Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Nyaris Sempurna
Tidak segera menjawab, Rajendra terdiam beberapa saat sebelum kemudian lanjut bicara. "Cantik, Sangat-sangat cantik."
Ucapan Rajendra terhenti, dia butuh jeda untuk beberapa saat sembari mengulas senyum tipis di wajah tampannya. "Bahkan, dia nyaris sempurna di mataku, Aruni."
Aruni mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh dalam cara Rajendra mengucapkannya. Namun, dia memilih menahan komentar dan hanya melanjutkan dengan pertanyaan, "Terus? Akhirnya dia milih siapa? Kamu atau Om Dewa?"
Rajendra tertawa kecil, tapi terdengar hambar. "Dia tidak memilih siapa pun."
"Kenapa?" Aruni memiringkan kepalanya, sungguh penasaran.
Rajendra menarik napas panjang, seakan tengah mempertimbangkan jawabannya. "Karena ... mungkin dia bahkan tidak sadar bahwa kami menyukainya."
"Waduh? Jadi dia nggak tahu kalau kamu dan Om Dewa sama-sama suka dia?" Aruni mengerjap pelan, dia mulai merasa nasib kedua pria itu teramat miris.
Tanpa memberikan penjelasan apa pun, Rajendra hanya mengangguk kecil. Sorot matanya meredup, ada bayangan emosi yang sulit diterjemahkan.
Hal itu lagi dan lagi membuat Aruni mendengus pelan, merasa makin gemas. "Ya ampun ... siapa sih gadis itu? Sampai kalian rela berseteru diam-diam begini."
Rajendra mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap Aruni lebih lama kali ini. "Ada pokoknya."
"Siapa, Kak?" desak Aruni, kini lebih keras, seolah semakin yakin ada sesuatu yang sengaja disembunyikan darinya.
Namun, Rajendra hanya tersenyum samar. "Belum saatnya kamu tahu, nanti ... kalau sudah waktunya."
Begitu jawab Rajendra, dan jawaban itu justru membuat Aruni makin penasaran, hatinya terasa gelisah tanpa sebab.
Ada bagian dari dirinya yang merasa aneh, seolah jawaban tentang siapa gadis itu seharusnya sudah dia ketahui, tapi entah kenapa tetap terasa jauh dari jangkauan.
"Huft pelit banget, sekarang saja apa susahnya?"
"Lain kali saja."
"Ih!! Setidaknya kasih tahu ciri-cirinya deh," pinta Aruni, setengah memohon, setengah mendesak karena detik ini, dia penasaran setengah mati.
Rajendra tertawa kecil, menatap Aruni dengan lembut. "Ehm ... ciri-cirinya, dia manis, tidak banyak tingkah dan, Dewa berkata dia kadang keras kepala, tapi hatinya baik sekali."
Aruni membeku, sekilas, deskripsi itu terdengar sangat familiar, terlalu familiar.
Namun sebelum Aruni sempat mengolah perasaannya, Rajendra sudah menepuk pelan kepalanya dan berkata. "Ah sudahlah, jangan dipikirkan ... itu masa laluku bersama Dewangga."
Setelahnya, dia meninggalkan Aruni yang justru semakin ingin tahu, siapa sebenarnya gadis itu dan mengapa hatinya mendadak terasa berdegup tak karuan.
Selepas kepergian Rajendra ke kamar, Aruni masih duduk terpaku di sofa ruang tamu. Dia memeluk kedua lututnya, membiarkan pikirannya berputar liar tanpa kendali.
"Siapa sih? Bikin repot tuh perempuan?" gerutunya, setengah kesal.
Matanya melirik ke arah tangga yang tadi Rajendra titi dengan begitu cepatnya. Keheningan yang tersisa membuat suara hatinya terasa makin nyaring.
Tanpa sadar, Aruni berdiri, melangkah pelan menuju cermin kecil yang tergantung di sisi dinding ruang tamu. Dia memperhatikan pantulan dirinya, seolah berharap menemukan jawaban di sana.
"Cantik dan manis katanya?" gumam Aruni pelan, meneliti wajahnya sendiri dari berbagai sudut.
"Hum ... siapa sih? Aku kan penasaran," lanjutnya, menggembungkan pipi. "Mana Om Dewa juga nggak pernah bawa perempuan sejauh ini. Kira-kira siapa ya? Hebat banget dia bisa bikin Om Dewa yang anti banget sama perempuan begitu sampai suka."
Aruni kembali menghela napas panjang. Pikirannya semakin kacau, pertanyaan demi pertanyaan bermunculan, saling tumpang tindih hingga membuat dadanya terasa sesak.
"Apa mungkin aku harus tanya Om Dewa langsung ya? Kan kelar masalahnya," ucap Aruni mencoba menenangkan diri.
Tapi semakin dia berpikir, semakin kuat perasaan aneh itu tumbuh, seolah jawabannya ada di depan matanya, hanya saja dia terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
"Ah terserah deh ... kenapa aku yang jadi pusing mikirin masalah itu sih?"
Gumam Aruni, bermonolog sendiri sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Dia menggeleng keras, berusaha menepis segala pikiran yang membuat dadanya terasa penuh. "Bukan urusanku," katanya lagi, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Dengan langkah pelan, Aruni ikut menyusul Rajendra ke kamar. Pintu sudah sedikit terbuka, memperlihatkan Rajendra yang kini sudah berbaring santai di atas ranjang, memainkan ponselnya.
Aruni menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu masuk begitu saja tanpa permisi. Dia berjalan cepat, mengambil posisi di sisi ranjang yang kosong.
Rajendra meliriknya sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis hingga membentuk senyum kecil. "Ehm, masih penasaran ya?"
.
.
"Enggak."
"Oh iya? Terus kenapa lama di bawahnya?"
Aruni berdecak, matanya menatap tajam Rajendra segera. "Berhenti bahas hal yang nggak penting," katanya tegas.
Rajendra mengangkat satu alis, menunggu kelanjutan ucapan Aruni.
"Dan sekarang," lanjut Aruni dengan mata yang berbinar penuh semangat, "Ayo kita mulai lanjutin skripsimu yang sudah lumutan itu!!"
Rajendra mengerjap, butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan itu, sebelum akhirnya tertawa geli. "Skripsi? Kamu serius sekarang langsung mau garap skripsi?"
"Ya iyalah! Daripada kita bahas hal-hal yang nggak penting, mending fokus ke masa depanmu. Skripsi itu lebih penting, Kak, rugi tahu udah bayar mahal di DO Karena expired."
Sontak Rajendra tertawa pelan, melihat Aruni yang berubah jadi sok serius seperti ini, rasanya jauh lebih menghangatkan daripada perdebatan soal siapa yang diperebutkan.
"Aku pikir kamu mau istirahat dulu," celetuk Rajendra, masih setengah menggoda.
Aruni mendengus. "Istirahat tuh malem, sekarang bukan waktunya ... udah cepetan ah, mumpung aku lagi niat."
Rajendra tertawa lagi, tapi kali ini diiringi rasa hangat di dadanya. Dia beringsut bangun, bersandar santai di kepala ranjang, lalu menatap Aruni dengan pandangan yang lebih dalam. "Iya , Sayang iya, bentar ya."
"Dih!!" sahut Aruni seperti biasa, entah benar-benar murka atau sekadar risih saja.
Begitu jelas Rajendra dengar, tapi dia tidak memperpanjang hal itu dan segera bangkit dengan malas demi menuruti perintah istrinya.
Aruni mengikuti gerakannya dengan penuh semangat, bahkan tanpa diminta dia sudah siap duduk bersila, menatap laptop itu seolah sedang menghadapi misi besar.
"Jadi, mau mulai dari mana?" tanya Aruni sambil bersandar santai pada bantal besar di belakangnya.
Rajendra menyalakan laptop, menghela napas panjang. "Sebenarnya ... aku bahkan lupa terakhir kali nulis bagian mana," jawabnya setengah putus asa.
Aruni memutar bola matanya malas. "Landasan teori," ucap Aruni dan kini beralih menatap Rajendra tanpa minat.
Fakta bahwa Rajendra bahkan lupa tentang progresnya membuat Aruni tak habis pikir dibuatnya.
"Oh iya, di sana ... kamu kok bisa ingat?"
"Kan waktu di perpus sudah aku bilang kata pak Rakri."
Rajendra tidak lagi menjawab, dia hanya mengangguk pelan sebelum kemudian menunduk dalam demi menyembunyikan senyumannya.
"Anyway Kakak kenapa bisa nggak ingat sama sekali?"
"Ehm banyak pikiran, jadi lupa masalah itu."
"Pikiran?"
Kembali Rajendra mengangguk lagi dan kali ini dia sudah kembali menatap lekat mata indah Aruni.
Seketika itu, Aruni bersedih dan mendadak sebal. "Banyak pikiran katanya ... mikirin apa sih memang? Cewek yang katanya nyaris sempurna itu ya?"
.
.
- To Be Continued -