Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Memang Pantas
"Gila, ini rasanya ancur banget."
Gue langsung menyemburkan sepotong burger yang tadi gue coba, dan baru ngeh kalau Dino benar, rasanya seperti plastik.
Tapi ya, salah gue apa?
Dagingnya udah jadi pas gue beli, tinggal gue panggang doang. Kasian juga sih sama orang-orang yang udah nyoba ini, pasti kecewa banget pas pertama kali gigit.
Gue mulai beres-beres soalnya udah mulai gelap. Walaupun dari tadi juga mendung, jadi gak terlalu kerasa bedanya. Tapi sekarang makin dingin, dan kegelapan mulai merayap di sudut-sudut yang gak kena lampu jalan di area kampus ini.
Gue melirik ke arah pintu gedung tempat Phyton, Selma, sama Melvin tadi masuk sebelum akhirnya menghilang dari pandangan gue. Gue butuh sesuatu buat mengalihkan pikiran, jadi beresin panggangan sepertinya ide bagus.
Sementara itu, Dino malah selonjoran di atas meja piknik sambil main HP, jarinya lincah banget ngetik-ngetik.
"Lo bisa bantuin, kali," kata gue.
Dino cuma noleh sebentar terus nyengir.
"Nggak ah, lo pantes dapet hukuman karena ngejual makanan penjara kayak gitu."
"Gue gak bikin dagingnya, cuma manggang doang."
"Iya, iya."
Gue lempar kain lap ke dia.
"Lo harusnya bantuin gue. Ini semua gara-gara lo sampai Bessie kabur gak ada di sini."
"Gara-gara gue?" Dia geleng-geleng terus akhirnya duduk. "Oke deh, gue bantu, tapi ada syaratnya."
Gue udah tau ini bakal nyebelin. "Apa?"
"Apa urusan lo sama Selma?"
"Gak ngerti maksud lo."
Dino langsung naikin sebelah alis. "Gue bisa bantuin lo, kasih saran gitu. Gue ini orangnya bijak banget, Asta."
Gue mendengus. "Iya, jelas. Lo sama Bessie aja lancar banget urusannya. Lima bintang buat lo."
"Wah, itu sih nusuk banget. Lo lagi bad mood, bukan salah gue kalau burger lo—"
"Diam, Dino. kalau gak mau bantu, mending tutup mulut aja."
"Wow, gue masakin lo makanan enak di rumah, terus lo bayar gue dengan sikap begini?"
Dia balik rebahan, tapi dari ujung mata gue lihat ada pergerakan di depan pintu gedung. Selma keluar duluan, terus diikutin Phyton dan Melvin. Yang bikin gue kaget, Melvin malah jalan ke arah gue, dengan gaya sok cuek, tangan masuk kantong jeans. Gue menggenggam alat masak yang lagi gue bersihin lebih erat.
"Ah, kelewatan burgernya, nih." Bahkan suara dia aja nyebelin. Dino yang awalnya nyantai langsung duduk begitu dengar itu.
"Party Monster," sapa Melvin sambil melambai santai.
"Anak streamer," balas Dino.
Selma sama Phyton nyusul di belakangnya, tapi dua-duanya gak ada yang menatap gue pas kasih salam. Phyton yang tadi sempat lewat sini rasanya udah beda banget. Gak ada senyum.
Gak ada apa-apa di mata dia. Dan Selma?
Dia malah memperhatikan segala arah kecuali gue, seperti lagi malu atau gak enak hati. Tapi kenapa?
Gue gak ngerti. Rasanya seperti kehadiran Melvin nyedot semua cahaya dari mereka, dan itu bikin gue makin muak sama dia.
Melvin duduk di meja piknik, persis di sebelah Dino. Suasana langsung berubah berat, bikin sesak.
"Gimana awal kuliah lo, Asta?" tanya Melvin dengan nada santai, seperti gak ada apa-apa.
Dasar brengsek...
Gue lirik Selma, dan dia menjilat bibirnya pelan.
"Melvin, udah malem. Ayo pergi," kata Selma, jelas gak nyaman.
"Kenapa?" Dia nyengir. "Gue kan cuma nanya, Asta."
Gue melihat Phyton, terus luka di bibirnya. Langsung kebayang si bajingan ini naruh tangan ke dia. Bayangin aja, Phyton harus hidup dalam ketakutan tiap hari gara-gara dia. Amarah gue mulai naik, mendidih di setiap pembuluh darah, bikin otot gue tegang semua.
Lo segitunya gak tau malu, Melvin?
Bisa-bisanya lo datang ke sini, senyum-senyum, bercanda, padahal lo yang bikin Phyton seperti itu?
Siapa yang kasih lo hak buat lolos dari semua ini?
Melvin miringkan kepalanya, matanya tajam melihat gue.
"Lo bisu, Batari?"
"Mati aja lo, Melvin."
Kata-kata itu keluar dari mulut gue begitu aja, alami banget. Mungkin Melvin bisa ngontrol Phyton, mungkin bahkan Selma, tapi dia gak akan pernah punya kuasa atas gue. Kalau dia pikir sikap sok asik dan kurang ajarnya bisa bikin gue main aman dan ngobrol basa-basi, dia salah besar.
Dino langsung menatap gue, jelas kaget.
"Apa yang lo bilang barusan?" Melvin berdiri, nadanya berubah.
"Lo dengar sendiri, dasar pengecut."
Gue bukan orang yang kasar, bukan yang gampang marah. Tapi kemarahan ini?
Ini di luar kendali. Dan dimulai sejak malam itu, waktu mereka nyerang gue. Sejak saat itu, kemarahan ini selalu ada, berdenyut pelan, makin lama makin besar. Gue coba buat gak peduli, tapi Melvin seperti pemicu yang membakar semuanya.
Satu-satunya hal yang gue pengen sekarang?
Menghapus ekspresi sok superiornya dengan satu pukulan.
"Asta?" Dino langsung siaga, matanya ke tangan gue yang udah mengepal erat.
"Pengecut?" Melvin maju selangkah ke arah gue, tapi Selma buru-buru berdiri di depannya, mengehalangi.
"Melvin, ayo pergi."
"Kenapa?" Tatapan dia masih mengunci ke gue. "Ayo, ulangi lagi!"
Gue balik badan, membuang pandangan ke arah panggangan, tapi Dino buru-buru menghalangi gue.
"Eh, eh, bro, santai dulu."
"Minggir." Suara gue datar, dingin, gak ada keraguan.
"Apa yang lo lakuin?" Dino nanya lagi.
"Lo kenal gue, Dino. kalau gue mau ngelakuin ini, berarti dia emang pantas dapetinnya."
Dino tarik napas, terus akhirnya mundur.
Melvin nyenggol Selma ke samping.
"Ayo, tunjukin—"
Satu pukulan gue mendarat di mukanya.
Sakit banget rasanya di kuku-kuku jari gue, tapi itu bukan masalah. Melvin terhuyung, terus membuang ludah yang bercampur darah ke tanah, jelas dia gak nyangka.
Gak kasih dia waktu buat pulih, gue hajar lagi.
Satu pukulan.
Dua pukulan.
Kemarahan gue membara, merasakan panas di seluruh tubuh. Dalam sekejap, gue udah di atas dia, terus gue hajar habis-habisan.
Pikiran gue kebalik-balik, antara sekarang sama malam hujan itu di gang. Gue gak bisa berhenti.
"Dasar bajingan tukang bully!" teriak gue.
Melvin coba melepaskan diri, tangannya sempat nyampe ke muka gue, membalas satu pukulan. Tapi gue gak merasakan apa-apa. Gak ada sakit. Gak ada apa-apa selain marah.
Tiba-tiba, ada yang tarik gue dari belakang, menjauhkan gue dari dia. Gue mundur beberapa langkah, napas masih berat. Melvin diam aja di tanah, tergeletak.
"UDAH CUKUP!" Suara seseorang menghantam udara. "Mereka udah manggil satpam!"
Suara Dino terdengar jauh. Napas gue masih berat, dada naik turun cepat. Mata gue tetap terkunci ke Melvin, yang sekarang duduk sambil meringis kesakitan, darah netes dari hidungnya.
"Itu doang yang lo bisa?" Dia nyengir, giginya merah kena darah.
Gue coba melepaskan diri dari Dino, siap buat menghajar dia lagi, tapi tiba-tiba warna biru menghalangi pandangan gue.
Phyton.
Dia berdiri di depan gue, tangannya tarik kerah baju gue erat-erat, dan dia gemeteran.
"Tolong, udah," suara dia lirih. Waktu dia angkat wajah, matanya merah. "Kekerasan bukan jawabannya... Lo bukan seperti dia, Asta. Lo bukan dia."
Gue merasakan panas di kuku-kuku jari gue, perih dari luka yang terbuka, darah yang netes. Melvin masih memegangi hidungnya, tapi sekarang gue malah merasa seperti baru bangun dari mimpi buruk. Gue lirik ke Selma. Dia gak ngomong apa-apa, gak bergerak sama sekali. Baru sekarang gue sadar ada banyak mahasiswa di kejauhan, memperhatikan semua ini terjadi.
"Asta, kita harus cabut sebelum satpam kampus datang," kata Dino buru-buru.
Phyton perlahan melepaskan genggamannya, tapi sebelum dia bisa sepenuhnya mundur, gue nutup tangan gue di atas tangannya, nahan dia.
"Jangan ikut dia, Phyton."
Gue gak mikir sebelum ngomong, kata-katanya keluar gitu aja. Phyton memperhatikan tangan kami, bibirnya bergetar sebelum dia tarik diri dari gue.
"Maaf, Asta."
Dia berbalik, jalan ke arah Melvin, terus bantu dia bangun. Lalu mereka pergi.
Gue diam, tangan jatuh ke samping, perasaan campur aduk. Gue lirik ke Selma, mencari jawaban, tapi yang gue dapet cuma ekspresi sedih di wajahnya.
"Kita gak bisa maksa dia buat sadar, Asta," katanya pelan, senyumnya penuh luka. "Kita cuma bisa ada di sini pas dia butuh kita."
"Ini semua sampah."
"Dan bakal jadi lebih busuk lagi kalau satpam nyampe sini. Bisa cabut gak?" Dino langsung jalan ke parkiran.
Selma maju, terus dia menggenggam tangan gue. "Ayo."
Gue lihat tangan kami yang saling menggenggam.
"Gue kira lo bakal benci gue. Gue baru aja mukulin kakak lo."
"Kekerasan emang bukan jawaban, tapi…" Dia menghela napas, ekspresinya lelah, penuh duka. "Melvin emang pantas dapet itu."
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗