa merasakan bahwa pria ini bukan lawan biasa. “Siapa kau?” tanya Kael, meski dia sudah tahu bahwa jawabannya mungkin lebih rumit dari yang dia harapkan.
Pria itu tersenyum tipis. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, siapa kalian? Kenapa kalian mencoba menggagalkan rencana kami?"
Kael, Taron dan Elira terkejut mendengar itu. Memang apa yang kami lakukan sampai membuat rencana mereka gagal? Apa mungkin gara-gara kejadian kemarin.
"Apa yang kau maksud? Kami bahkan tidak pernah berurusan denganmu." tanya Zayne dengan raut muka bingung namun tetap menunjukan kewaspadaan.
"Jangan banyak alasan, kalian pasti sekutu dari Cobra Zone." jawab pria berbadan kekar itu dengan tatapan yang tajam.
Lagi- lagi Kael, Taron dan Elira di buat bingung. Mereka saling tatap, mempertanyakan kenapa pria kekar itu menuduh mereka sebagai sekutu Cobra Zone.
Sebenarnya darimana semua masalah ini dimulai?