Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Thief
Saat aku duduk di rumah menyusui Farid, sambil berpikir apakah Farid kubawa saja ke kampus, atau kubawa saja ke Cafe toh anaknya nggak berisik ini. Hani yang tadinya duduk sambil bengong di depan jendela, perlahan mendekatiku.
Sumpah, aku sampai terdiam saat melihatnya berjalan mendekat.
Biasanya Hani kugendong kalau mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena dia memang seperti manekin. Diam seakan lumpuh.
Saat itu cara jalannya dengan berpegangan ke dinding, dan pandangannya mengarah ke Farid.
Ia pun duduk berlutut di depanku,
Kutangkap, dia memiliki ketertarikan terhadap Farid.
Apalagi, saat Farid reflek mengangkat tangannya dan membelai pipi Hani yang sedang menunduk untuk mendekat ke arahnya.
Bibir Hani perlahan tersenyum.
Aku menengadahkan wajahku ke atas.
Air mataku tumpah ke pipiku.
Ada suatu perasaan lega luar biasa saat melihat Hani bereaksi.
Aku tidak salah langkah mengambil Farid, dia memang anak yang luar biasa.
Aku pun beranjak dari dudukku, kuarahkan Hani duduk di sofa. Dan kuberikan Farid ke gendongannya. Hani tertawa pelan saat menyusui Farid.
Aku berlutut di depan Hani, kuamati anak itu.
Binar matanya mulai timbul, dia bahkan bersenandung dan menimang Farid.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membelai pipi Hani.
Dan Hani pun menatapku.
“Kamu siapa?” begitu kata-kata pertamanya padaku.
**
Mengenai cara mencuri.
Aku mengajari mereka Agama, namun aku juga mengajari mereka cara mencuri.
Ironis?
Memang iya.
Aku memiliki pandangan berbeda mengenai hal itu.
Karena biasanya aku menargetkan seseorang yang kaya.
Mencuri itu tidak baik, aku tahu. Bapakku juga bisa dikategorikan Pencuri, tapi dengan level yang udah Dewa.
Sebulan di kampung itu, kuhitung-hitung pemasukan ku yang hanya 4,8juta perbulan dari Cafe itu tidak cukup buat ngasih makan 30 kepala keluarga di sini.
Uang dari hasil membegal ortu Hani juga sudah semakin menipis.
Aku amati, sebagian besar pemasukan di sini adalah dari berdagang. Gorengan, starling, mie ayam atau bakso, aku memberi mereka modal untuk itu semua.
Tapi bagaimana dengan anak-anak yang tidak memiliki orang tua? Jumlahnya lebih dari 20 anak di sini.
Aku belum menikah tapi aku sudah punya anak lebih dari selusin. Itu bukti kalau anak itu adalah hak prerogatif Tuhan. Kalau dia ingin, dia akan berikan. Mau kau kaya mau kau miskin, mau kau tak punya rahim.
Kata orang Islam, Kun Faya Kun.
Repotnya ya... REPOT BANGET!!
Apalagi kalau melihat tingkah mereka aneh-aneh.
Kalau bukan hati ku ini sudah dibolak balik sama Tuhan, pastilah aku kabur.
Tapi saat aku berniat kabur, entah bagaimana aku malah tak tega.
ENTAH KENAPA. Aku pun tak habis pikir.
Memangnya apa kewajibanku di sini? Dipikir-pikir ya tak ada.
Mereka bukan Hani, mereka anak jalanan, tanpa orang tua, dibuang begitu saja. Dan aku bukan dinas sosial.
Bisa saja kutinggalkan semauku, seharusnya.
Apakah mereka sumber rejeki?
Ya bukan.
Gara-gara mereka uangku menipis dengan cepat.
Apakah mereka investasiku di masa tua?
Ya bukan juga! Kalau aku sudah tua dan penyakitan aku akan kabur dari sini menyelamatkan diri, bisa-bisa aku malah dianiaya oleh mereka.
Apakah aku memanfaatkan mereka sebagai sumber pendapatanku? Ya ngapain, gajiku lebih besar. Yang ada mereka menggerus pendapatanku.
Pulang kuliah, kerja sampai darah tinggi, badan capek mau pulang melipir dulu ke supermarket sambil putar otak gimana caranya susu sekotak bisa cukup buat 20 anak, dan bertahan selama seminggu! Saat kulihat harga susu, rasanya ingin kuobrak-abrik si minimarket.
Ini susu bubuk loh, bukan susu sapi.
Dan bukan curhat Authornya, ini inspirasi dari bapak-bapak 80th penjual mainan yang harus kerja sampai jam 11 malam jalan kaki 30kilo bolak balik untuk membelikan anaknya susu dan makan keluarganya. Dia bisa saja kabur seperti orang tua biadab lain yang dengan mudah meninggalkan bayi di tempat sampah. Yang berpikiran toh kalau mati nggak bakalan ingat ini kan masih bayi.
Si bapak itu juga pasti berpikiran sama sepertiku. Tidak ingin terperangkap di kehidupan seperti ini.
Dia juga tidak tahu kenapa sudah tahu orang miskin kok punya anak, kok aku nggak membawa istriku KB saja, kok anakku banyak, kok aku nggak keluarkan saja maniku di luar biar istriku nggak hamil, kok ini kok itu.
Dia tidak tahu.
Karena nafsu belaka? Kupikir tidak sekedar itu saja.
Itu... cara Tuhan bekerja.
Itu yang namanya hidayah.
Seperti yang kubilang di sebelumnya.
Dia merancang takdir dengan cara yang misterius.
Siapa kamu ngatur-ngatur?
Yang tidak belajar agama, tidak akan tahu mengenai hal seperti ini.
Aku sudah belajar jalannya takdir, jadi aku tahu, kalau yang kulakukan jangan hanya merasa menyesal, tapi memikirkan bagaimana hidupku ke depan.
Apakah aku bermanfaat bagi banyak orang? Siapa saja yang akan mengingatku saat aku mati nanti?
Baiklah skip yang itu.
Begini masalahnya,
Karena aku bekerja di Cafe, aku sering merasa geram dengan orang-orang yang mampu beli sepatu 50 juta tapi tak pernah sedekah, ngasih pengamen 2000 saja berat padahal mobilnya Pajero. Helloo... 2000 nggak bakalan bikin kamu miskin loh.
Yang beli pastrami 150ribu sepotong di cafe mampu saja, tapi beli sayur di pedagang nawar.
Kaum yang begitu yang harus... kuratakan penghasilannya. Khehehehe.
Oke ini salah, mencuri tetaplah mencuri.
Tapi gimana ya, dari jauh melihat mereka kebingungan karena hilang 1 hape, atau hilang uang tunai di dompetnya, aku rasanya geli.
Kau jual saja tasmu yang 100jutaan itu, kenapa kau ribut-ribut gara-gara uang sejuta di dompet hilang?
Tentunya, korban-korban kami adalah orang yang sudah kuamati, kupelajari tingkah lakunya, Kupelajari kebiasaannya, biasanya pencurian itu terjadi di luar cafe.
Tentu saja, aku tak akan menguras kartu debit mereka atau kartu kredit atau e banking mereka. Akan bisa dilacak dengan mudah kalau itu sampai terjadi. Aku menargetkan ponsel, perhiasan, dan uang tunai. Yang mudah disembunyikan dan mudah dijual, pokoknya.
Tapi mungkin gara-gara pencurian inilah... Tuhan menghukumku dengan berat.
Sekali lagi aku harus berhadapan, dengan mafia.
Padahal aku bertekad akan hidup hati-hati setelah berita mengenai kematian Bapak dan Tante Mira diliput media.
Aku setuju dengan para netizen., Ini kematian yang disengaja oleh oknum tertentu.
Tahu kan ya kenapa aku harus kabur dan sembunyi.
Aku juga menghindari Irvin, dia bilang dia operasi plastik.
Siapa yang tahu bagaimana wajahnya sekarang.
Gara-gara pencurian hape, yang dengan cerobohnya kulakukan di area cafe karena sebal melihat salah satu pelangganku gonta ganti cewek dengan senyum yang sok ganteng, Hani kini dilamar oleh orang itu.
Ya, orang itu adalah Devon.
Yang secara resmi, kini kuumumkan dia adalah Rival Hidupku.
kau kan liat Hana Sasaki pas ada luka g0r0k di lehernya... himawari keadaan baik baik saja...
jelas beda lah Jakson
mksih sdh rajin update teruuusss...
terima kasih up nya Thor séhat selalu 🙏🏻🙏🏻🥰
yg tadinya mood bacanya berterbangan entah kmn ....eeehh tetiba semangat lagi
nuhun madaaaam