Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan yang Tak Terlihat
Malam harinya, Ryan duduk di tepi tempat tidurnya, memunculkannya kosong menatap tangan yang kini terasa asing. Bayangan-bayangan di sudut dalam ruangan bergerak perlahan, seolah menunggu perintah. Ia mengangkat tangannya, dan bayangan itu merespons, menjelma menjadi bilah pisau tajam yang tampak kokoh namun dingin. Ia menggerakkan tangannya lagi, dan bilahnya menghilang menjadi kegelapan.
"Kekuatan ini..." gumam Ryan pelan, tetapi kata-katanya terputus oleh keheningan. Ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia tidak bisa merasakannya dengan jelas, tetapi ia merasakannya semakin nyata setiap kali ia menggunakan kekuatannya.
Bayangan pria hitam pekat muncul di sudut kamar, seperti biasa tanpa suara. Wajahnya yang samar menyiratkan ekspresi penuh teka-teki. "Ryan," katanya dengan suara dalam. "Kau mulai merasakannya, bukan? Kehilangan itu."
Ryan menoleh dengan sorot mata tajam. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi padaku?"
Pria itu tersenyum tipis. "Setiap kekuatan besar memiliki harga, Ryan. Kau sudah tahu itu. Tapi harga yang kau bayar bukan sesuatu yang kasat mata. Kau kehilangan apa yang membuat manusia emosi yang menghubungkanmu dengan orang-orang di sekitarmu."
Ryan menggenggam tangannya. "Aku tidak peduli dengan kehilangan itu jika itu berarti aku bisa melindungi Elma dan menghentikan Hery."
Pria Berjubah hitam tertawa kecil. "Mungkin sekarang kau berpikir begitu. Tapi Ryan, tanpa emosi, apa artinya kemenangan? Apa artinya perlindungan jika kau tidak lagi bisa merasakan kebahagiaan atau kepuasan dari orang-orang yang kau lindungi?"
Ryan membalas, mencoba memahami kata-kata itu. Namun, ia menggelengkan kepalanya, memecahkan keraguan yang mulai muncul. "Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi mereka. Harga ini tidak penting."
Pria itu memandangnya dengan makna yang sulit diartikan. "Baiklah. Pilihan ada di tanganmu. Tapi ingat, Ryan, terjebak di sini akan terus tumbuh. Saat kau menyadarinya, mungkin semuanya sudah terlambat."
Setelah pria hitam pekat menghilang, Ryan duduk termenung. Kata-kata pria itu menggema di pikiran, tetapi ia segera mengalihkan perhatiannya. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan sesuatu yang abstrak seperti itu. Baginya, tindakan lebih penting daripada perasaan.
Keesokan harinya, Ryan berjalan menuju sekolah dengan langkah yang mantap. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara pagi yang biasanya menyegarkan terasa hambar baginya. Tawa anak-anak yang bermain di sekitar tidak lagi membuatnya merasa hangat. Apalagi ketika ia melihat Elma di gerbang sekolah, senyuman yang biasanya muncul di wajahnya terasa seperti kewajiban dan dorongan hati.
"RYAN!" panggil Elma, melambai ke arahnya. Gadis itu tampak ceria, meskipun ia baru saja kembali ke sekolah setelah kecelakaan. "Kau datang lebih pagi dari biasanya."
Ryan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin memastikan tidak ada masalah." Elma tersenyum, tetapi dia menjaga tubuhnya, memperhatikan wajah Ryan lebih saksama. "Ryan, ada sesuatu yang berbeda darimu. Kau kelihatannya... tidak seperti biasanya."
"Aku baik-baik saja," jawab Ryan singkat, tanpa ekspresi. "Ayo masuk ke kelas."
Sepanjang pagi, Elma terus mencuri pandang ke arah Ryan. Ia tidak bisa mengabaikan perubahan dalam diri sahabatnya itu. Ryan yang biasanya penuh perhatian dan selalu tahu bagaimana membuatnya merasa nyaman kini tampak seperti orang yang berbeda dingin dan jauh.
Ketika bel istirahat berbunyi, Elma mendekati Ryan yang duduk sendirian di sudut kelas. "Ryan, aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Kau bisa berbicara denganku, kau tahu itu, kan?"
Ryan menatap dengan mata yang tajam tapi kosong. "Elma, aku tidak menyembunyikan apa-apa. Aku hanya fokus pada hal yang penting."
Elma membukakan mata\, mencoba membaca ekspresi Ryan lebih dalam. "Hal penting itu apa?" tanyanya tegas\, nadanya berubah serius**. "Ryan\, aku tahu kau sedang mencoba melindungiku. Tapi melindungiku tidak berarti kau harus mengorbankan dirimu sendiri. Kau tidak seperti ini sebelumnya. Kau tidak perlu pura-pura baik-baik saja di depanku."**
Ryan berdiri, memutar. "Elma, aku tidak punya waktu untuk membahas ini. Percayalah, semua yang kulakukan adalah untuk melindungimu."
Elma menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ryan, aku tahu kau memiliki sesuatu yang kau sembunyikan. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan membiarkanmu melawan ini sendirian. Kau bisa menolak sekarang, tapi aku akan terus berada di sini sampai kau siap untuk berbicara. "
Kata-kata Elma membuat Ryan teringat. Ada sesuatu dalam nada suara keteguhan, kehangatan yang membuat Ryan merasa terhenti sejenak. Namun, ia merasa tidak mampu merespons. Akhirnya, ia hanya berjalan keluar kelas, meninggalkan Elma yang berdiri dengan mata air yang hampir jatuh.
Oleh karena itu, Ryan kembali ke taman dekat rumahnya, tempat ia sering berlatih menggunakan kekuatan bayangannya. Ia menggerakkan tangannya, membentuk berbagai senjata dan pelindung dari kegelapan. Namun, setiap kali ia menggunakan kekuatannya, ia merasakannya semakin kuat. Perasaan marah, takut, bahkan kasih sayang semuanya terasa semakin jauh dari jangkauannya.
Di sela latihannya, bayangan pria yang menutupi hitam muncul lagi. "Kau mulai mengerti sekarang, bukan? Kehilangan ini bukan sesuatu yang bisa kau abaikan."
Ryan menatap pria itu dengan penuh keraguan. "Apakah... apakah ada cara untuk mengembalikan emosi itu? Apa aku bisa kembali seperti semula?"
Pria menghela nafas hitam, lalu berkata "Itu tergantung padamu, Ryan. Hanya kau yang bisa memutuskan. Jika kau ingin mengendalikan kekuatan ini tanpa kehilangan apa pun, kau harus menjadi lebih kuat. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam tekad dan pengendalian diri.Kekuatan ini tidak akan menghormatimu jika kamu tidak cukup kuat untuk menghormati dirimu sendiri."
Kata-kata itu menggema di kepala Ryan. "Bagaimana caranya?" tanyanya, suaranya berbisik. "Bagaimana aku menjadi cukup kuat untuk mengendalikan ini?"
Pria berwajah hitam tersenyum samar. "Perjalanan itu adalah milikmu, Ryan. Tidak ada jawaban mudah. Kau akan menemukan jalannya seiring waktu, jika kau tetap berjuang. Tapi ingat, setiap keputusanmu akan membawa konsekuensi. Jangan biarkan memahami itu menguasaimu sebelum kau menemukan jawabannya."
Ryan tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan bayangan pria itu menghilang kembali ke kegelapan. Untuk pertama kalinya, dia merasa ragu apakah harga yang harus dia bayar benar-benar cocok dengan apa yang dia perjuangkan.