Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01
Suasana pasar di Indonesia pada abad ke-19 terasa hidup dengan aktivitas yang sibuk dan beragam. Pasar tradisional yang biasanya terletak di pusat kota atau dekat pelabuhan, dipenuhi dengan berbagai suara dan bau. Teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangannya terdengar dari segala arah, saling bersaing dengan gemuruh langkah kaki orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Aroma rempah-rempah, ikan asin, sayuran segar, dan buah tropis yang baru dipetik memenuhi udara, bercampur dengan bau tanah basah dan asap dari tungku kecil yang digunakan untuk memasak makanan.
Di antara pedagang, ada yang menjajakan kain batik berwarna cerah, anyaman bambu, kerajinan tangan dari kulit, serta berbagai jenis barang dagangan dari China dan Eropa. Para pembeli, baik pria maupun wanita, mengenakan pakaian adat yang mencerminkan status sosial mereka, sementara para pedagang biasanya mengenakan pakaian sederhana namun fungsional. Beberapa pedagang juga menjual barang-barang dari luar negeri, seperti porselen, teh, dan perhiasan, yang mengundang rasa penasaran.
Kuda dan kereta kecil juga berderap di jalanan pasar, mengangkut barang-barang berat yang tidak bisa dibawa dengan tangan. Suara lonceng dari pedagang yang memanggil perhatian para pembeli semakin menambah riuhnya suasana pasar yang penuh dengan warna, suara, dan kehidupan. Meski pasar ini terkesan sederhana, ia menjadi pusat pertukaran budaya dan barang, di mana berbagai kelompok etnis dan budaya, seperti Jawa, Sunda, Tionghoa, dan Eropa, saling berinteraksi.
Di sudut-sudut tertentu, beberapa pedagang terlihat menggelar tikar atau tenda sederhana, menjual makanan tradisional yang menggugah selera, seperti nasi goreng, sate, ketoprak, atau kue-kue basah. Tak jauh dari mereka, kelompok orang mulai berkumpul untuk mendengarkan kabar terbaru, baik tentang kejadian lokal maupun kabar dari luar negeri yang dibawa oleh para pelaut.
Suasana pasar pada abad ke-19 ini memancarkan energi yang khas, mencerminkan kehidupan sosial yang penuh dengan transaksi, interaksi antarbudaya, dan juga ketegangan antara tradisi dan perubahan yang dibawa oleh kekuatan kolonialisme.
Keluarga Jian, yang telah berdagang sejak Jian An masih kecil, adalah keluarga yang sangat terpandang dan dihormati di Indonesia pada abad ke-19. Mereka dikenal sebagai saudagar kaya dan cerdas, dengan pengaruh yang besar di pasar serta komunitas sekitarnya. Sejak lama, keluarga Jian menjalankan bisnis perdagangan yang meliputi berbagai komoditas berharga, seperti rempah-rempah, kain sutra, porselen, dan barang-barang mewah lainnya yang mereka impor dari Tiongkok. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai pengusaha yang memiliki hubungan kuat dengan pihak kerajaan dan bangsawan lokal, sehingga banyak orang yang melihat keluarga Jian sejajar dengan status bangsawan.
Para anggota keluarga Jian sangat dihormati karena tidak hanya kekayaan mereka, tetapi juga integritas dan kecerdasan yang mereka tunjukkan dalam menjalankan bisnis. Mereka memiliki kedudukan yang sangat dihargai di kalangan masyarakat, baik oleh orang-orang Tionghoa yang berbisnis di Indonesia maupun oleh kalangan bangsawan Jawa yang memiliki pengaruh besar. Dalam pergaulan mereka, keluarga Jian sering diundang ke acara-acara penting di istana, pesta-pesta pernikahan bangsawan, dan pertemuan dengan tokoh-tokoh besar. Kehadiran mereka dalam setiap acara selalu menjadi sorotan, karena mereka dikenal memiliki selera tinggi dan sering memberikan hadiah yang sangat berharga.
Jian An, sebagai anak tunggal dari keluarga tersebut, tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ekspektasi tinggi. Sejak kecil, ia dididik untuk mewarisi kepemimpinan keluarga dan melanjutkan perdagangan yang telah membesarkan keluarganya. Meskipun kaya dan terhormat, keluarga Jian juga dikenal sangat menjaga tradisi dan martabat mereka, sehingga setiap langkah yang diambil harus penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
***
Sejak kecil, Jian An memiliki minat yang mendalam terhadap seni dan keindahan, terutama dalam hal desain pakaian. Meskipun tumbuh dalam keluarga perdagangan yang sangat dihormati, jiwa kreatifnya selalu melimpah, dan dia mulai menyalurkan bakatnya dengan mendesain pakaian hianfu, pakaian tradisional Tiongkok yang penuh dengan ornamen dan detail yang indah. Jian An tidak hanya membuat pakaian untuk dirinya sendiri, tetapi juga mulai menciptakan koleksi pakaian yang begitu memukau, dengan gaya yang menggabungkan keanggunan klasik dan sentuhan modern.
Pakaian hianfu yang dirancang Jian An terkenal karena keunikannya. Ia tidak hanya menggunakan kain berkualitas tinggi, tetapi juga memperhatikan setiap elemen desain, mulai dari pola bordir yang rumit hingga pemilihan warna yang menciptakan kesan harmonis dan memikat. Setiap gaun yang dia buat bagaikan karya seni yang mencerminkan kekayaan budaya Tiongkok namun dengan sentuhan baru yang membuatnya terlihat segar dan menawan. Keindahan desainnya sangat disukai oleh banyak orang, terutama kaum wanita, yang terpesona dengan keanggunan dan kemewahan pakaian buatan Jian An.
Tidak lama setelah itu, permintaan akan pakaian rancangan Jian An semakin meningkat. Gadis-gadis dari berbagai penjuru mulai mengantri dengan penuh antusias untuk membeli koleksi busana yang dibuatnya. Banyak dari mereka yang datang dengan harapan dapat mengenakan pakaian yang dapat memperlihatkan kelas sosial mereka, namun juga menunjukkan keindahan dan keanggunan yang dapat memikat hati siapa saja. Jian An tidak hanya dianggap sebagai seorang perancang busana, tetapi juga sebagai simbol status dan keindahan, bahkan di kalangan bangsawan.
Dari penjualannya yang pertama kali di rumah keluarga Jian, yang awalnya hanya berupa koleksi pribadi, Jian An kini memiliki ruang khusus untuk menampilkan hasil karyanya. Sebuah butik kecil namun elegan, yang penuh dengan gaun-gaun yang memikat, menjadi tempat pertemuan para wanita dari kalangan atas yang ingin memamerkan gaun unik karya Jian An di acara-acara besar.
Sementara bisnis keluarga terus berjalan dengan kesuksesan besar, Jian An merasakan kepuasan batin yang lebih besar melalui desain-desainnya. Ia menemukan bahwa dunia mode adalah tempat di mana ia bisa sepenuhnya mengekspresikan diri, dan ia tak pernah merasa lebih hidup selain ketika melihat orang-orang mengenakan karyanya dengan bangga. Kreativitas dan kecintaannya pada seni semakin berkembang, dan meskipun status keluarganya sangat tinggi, Jian An tidak pernah meninggalkan hasratnya untuk terus menciptakan karya-karya indah yang membawa kebahagiaan dan kepercayaan diri bagi orang lain.
Meskipun Jian An sangat mencintai dunia desain dan busana, ibunya, seorang wanita yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan kehormatan keluarga, memiliki pandangan yang sangat berbeda. Sejak kecil, Jian An telah dipersiapkan untuk menjalani hidup sesuai dengan ekspektasi keluarganya. Ibunya selalu mengajarkan bahwa tugas utama seorang wanita dari keluarga terhormat adalah menjaga nama baik keluarga dan melaksanakan peran sosialnya, termasuk menjalani perjodohan yang telah direncanakan.
Ketika Jian An semakin berkembang dan bakatnya dalam desain pakaian mulai terlihat, ibunya merasa khawatir bahwa fokus putrinya pada hal-hal tersebut bisa mengalihkan perhatian dari tugas utamanya. Perjodohan dengan Banyu Janitra, seorang bangsawan Jawa yang terhormat, telah disiapkan dengan matang sejak Jian An masih kecil. Ibunya memandang pernikahan ini sebagai kesempatan yang sangat penting untuk memperkuat posisi sosial keluarga mereka, serta menjaga hubungan baik dengan kalangan bangsawan.
Jian An yang semakin terpikat dengan dunia desain busana, menghabiskan banyak waktu di ruang kerjanya, merancang pakaian-pakaian indah yang mulai menarik perhatian banyak wanita. Namun, ibunya merasa kecewa dan marah. Baginya, pernikahan yang telah diatur untuk Jian An adalah hal yang jauh lebih penting daripada hasrat pribadi putrinya. Ia khawatir bahwa jika Jian An terus menekuni dunia mode, ia akan semakin jauh dari rencana besar yang telah disiapkan untuknya.
Suatu hari, ibunya memanggil Jian An dengan wajah tegang. "Jian An," katanya dengan suara tegas, "perhatianmu seharusnya terfokus pada perjodohanmu dengan Banyu Janitra, bukan pada hal-hal yang tidak penting seperti desain pakaian. Ini adalah jalan yang telah kita siapkan untukmu, dan ini adalah cara terbaik untuk melanjutkan kehormatan keluarga kita."
Jian An merasa terhimpit antara dua dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia sangat mencintai desain pakaian dan merasa dirinya hidup setiap kali menciptakan sesuatu yang indah. Namun, di sisi lain, ia tahu betapa pentingnya untuk mematuhi kehendak ibunya, terutama dalam hal perjodohan yang telah direncanakan sejak lama. Ia merasa cemas, tertekan, dan bingung harus memilih antara mengikuti hasratnya atau memenuhi harapan keluarganya yang begitu besar.
Ibunya, yang sudah terlanjur kecewa dengan fokus Jian An pada dunia mode, semakin mendesak agar putrinya mempersiapkan diri untuk pernikahan dengan Banyu Janitra. Bagi ibunya, pernikahan itu adalah kesempatan untuk memperkuat kedudukan keluarga mereka, dan ia berharap Jian An akan menyadari pentingnya mengikuti takdir yang telah ditentukan. Namun, Jian An merasa seolah-olah terjebak dalam antara kewajiban yang ditentukan oleh keluarganya dan hasrat untuk mengejar kebebasan serta impian pribadinya.
Konflik batin ini semakin memuncak seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya keputusan besar harus diambil oleh Jian An, meski tak ada yang dapat memprediksi betapa besar konsekuensi dari pilihan yang akan ia buat.