Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Demi Lily
Satu minggu bergulir, tanpa terasa. Raya kini memiliki dua pekerjaan sekaligus. Beruntung, dia bekerja di sebuah restoran bersama Retno. Jadi, ia bisa mengatur jadwal shift bersama sahabatnya. Beberapa hari yang lalu, ada karyawan ditempat Retno bekerja, resign karena akan menikah. Dengan sigap, Retno merekomendasikan Raya untuk menggantikan.
"Ra, kamu kok pucat?" tegur Dian.
"Aku kurang tidur. Semalam aku pulang agak larut, pekerjaan diresto cukup banyak. Padahal, aku cuma jadi pelayan dan bersih-bersih."
"Bersih-bersih, memangnya pekerjaan gampang. Remuk badan kita. Kamu istirahat saja dulu, biar aku yang bersihkan bagian kamu."
"Jangan, Kak. Aku masih bisa. Jika ibu Sita melihatku, duduk nganggur sendirian, bisa ditegur aku."
"Tidak apa, Ra. Kami bisa bantu jelasin ke bu Sita. Dia pasti ngerti, lagian kalau kamu pingsan, dia juga yang susah," imbuh Lita, yang merupakan satu kelompok dengan Raya.
"Terima kasih, aku akan duduk sebentar. Baru bekerja kembali."
Raya senang bisa memliki rekan yang pengertian dan mau saling membantu. Semalam, ia pulang terlambat karena pengunjung restoran yang ramai. Raya harus bolak balik mengantar dan mencatat pesanan. Ia bahkan, tidak punya waktu untuk duduk sebentar saja, sekedar meregangkan kakinya yang pegal.
Pagi ini, ia merasa pusing, bukan saja kurang istirahat, tapi ia tidak sempat sarapan, karena terlambat bangun. Padahal, Retno sudah membuat nasi goreng.
"Kamu sedang apa?" tegur ibu Sita, dengan wajah cemberut.
"Saya agak pusing, Bu. Saya istirahat sebentar, lalu kerja lagi."
"Jangan, lama-lama, ya."
"Iya, Bu."
Raya menyeduh teh, sekedar menghangatkan perutnya. Ia juga memakan satu buah roti susu, sebagai pengganjal. Merasa lebih baik, Raya langsung memakai APD untuk kembali bekerja.
Ia masuk dalam kamar pasien yang masih kosong. Namun, ia terlonjak saat sosok dengan seragam berwarna putih polos, tidur diatas bed. Raya memperhatikan, tidak ada cairan infus yang menggantung.
Tidak ingin mengganggu, Raya masuk dalam toilet. Bersih-bersih dan berusaha tidak menimbulkan suara. Ia bahkan harus hati-hati, menyiram air diseluruh lantai. Namun, ia bukanlah penyihir yang bisa meredam suara dari berbagai benda yang ada disekitarnya.
"Kamu sedang apa?" Seseorang tiba-tiba muncul membuka pintu.
Raya terjungkal dan jatuh diatas lantai yang basah, belum sempat ia sikat.
"Ah, maaf." Si dokter membantu Raya bangkit. "Kamu baik-baik saja?"
"Saya baik, dokter. Maaf, mengganggu." Raya menarik tangannya dengan cepat.
"Tidak apa. Kamu lanjutkan saja. Saya hanya tertidur sebentar, karena semalam tidak tidur," jelas dokter Adrian. Dengan sorot mata terkunci, pada sosok wanita yang tiba-tiba menarik perhatiannya.
Raya hanya mengangguk, tanpa membalas tatapan dokter itu kepadanya. Ia kembali bekerja, seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara Adrian, memilih keluar toilet. Namun, berhenti didepan pintu dan terdiam cukup lama. Ia tersenyum sejenak, lalu pergi.
Dari kamar mandi, Raya beralih pada ruangan yang sudah kosong. Sepertinya, si dokter sudah pergi. Ia kembali bersih-bersih, mulai dari kaca jendela, yang berdebu meski tak terlihat. Mengatur bed, yang seprainya berantakan dan mengatur posisi sofa, yang sedikit bergeser dari tempatnya.
"Kamu sudah selesai?" tanya Dian yang muncul dengan mendorong peralatannya.
"Sudah, Kak." Raya keluar, lalu menutup pintu.
Jam istirahat masih dua jam. Raya dan rekan lainnya, saling bertukar cerita. Karena tidak melakukan apa-apa.
Tok tok tok.
Semua menoleh arah pintu. Tampak dokter Adrian muncul, hanya menggunakan kemeja polos berwarna hitam.
"Ada yang bisa di bantu, dok?" tanya Dian, dengan tatapan heran.
"Ini buat kamu," ujar dokter Adrian yang memberikan bungkusan kertas, kepada Raya.
"Saya?" Raya menoleh kiri kanan untuk memastikannya.
"Iya, kamu. Itu vitamin, kamu tampak pucat tadi. Anggap sebagai permintaan maaf."
"Terima kasih, dokter."
Raya langsung mengambil, tanpa banyak drama penolakan dan merasa tidak enak, hanya karena sebuah vitamin.
Begitu, dokter Adrian pergi. Raya langsung diserbu pertanyaan dari berbagai arah.
"Kenapa dokter Adrian memberikanmu obat?" tanya Lita.
"Apa kalian saling kenal?" imbuh Dian.
"Tidak. Aku tadi membersihkan kamar pasien dan dokter itu sedang tidur didalam."
"Dia pasti lelah," Dian kembali mengatur posisinya, "jadwal operasinya selalu padat, bahkan sampai larut malam. Aku juga pernah melihatnya tertidur diruangan poli, saat malam."
Raya tidak berkomentar. Ia langsung memasukkan pemberian dokter Adrian kedalam tas. Bukan tidak peduli, tapi Ia memilih diam untuk hal yang ia tidak paham dan terlebih Ia tidak mengenalnya. Setelah cukup lama, beristirahat. Ia berpamitan untuk mengecek beberapa kamar pasien.
Semua pasien sedang beristirahat dalam kamar masing-masing. Raya membersihkan luar kamar pasien dan mengelap kaca. Ia tidak sendiri, ada rekan lainnya yang membantu.
"Kak," panggil seorang perawat.
"Iya, Sus. Ada apa" tanya Raya, yang langsung menghampiri.
"Tolong, ambilkan seprai baru dan jangan lupa langsung diganti."
Raya berlari kecil, menuju ruangan mereka. Disana, ada banyak stock seprai baru dan yang sudah dicuci. Hanya 1 menit, Ia kembali berlari menuju kamar pasien. Di bantu perawat tadi, Raya mengganti seprai.
"Kamu tidak ke kantin?"
Jam istirahat sudah tiba. Dian dan yang lainnya, bersiap pergi ke kantin, untuk makan siang. Namun, berbeda dengan Raya yang menjatuhkan kepalanya diatas meja.
"Tidak, Kak. Aku masih kenyang. Tadi makan roti."
"Baiklah. Kami pergi dulu."
Raya mengangguk, masih dengan kepala bersandar diatas meja. Ia masih merasa kenyang dan memanfaatkan waktu untuk tidur sejenak. Meski, ia tidak bisa terlelap dengan sempurna seperti berada diatas kasur.
Tiga puluh menit berlalu, Raya mengerjap dengan tubuh yang terasa kaku dan pegal. Apalagi, lehernya yang seperti tertimpa batu, karena posisinya yang dimiringkan ke kiri.
"Oh," Raya menoleh kiri kanan, memastikan jika ada seseorang, karena diatas meja ada bungkusan makanan, entah dari siapa. "Untuk siapa?" Ragu-ragu, ia membuka kresek putih.
Tidak ada apa-apa, kecuali makanan yang dibungkus dalam styrofoam. Merasa tidak memesan dan sepertinya bukan untuknya, Raya meletakkan kembali ketempat semula.
"Kau sudah ada makanan?" Dian muncul seorang diri, dengan tangan membawa bungkusan.
"Aku tidak tahu, ini punya siapa. Aku bangun, sudah ada diatas meja."
"Seseorang mungkin memberikan untukmu, kalau tidak, untuk apa dia meletakkan diatas meja." Dian memeriksa kresek putih itu dan menemukan kertas kecil. Sejurus kemudian, ia langsung mendekati Raya. " Ini, dari dokter Adrian. Ia menulis pesan, agar kau tidak lupa dengan vitamin yang dia berikan. Sebenarnya, kalian punya hubungan apa?"
Raya menyambar kertas kecil, dari tangan Dian dan membacanya dalam hati. "Hubungan apa, Kak. Aku bahkan tidak tahu namanya, kami baru bertemu tadi."
"Kalau begitu, dia pasti menyukaimu," terka Dian dengan wajah sumringah. "Untuk apa, dia tiba-tiba perhatian, kalau tidak ada maksud, iya kan?"
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat