Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11: Way Back Home
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, rasa kantuk mulai menyerang namun aku tak bisa memejamkan mataku karena mobil kami melewati jalanan yang berkelok-kelok. Aku jadi tidak bisa tidur.
Pak Supir memberitahu bahwa kita akan sampai di rumah kurang lebih dua jam lagi, itu adalah waktu yang cukup lama. Kuharap aku bisa memejamkan mataku walaupun mobil kami terus terguncang.
Aku memblokir semua cahaya yang masuk dengan kelopak mataku. "Kak Hana, aku benar-benar mengantuk," ucapku memelas sambil menyenderkan kepalaku di bahunya.
"Tidurlah jika kau memang mengantuk, apa susahnya?" jawabnya dengan santai sembari menikmati camilannya.
"Aku tidak bisa tidur! Jalannya berkelok-kelok, membuatku sedikit pusing, dan lagi banyak polisi tidur yang membuat mobil kita terus terguncang," bisikku.
"Kau ini benar-benar ya, Bibi Chen dan Tuan saja bisa tertidur pulas walaupun jalannya seperti ini. Kenapa kau tidak bisa? Huh, manja!"
"Itukan Bibi Chen, bukan aku! Jangan samakan aku dengannya, kami jelas berbeda, Kak. Tuan juga pasti tertidur karena dia lelah mengurus pekerjaan, sedangkan aku tidak melakukan apa-apa dari tadi," gerutuku sembari menikmati camilan milik Kak Hana.
"Minumlah, ini akan menghilangkan rasa kantukmu."
Kak Hana menyodorkan sebuah botol berisi kopi instan kepadaku, dia tidak ingin terjaga sendirian sepertinya. Aku meraihnya, mulai meminumnya dengan perlahan. Merasakan esensi kopi yang mulai menusuk indra prasaku.
Aku termenung sejenak, jutaan pertanyaan berputar-putar di kepalaku. Ingin sekali rasanya aku menanyakan berbagai hal yang berhubungan dengan Kak Hana. Kami terlihat dekat, namun aku tak tahu siapa dirinya.
"Kak, apa kau pernah jatuh cinta?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
Ia menghentikan santapannya sejenak, menghela napas panjang kemudian mulai bercerita. "Tentu saja aku pernah jatuh cinta, aku jatuh cinta sebanyak tiga kali sepanjang hidupku. Yang pertama, saat aku duduk di bangku SMA. Aku bertemu dengan seorang pria yang sangat baik, awalnya aku tak suka dengannya karena tampak culun dan kaku. Saat itu aku mengalami sebuah insiden yang cukup buruk, dan dia adalah satu-satunya orang yang menolongku, setelahnya kami menjadi dekat. Ia kerap membawaku ke perpustakaan dan taman kota untuk menghabiskan waktu bersama. Satu hal yang menjadi penyesalanku saat itu, yaitu tak mengungkapkan perasaanku padanya ... ternyata dia melanjutkan studi di luar negri dan sampai sekarang kami tak pernah lagi bersua," jelasnya.
Aku mengangguk paham, ternyata Kak Hana juga bisa jatuh cinta. Ku pikir dia hanya wanita independen yang tak pernah merasakan cinta.
"Lalu, kau melupakannya begitu saja? Dan dengan siapa Kak Hana jatuh cinta untuk yang kedua kalinya?" tanyaku dengan penasaran, mendadak rasa kantuk itu hilang begitu saja.
"Yah, tentu saja tidak! Aku membutuhkan waktu satu tahun untuk melupakannya ... Itu adalah masa-masa terberatku. Hingga suatu aku bertemu dengan seorang pemuda, yang satu ini tampak lusuh dan berantakan. Kau tahu? Ia seperti orang depresi yang tak punya masa depan. Ternyata itu tak seperti yang aku pikirkan, dia adalah mahasiswa seni rupa semester akhir yang tengah mencari model untuk ujian akhirnya. Ia ingin membuat patung dengan ukuran manusia asli. Akupun mengajukan diri menjadi modelnya, ia memotret setiap inci bagian tubuhku, menelitinya dengan seksama hingga menghasilkan sebuah mahakarya yang begitu elok," ia berhenti sejenak dan mulai memakan camilannya kembali.
"Seperti yang kau duga, aku jatuh cinta padanya. Tak ingin mengulangi kesempatan yang sama membuatku berani menyatakan cinta padanya. Namun, ia menolakku karena tak ada hal yang lebih dicintainya di dunia ini daripada seni," Kak Hana tersenyum kecut.
Aku terkejut mendengar cerita Kak Hana, ternyata ada orang yang begitu mencintai seni hingga melupakan jagat dunia.
"Lalu bagaimana dengan yang terakhir?" tanyaku penasaran.
"Kau ingin mendengarkannya? Itu akan panjang sekali," jelasnya.
"Bukan masalah bagiku, lagipula kita masih punya banyak waktu sebelum sampai. Ayolah ceritakan padaku!" aku membujuknya dengan sangat.
Kak Hana membenarkan posisi duduknya, menatap ke langit-langit mobil dan mulutnya kembali bercerita.
"Yang ketiga, aku bertemu dengannya saat berumur dua puluh tiga. Umur yang sudah cukup mata untuk menikah kalau kata Ibuku. Ia mengatur sebuah perjodohan untukku, dan tentu saja aku menolak tetapi Ibuku tetap memaksanya," Kak Hana menatapku kemudian beralih untuk menatap ke luar, melihat kegelapan malam dari jendela mobil.
"Akhirnya, aku menerima perjodohan itu dengan terpaksa. Ibu menjodohkan diriku dengan seorang pria yang bekerja sebagai koki di salah satu restoran Italia. Dia adalah pria yang lembut, ia terus mencoba untuk meraih hatiku. Namun aku terus menolaknya. Meskipun aku menolak, pernikahan kami tak dapat dielakkan karena Ibuku sudah menerima mahar dari keluarganya. Kau tahu kan aku adalah orang yang ceroboh?"
Aku mengangguk, kemudian mempersilahkan Kak Hana untuk melanjutkan ceritanya.
"Aku sering sekali menjatuhkan perabotan dapur dan merusak alat masaknya, padahal itu adalah jiwanya sebagai seorang koki. Ia tak pernah memarahiku, sikapnya selalu sama, lembut dan penuh kehati-hatian. Itulah yang membuatku perlahan jatuh ke dalam dekapannya, aku mulai menerimanya setelah enam bulan kami menikah. Tak ada lagi yang namanya pisah ranjang, dan aku mulai bermimpi untuk memiliki sebuah keluarga kecil bersamanya."
Kak Hana menundukkan kepalanya sejenak, aku dapat melihat matanya yang berkaca-kaca. Akupun segera memeluknya dan mengusap-usap pucuk kepalanya. "Tidak apa-apa, Kak. Tidak usah dilanjutkan," ucapku.
Kak Hana mulai terisak. "Kami begitu bahagia saat itu, namun semua itu tak berlangsung lama. Dia pergi meninggalkan ku untuk selama-lamanya karena kanker yang terus menggerogoti tubuhnya. Aku tak akan pernah melupakannya, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan selalu bersamanya hingga akhir hayatku," isaknya sembari memperlihatkan sebuah kalung.
Kak Hana selalu mengenakan sebuah kalung berwarna hitam dengan sebuah kotak kecil sebagai hiasan. Rupanya itu bukan kotak biasa, melainkan tempat penyimpanan abu mendiang suaminya.
Aku menatap wanita itu dengan sendu, "Maaf, Kak. Aku membuatku mengenang masa-masa yang buruk karena pertanyaanku."
Kak Hana mulai mengusap air matanya dan tersenyum simpul kepadaku. Dibalik sosoknya yang terlihat konyol, ternyata dia juga bisa tampak begitu rapuh.
"Tidak apa-apa, lagipula kau tidak bermaksud begitu kan? Ayolah, aku hanya sedikit menangis dan kau langsung kasihan padaku? Cih!" serunya sembari mengusap bulir air mata yang menetes ke pipinya.
Baru saja aku merasa iba, tapi sifatnya sudah membuatku kesal. Aku memutar kedua manik hazelku dengan malas. Kemudian membelakanginya dan mulai memejamkan mataku.
"Yasudah kalau begitu, aku akan tidur! Jangan ganggu aku ya..." ujarku, berniat untuk memancing kekesalan Kak Hana.
"Yang benar saja, kau membiarkan wanita ini terjaga semalam suntuk sendirian? Tega sekali!" gerutunya sambil menggoyang-goyangkan badanku agar aku tetap terjaga.
Aku tetap tidak menggubris, tertawa dalam diam mendengar celotehannya. "Hihihi, salah siapa menyebalkan sekali," gumamku.
"Bangun Lunar! Kau ini ya!" gerutunya.
Dia terus mengamati wajahku, jarak kami begitu dekat hingga aku dapat merasakan hembusan napasnya. Ah sial, itu membuatku tertawa dan tubuhku bergetar.
"Oh! Kau berpura-pura ya..." senyum licik tersungging di wajahnya.
Kak Hana mulai menggelitik pinggang dan kakiku hingga aku tak kuasa menahan tawa. Akhirnya aku tertawa sampai kepahayan karena keusilan Kak Hana.
"Cih, baru saja menangis dan sekarang langsung menjahiliku. Cepat sekali berubahnya!"
Sang empu yang ku maksud hanya memutar manik hijaunya dengan malas ke arahku. Kemudian ia melanjutkan santapan malamnya sembari menjahiliku.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus