NovelToon NovelToon
Can We?

Can We?

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Flaseona

Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Can We? Episode 20.

...« Ada-ada aja »...

Seusai berlibur seminggu di puncak kemarin, Arasya belum bertemu Gavan selama seminggu setelahnya. Dan sesuai seperti yang dikatakan Devan, Arasya mengalami kram kaki yang menyiksa setelah kepulangannya dari wisata air terjun itu.

Banyak anak tangga yang harus dilewati, awalnya Arasya bersemangat karena jalanan menurun. Tetapi setelah menikmati pemandangan air terjun dan berenang di sana, perjalanan pulang berubah menjadi sangat sulit dan menantang.

Menaiki tangga dari bawah, Arasya menyerah di pertengahan jalan. Untungnya Gavan setia menunggu Arasya yang seringkali beristirahat untuk menormalkan nafas dan detak jantungnya. Hanya saja, tubuh Arasya sudah mencapai limitnya saat itu. Jika boleh jujur, Arasya hampir akan menangis jika Gavan tidak menawarkan diri untuk menggendongnya.

Yap. Gavan menggendong Arasya di punggungnya sampai menuju titik awal mereka berangkat. Sedangkan tas ranselnya dipindah ke posisi depan. Gavan menolak permintaan Arasya yang ingin membawa tas ransel itu dipunggungnya. Alhasil, Arasya beserta tas ransel berisi baju basah keduanya, sepenuhnya bergantung pada Gavan.

Teman-temannya yang melihat itu, semakin dibuat iri. Yang memiliki pasangan, langsung menolak pemandangan tersebut. Mengeluh bahwa membawa diri sendiri saja sudah kepayahan. Sedangkan Voni dan Elsa, segera mencibir dan menggoda Arasya dengan mengatakan bahwa keduanya juga ingin digendong oleh Gavan.

“ADEK! DEK! WOY, ADEK!”

Arasya berjingkat di sofa setelah mendengar teriakan memanggilnya dari arah depan. Ia segera berlari menuju sumber suara tanpa banyak menunggu. “Ngapain deh teriak-teriak!” kesalnya pada si pemanggil.

“Yok, ikut.” Devan, si pemanggil, hampir akan menggeret Arasya tanpa permisi.

“Eh, pintunya belum aku kunci. Aku gak pake sendal juga. Mau kemana sih, Mas?!” ujar Arasya setengah emosi.

“Jemput Mas Gavan. Mau ikut gak?” tanya Devan.

“Enggak mau.” Jawab Arasya, spontan menolak

Devan terkejut mendengar jawaban Arasya. “Wah. Mas Gavan bakal sakit hati sih denger jawaban kamu, Dek. Dibelain gak kerja demi liburan bareng kamu, eh pas dia pulang kerja minta dijemput aja kamu gak mau. Sakit hati Mas Gavan dengernya, Dek.” Ucapnya mendramatisir.

Arasya termenung sesaat, memikirkan apa yang dikatakan Devan mungkin saja ada benarnya. “Emang Mas Gavan di mana?”

“Lah, kamu gak tahu? Bukannya Mas Gavan udah kabarin kamu ya, Dek?”

Arasya menggelengkan kepalanya. “Enggak. Aku gak tahu. Ya udah aku ikut, mau ambil sandal dulu.” Dirinya berlalu pergi untuk kembali ke dalam rumah. Hanya mengambil sandal yang masih tergeletak di samping sofa. Kemudian berjalan ke depan lagi, tidak lupa juga mengunci pintu rumahnya.

“Kakak di mana?” tanya Arasya setelah ia masuk ke dalam mobil, di mana mesin mobil tersebut sudah menyala dan siap pergi.

Devan duduk dibalik kemudi, sebelum menjawab, ia membantu Arasya untuk memakai sabuk pengaman. “Di rumah, bantu Mami.”

“Bantu apa?”

“Kamu ini beneran gak tahu atau lupa deh, Dek? Di rumah ‘kan mau ada arisan keluarga. Terus Mas Gavan semingguan sejak pulang dari liburan itu dia kerja di luar kota.” Jelas Devan geregetan.

Arasya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak tahu, tetapi kenapa Devan mengira Arasya sudah tahu semuanya? Mami tidak memberitahunya, Gavan juga tidak memberi kabar. Bukankah hal normal baginya bahwa ia tidak mengerti apa-apa sekarang? Seperti seekor semut yang kehilangan arah sebab berpisah dari rombongannya.

“Nanti sekalian ke supermarket, Mami nitip sesuatu, katanya tadi ada bahan-bahan yang lupa dibeli.” Ujar Devan lagi. Mobil berjalan perlahan ke luar dari perkarangan rumah Keluarga Janala.

Tersadar bahwa Arasya tidak menjawabnya, Devan menoleh sekilas. Mendapati Arasya melamun, tangan kirinya bergerak mengusap kepala Arasya. “Kakimu masih sakit, Dek?”

Arasya menggelengkan kepalanya. “Enggak. Udah biasa aja. Udah normal lagi. Kayaknya aku gak akan ke sana lagi deh. Gak mau. Capek.”

Devan tertawa kecil, merasa lega juga karena Arasya kembali cerewet setelah satu pertanyaan pancingan. “Bener ‘kan kata Mas. Mending juga di perkebunan teh, sekalian metik daunnya. Bantuin petani lokal sambil belajar.”

“Iya, ya. Mau kayak gitu juga.” Arasya jadi ingin melakukan hal tersebut. Tetapi apa boleh buat, liburan sudah selesai. Mungkin hanya akan menjadi angan-angan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.

“Boleh. Sama Mas, Kak Sena, Mami juga.”

“Mas Gavan?”

“Ya kalau gak sibuk kerja, di ajak sekalian.”

Keduanya menghabiskan waktu perjalanan dengan berbincang. Dari hal penting sampai hal acak yang terlihat mata mereka di sepanjang perjalanan. Tidak ada pertengkaran apalagi adu mulut seperti biasanya. Jika sedang berdua seperti sekarang, Devan akan menjadi seorang Kakak yang mengayomi. Seperti sedang dirasuki jiwa Gavan.

Berpuluh-puluh menit mengarungi jalanan yang panjang. Tibalah mereka di sebuah bandara internasional. Devan bungkam sejenak, fokus mengantrikan mobilnya di jejeran mobil yang juga sedang menjemput para penumpangnya di pintu utama.

“Mas Gavan naik pesawat ke sananya?” tanya Arasya memastikan.

“Iya, Dek. Masa di bandara naik delman.” Guyon Devan yang tidak mengundang tawa bagi Arasya. Justru dengusan kasar ke luar dari gadis tersebut.

“Dek, turun, Dek. Bantuin Mas Gavan noh bawa koper sama tas.” Setelah giliran mobil mereka yang berada tepat di pintu utama, Devan menyuruh Arasya untuk turun.

Arasya yang memang melihat barang bawaan Gavan sangat banyak segera turun dari mobil sesuai perintah Devan. “Mas, aku bantu.”

“Lho, ikut juga, Dek?”

Gavan melirik Devan yang sedang melambaikan tangannya, masih duduk tenang dibalik kemudi. Cengiran khas adiknya itu membuat Gavan mendengus kesal. Bagaimana bisa Devan justru menyuruh seorang gadis untuk membantunya daripada Devan sendiri yang turun dari mobil?

Gavan hanya bisa menghela nafas, koper yang didorong Arasya ia masukkan ke bagasi setelah sampai di bagian belakang mobil. “Udah, sana, masuk. Biar Mas aja.” Ucapnya menyuruh Arasya kembali.

Arasya mengangguk patuh. Kemudian berlalu pergi, duduk kembali pada tempatnya. “Mas, Mas, jadi mampir ke supermarket?”

“Iya dong. Kamu mau sesuatu, Dek? Nanti pilih aja. Biar Mas yang bayar.” Ucap Devan terlihat serius.

Tetapi ternyata, setelah sampai di parkiran supermarket. Devan menyodorkan tangannya pada Gavan. Seperti kejadian yang lalu-lalu, Gavan menyerahkan semua dompetnya pada Devan.

“Adeknya dijajanin yang banyak.” Kata Gavan yang diangguki Devan.

“Tenang. Serahkan semuanya pada Devan.” Ujarnya bangga.

Mengundang lirikan sinis oleh Arasya yang mungkin tidak akan lagi percaya pada Devan tentang traktiran gratis.

“Kamu. Iya kamu.” Tunjuk Devan ke arah Arasya dengan penuh drama. “Jangan sinis-sinis lihatnya. Bener ‘kan Mas yang bayar soalnya Mas Gavan gak ikut ke dalam. Jadi kamu tetep bisa jajan. Let's go!”

...« Terima kasih sudah membaca »...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!