NovelToon NovelToon
Poppen

Poppen

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Wanita
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Siti Khodijah Lubis

Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.

Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

The Last Dance

Akasia memandang lagi ballroom yang telah lengang, hanya tersisa dekorasi dan wadah-wadah hidangan yang telah habis. Para tamu telah pulang, sementara keluarganya menunggu di restoran, memberi waktu Akasia untuk menyendiri dalam perenungannya. Ia menaiki lantai dua ballroom yang senyap karena tidak terjamah acara, hanya untuk melihat pemandangan tempat acara dari atas. Tempat yang menyerupai balkon melengkung, tidak cukup besar namun lowong. Ia memandang sambil meresapi momen indah di malam ini yang akan terpatri di kenangannya seumur hidup. Hatinya gegap gempita karena kebahagiaan yang membuncah. Ia mendengar suara langkah menaiki tangga dan melihat pria kaukasia tegap yang menyusulnya.

Adrian menghampiri dengan senyum khasnya. “Apa hari ini kamu bahagia?”

Gadis berambut panjang itu mengangguk, “Banget.”

“Syukurlah.” Pemuda berkulit putih itu berkata penuh kelegaan, tatapannya tertuju pada Akasia, berisi ketakjuban. Gadis kecil itu kini telah dewasa dan berdiri di hadapannya, indah dan tangguh laksana bunga tapak dara yang dapat tumbuh meski di situasi sulit. Sejurus kemudian Akasia telah ada di pelukannya, membuat gadis itu tidak bisa mencerna tingkahnya yang mendadak ini.

Gadis yang terlihat elegan dalam balutan gaun emas itu terkesiap. “Kamu kenapa sih mendadak begini? Aku deg-degan tau!”

“Sama.” Adrian terkekeh sambil masih memeluknya, “Gefeliciteerd Akasia (selamat ulang tahun Akasia). Moge je opgroeien met veel geluk in je leven (semoga kamu tumbuh dengan selalu berlimpah kebahagiaan dalam hidupmu). Ik zal altijd van je houden (aku akan selalu menyayangimu).” Pria Belanda itu berkata tulus sambil melepaskan pelukannya dan memandang wajah Akasia lekat-lekat.

Akasia terdiam, wajahnya memerah. “Oke, terima kasih atas ucapan selamatnya.” Balasnya canggung.

“Boleh kita dansa berdua?” Adrian menawarkan dengan membuka telapak tangannya.

“Dih dasar pria nederlander, terkenang masa lalu ya?” Tebak Akasia, mencoba berpikir positif. 

“Anggap aja begitu.” Jawab Adrian singkat.

“Musiknya?” Akasia bingung.

“Ada teknologi termutakhir bernama HP, nona.” Sindir Adrian sambil mengeluarkan ponselnya. Akasia tertawa mendengar ucapannya. Pemuda pirang itu memperdengarkan lagu Letto, Sandaran Hati.

Adrian kembali menjulurkan telapak tangannya, disambut Akasia dengan canggung. Mereka berdansa bersama. Akasia merasa malu karena tidak biasanya Adrian serius begini.

“Kamu pisahkan potongan kue pertamamu disana, tujuannya untuk siapa?” Adrian menanyakan sambil melirik meja di bawah, tempat ia didudukkan sebagai boneka tadi. “Tadinya kukira dipisahkan untuk orangtuamu, tapi ternyata nggak kunjung kamu berikan ke mereka.”

“Itu memang buat kamu.” Akasia menjawab jujur, menahan malu meski wajahnya mulai panas.

“Apa kamu tahu filosofi potongan pertama kue ulang tahun?” Adrian memastikan gadis itu paham apa yang dia lakukan.

“Tahu.” Akasia mengangguk.

“Jadi kamu menganggap aku orang yang paling berharga?” Adrian memastikan kesimpulan yang dia tangkap.

Akasia terdiam sesaat, menahan malu. “Iya. Karena kamu yang paling memahami aku, bahkan melebihi orangtuaku.” Jawabnya jujur, semakin membuat wajahnya merona.

“Pernyataanmu itu berbahaya sekali, nona.” Adrian berkata menahan debaran hatinya. ‘Tolong jangan memberi aku harapan tinggi-tinggi, aku bisa terlena.’ Ia meringis di dalam hati.

“Aku nggak peduli, kamu memang sandaran hatiku. Apapun yang terjadi, kamu paling berharga buatku.” Akasia memantapkan diri mengemukakan isi hatinya.

“Akasia, sadar! Aku boneka!” Adrian menghentikan tariannya.

“Als jij van mij kunt houden, waarom kan ik dan niet ook van jou houden? (kalau kamu boleh menyayangiku, kenapa aku tidak boleh menyayangimu juga)?” Akasia menjawab dengan bahasa Belanda, membuat Adrian tertegun.

Pemuda itu terkejut, ia tidak menyangka Akasia bisa berbahasa Belanda. “Jadi kamu mengerti ucapanku tadi?”

“Memang kenapa kalau menganggap boneka berharga? Aku tulus menyayangimu, nggak berharap balasan apapun. Nggak peduli kamu apa atau siapa.” Akasia mengungkapkan. 

“Orang bisa...salah paham mendengarnya.” Adrian menyatakan kekhawatirannya sendiri meski dalam hati merasa tersanjung.

“Terserah orang mau menangkapnya gimana, atau kamu mau mengartikannya gimana. Kamu memang paling berharga buatku saat ini.” Akasia menegaskan.

Adrian tersenyum. “Iya saat ini...tunggu sampai pangeranmu menjemputmu. Kamu akan dibuat terlena sampai lupa ucapan itu.”

“Aku nggak yakin, kita lihat aja.” Akasia menyeringai.

...oOo...

Malam berlalu, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dari dalam rumah bapak Mulyadi mendengar ketukan di pintunya, begitupun Surya yang kebetulan berada di dekat sana.

“Surya, coba lihat itu siapa.” Bapak Mulyadi memerintahkan.

Surya segera menuju ke pintu dan mendapati temannya, Adrian, berdiri dengan tatapan memelas. “Malam amat kesininya, Bro, ada apa?” Surya khawatir.

“Gue numpang menginap ya. Semalam aja.” Adrian memohon.

“Iya, santai.” Surya mempersilakan Adrian masuk dengan menyingkir dari pintu. “Kenapa panik banget kelihatannya? Kayak dikejar monster lu!” Herannya separuh meledek.

‘Iya, monsternya ada di kepalaku.’ Jawab Adrian dalam hatinya. Begitu melangkah ke dalam rumah ia melihat bapak Mulyadi di ruang tengah, ia menyalaminya. “Permisi pak, mau numpang menginap.” Bapak Mulyadi hanya mengangguk. “Pengerjaan renovasi rumah saya sudah sampai mana, Pak?” Tanya Adrian memastikan.

“Sudah hampir rampung, perabotan yang sudah diperbaiki sudah kembali ke dalam rumah. Tinggal menunggu catnya kering.” Bapak Mulyadi menginformasikan.

“Kalau begitu besok saya akan kesana, merapikan dan membeli barang yang diperlukan. Setelah itu saya akan mulai tinggal disana.” Adrian memberitahu.

“Baik, Pak.” Bapak Mulyadi mengangguk mengerti.

Adrian melanjutkan berjalan ke kamar Surya di lantai dua rumahnya.

“Lu mau pindahan? Mendadak banget.” Tanya Surya saat sampai di kamarnya.

“Ada masalah yang diluar perkiraan gue.” Jawab Adrian singkat, masih mencoba menenangkan dirinya. Debaran di dadanya masih mengguncangnya bahkan hingga saat ini. Ia tidak bisa lagi berubah menjadi boneka. Itu artinya ia tidak bisa lagi tinggal bersama Akasia di kamarnya, atau monster di dalam dirinya bisa membahayakan Akasia.

...oOo...

Akasia terbangun dengan lesu, semalam Adrian tidak kunjung pulang ke rumahnya. Ia sempat berpikir Adrian celaka atau dalam bahaya, tapi ia coba menenangkan diri. Mungkin Adrian hanya perlu menenangkan diri semalam. 

“Akasia, ngapain lu bengong melulu? Kecapekan ya karena acara kemarin?" Dinia menyadarkannya.

“Iya kayaknya.” Akasia menjawab singkat.

“Kalau gue jadi lu sih gue bolos hari ini. Semalam pasti kelarnya malam banget kan?” Dinia beropini.

“Ah elu mah emang malas sekolah aja!” Ledek Akasia. Ia berusaha fokus agar terlihat baik-baik saja.

“Tuh Endry mendekat tuh.” Dinia memberitahu Akasia. Endry berjalan menghampiri ke tempat mereka berdua duduk. “Lima, empat, tiga, dua, satu.” Dinia menghitung mundur memperkirakan langkahnya.

“Akasia, mau jajan bareng?” Endry senyam-senyum sambil mengajaknya.

“Boleh, sama Dinia ya.” Pinta Akasia, merasa tak tega meninggalkan Dinia sendirian.

“Lah kok ngajak-ngajak gue?” Dinia berbisik bingung.

“Selena mana? Ajak juga gih!” Akasia mencari-cari.

“Lu mau ngajak makan apa ngajak tawuran? Kalau ada Selena jadinya tawuran nih kita, bentrokan energi soalnya.” Dinia mengingatkan ke Akasia.

“Dia sudah sama temannya, nggak usah khawatir.” Endry memberitahu.

“Gue juga kebetulan banyak teman yang ngajak makan bareng loh.” Dinia beralasan tak mau kalah. “Gue sama mereka aja ya. Bye!” Dinia mundur untuk pamit dan berlari menjauh.

Akasia tercekat, sekarang hanya tinggal ia dan Endry. “Yuk ke kantin! Atau mau jajan di tempat lain? Di kantin SD mungkin?” Pemuda itu menawarkan.

Akasia memperhitungkan akibatnya. “Kantin SD boleh deh.” Setidaknya ia tidak perlu banyak berpapasan dengan teman seangkatannya disana dan menimbulkan gosip miring.

...oOo...

Mereka kini duduk berdua membawa piring masing-masing. Endry memilih membeli siomay sementara Akasia tetap setia dengan sepiring batagor di tangannya. Keduanya memilih duduk di pinggir bangunan, dimana banyak angin sepoi-sepoi bertiup. Akasia merasa gugup, belum terbiasa berdua Endry begini diluar keperluan kerja.

“Kamu sudah buka kado dari aku?” Endry memulai perbincangan. “Maaf ya, cuma bisa kasih itu. Barangnya mungkin kelihatan kuno, tapi itu spesial di mataku.”

Akasia tertegun, teringat kalung antik silver yang ia temukan di kotak kado dari Endry. Kalung yang sama yang membuatnya terlempar ke visual masa lalu. Tapi ada yang hilang dari kalung itu, foto Adrian yang ada di dalamnya tidak ikut disertakan. ‘Tentu saja Akasia, pria bodoh mana yang mau memberimu kalung beserta foto pria lain di dalamnya?’ Akasia merasa bodoh. Tapi ia tetap nekat menanyakan. "Terima kasih, tapi aku rasa ada yang kurang dari kalung itu, ya kan?" Akasia menembak langsung.

Endry terkejut, “Kamu ingat?”

“Iya, aku juga lihat kalung itu di toko barang antik di Pasar Baru. Sebelumnya nggak seperti ini kan, di dalamnya ada foto laki-laki pirang yang...mirip Adri.” Akasia menceritakan ingatannya.

“Iya sih. Jadi kamu ingat ya? Kalung ini...aneh, aku mendapat gambaran masa lalu setelah membeli kalung ini.” Endry menceritakan.

Akasia terkesiap mendengarnya. “Aku juga, waktu menyentuh kalung ini di toko aku mendapat gambaran aneh kejadian masa lalu.” Akunya. ‘Apa gambaran yang dilihat Endry sama denganku?’ Curiganya. “Bisa diceritakan?”.

“Aku nggak tahu ya, apa ini cuma sekedar bunga mimpi, tapi di malam setelah aku membeli ini aku bermimpi..." Endry mengisahkan. Ia menceritakan pertemuan Kemuning dengan Sadino hingga pernikahan mereka, kehidupan pernikahan mereka hingga dikaruniai anak dan Sadino meninggal dunia dengan tenang. Akasia menyimak dengan seksama, itu cerita yang belum diketahuinya, bahkan mungkin tidak diketahui oleh Adrian sekalipun. Pada akhirnya Endry menatap Akasia. “Dan mereka berdua, terlihat persis seperti kita. Jadi apa kamu melihat hal yang sama?”

‘Gambarannya berbeda dengan yang kulihat.’ Akasia menyimpulkan. “Bukan, yang kulihat bagian yang lain dari hidup Kemuning. Tepatnya akhir hidupnya yang tragis.” Akasia bercerita jujur.

Endry terdiam, bingung dengan perbedaan itu. “Aneh juga.” Herannya. Ia menatap wajah Akasia, “Akasia. Apa kamu percaya dengan reinkarnasi? Apa mungkin ini kita di masa lalu?” Ia bertanya dengan hati-hati, menahan malu.

Akasia tertunduk, ia juga berpikir yang sama, apalagi sebelumnya Adrian pernah membocorkan petunjuk tentang hubungannya dengan Endry kedepannya. “Endry, boleh aku minta bagian yang hilang dari kalung ini?” Akasia memohon. “Tolong ya.”

“Tapi itu kan foto orang lain.” Endry mengherankan. ‘Yang kebetulan mirip dengan Adrian.’ Tambahnya dalam hati.

“Iya aku tahu, tapi kalung ini aku anggap seperti amanah yang sakral dari pemilik sebelumnya. Tolong jangan diubah-ubah.” Akasia menjelaskan pandangannya.

Endry menghela napas. “Oke, nanti kukasih.” Janjinya, “Apa itu juga alasannya kamu nggak berani pakai kalung itu?” Tebaknya.

“Bukan sih.” Akasia bingung menjelaskannya. “Di pandanganku perhiasan kalau diberikan kepada lawan jenis itu menjadi simbol pengikat. Jadi aku takut ada yang salah paham dengan hubungan kita, padahal aku nggak ada ikatan apapun sama kamu.” Akasia menjelaskan, meminta pemakluman.

Endry mengangguk, meresapi penjelasan itu. ‘Benar juga, harusnya aku baru kasih setelah menyatakan perasaan. Setelah Akasia menerima perasaanku baru kami terhitung ada ikatan kan?’ Ia berpikir ulang.

“Endry....kamu tahu dimana Adri?” Tanya Akasia ragu, wajahnya tampak cemas.

“Nggak, kenapa? Dia menghilang?” Endry malah bertanya balik.

Akasia memang tidak berharap banyak pada jawaban Endry. ‘Adrian meninggalkan HP-nya di meja begitu aja sebelum pergi dan nggak kembali.’ Hatinya menjawab dengan rasa tersayat.

Inilah ketakutannya selama ini kalau ia terlalu jujur pada perasaannya. Ia sebenarnya sudah memperkirakan, kalau saja ia menunjukkan ketertarikannya kepada Adrian, maka pemuda itu akan menjauh bahkan menghilang. “Kamu nggak mengerti.” Gumam Akasia. Akasia terpikir kembali, ‘Mungkin kutukannya sudah tercabut sejak semalam dan ia menjadi manusia utuh sekarang. Kalau begitu keadaannya baguslah, berarti dia memang harus belajar mandiri, aku harusnya turut senang.’ Pikir gadis itu.

“Maaf Akasia, mungkin aku nggak mengerti. Tapi orang yang menghilang ketika kalian sudah mulai dekat itu namanya ‘ghosting’. Aku yakin dia baik-baik aja, dia laki-laki, lebih kuat dari kamu. Aku justru nggak yakin kamu baik-baik aja.” Endry mulai cemas melihat Akasia yang tampak lesu seharian ini. “Don't worry, light up!” Endry mencoba menghibur.

“Loh, kak Akasia disini?” Hanif menghampiri riang melihat kakaknya di kantin SD.

“Kamu mau makan ya? Sana pesan makanannya, kakak tungguin. Nanti kita makan bareng.” Tawar Akasia dengan ceria lagi.

“Benar ya kak? Tunggu.” Hanif berlari ke sebuah lapak dagangan dan membeli sepotong roti bakar Bandung, lalu duduk di bangku di sebelah Akasia.

“Itu aja? Kenyang kamu?” Heran Akasia.

“Iya, lagian aku bisa kenyangin di rumah. Di rumah kita kan makanannya enak-enak.” Jawab Hanif diplomatis. “Ini murah, jadi aku bisa nabung.”

“Pinter banget sih kamu.” Endry mengucek kepala bocah SD itu.

Setelahnya mereka bertiga mengobrol dengan riang sambil menyantap makanannya. Mereka juga memesan minuman untuk mengusaikan makan mereka. Dengan keberadaan mereka Akasia terbantu melupakan risaunya.

1
Little Fox🦊_wdyrskwt
fix ini fakta
yumin kwan
lanjut ya....jangan digantung, ceritanya seru...
Serenarara: Owkay qaqaa
total 1 replies
Lalisa Kimm
lanjuuuuttt
Lalisa Kimm
upppp thor yg bnykkk
Serenarara: Owwkay
Serenarara: Syudah
total 2 replies
Lalisa Kimm
cielah, jan nyombong mbak/Smile/
Lalisa Kimm
yah endri trnyata yg nolong
Lalisa Kimm
ikut sedih/Cry/
Lalisa Kimm
nahhh betul itu
Lalisa Kimm
kmu udh cinta kali/Facepalm/
O U Z A
merasa dibawa ke masa lalu, kisah cintanya londo wkwk
Serenarara: Maacih, emang niatnya gitu.
total 1 replies
Runaaa
mampir ya kak ke novelku🙏
semangat /Good/
Gorillaz my house
Bikin gak bisa berhenti
Serenarara: Yg boneng gan?
total 1 replies
Dumpmiw
Ya ampun, kaya lagi kumpul tengah lapangan pake koran /Sob/
Serenarara: Berasa nonton layar tancep.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!