Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke dunia.
Kaelan duduk di atas ranjangnya yang sederhana, cahaya bulan yang menembus jendela menerangi kamar dengan lembut. Pikiran tentang apa yang baru saja ia dengar terus menghantui, membuatnya sulit untuk tenang. Tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya tetap sibuk mencerna informasi tentang Orde Bulan Biru, kerajaan yang hancur, dan takdir besar yang katanya ia emban.
Ia merebahkan tubuhnya perlahan, mencoba memejamkan mata. Tapi bayangan kata-kata mereka terus muncul di kepalanya. “Kami telah menunggu Anda selama ratusan tahun...” Kalimat itu berulang-ulang terdengar di pikirannya, membuat dadanya sesak.
Kaelan memutar tubuh, menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Mungkin ini hanya mimpi buruk. Besok semuanya akan terasa lebih jelas,” gumamnya. Kelopak matanya perlahan mulai menutup, napasnya melambat.
Pada saat tengah malam tiba. Tiba-tiba, suara 'kreeek' keras terdengar, memecah keheningan malam. Pintu kamar terbuka dengan kasar, membuat Kaelan langsung terbangun dari hampir tidurnya. Ia terduduk di ranjang, matanya menyipit mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan, sementara jantungnya berdetak kencang.
Di ambang pintu, berdiri sekelompok orang. Bayangan mereka terlihat samar-samar diterangi oleh cahaya bulan yang masuk dari jendela. Wajah mereka hampir tidak terlihat, tetapi kehadiran mereka memancarkan aura yang membuat Kaelan waspada.
Kaelan terkejut melihat sekelompok orang memasuki kamarnya tanpa izin. Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan.
"Siapa kalian?" tanyanya dengan suara tegas yang menggema di ruangan.
Salah satu dari mereka, seorang pria yang tampak berwibawa, maju beberapa langkah dan membungkuk hormat.
"Kami adalah orang-orang yang telah lama menunggu kehadiran Anda, Tuan Kaelan."
Kaelan mengerutkan alis, kebingungan meliputi wajahnya. "Kalian tahu siapa aku?"
"Benar, Tuan," jawab pemimpin kelompok itu dengan nada penuh keyakinan. "Kami telah menunggu Anda selama ini."
Kaelan memandang mereka satu per satu, mencoba mencari jawaban di wajah orang-orang asing itu. "Aku tidak mengerti. Jelaskan semuanya. Duduklah di sana," katanya, menunjuk kursi di sudut ruangan.
Para tamu itu menurut, duduk dengan tenang namun tetap menjaga sikap hormat. Pemimpin kelompok itu memulai penjelasannya.
"Kami adalah bagian dari Orde Bulan Biru, sebuah kelompok yang percaya bahwa Anda, Tuan Kaelan, adalah sosok yang akan bangkit untuk membawa perubahan besar bagi negeri ini. Kerajaan dan rakyatnya telah lama menderita akibat kepemimpinan yang tidak berpihak kepada mereka. Pajak tinggi, para petani yang kesulitan bertani akibat cuaca buruk, dan kewajiban membayar pajak meski gagal panen—semua ini membuat kehidupan rakyat semakin berat."
Kaelan mendengarkan dengan serius, lalu bertanya, "Kalian menungguku? Berapa lama?"
Pemimpin kelompok itu menatap Kaelan dengan sorot mata penuh emosi. "Kami telah menunggu Anda selama ratusan tahun."
Kaelan terdiam, mencerna informasi itu. Namun, salah satu anggota kelompok tiba-tiba angkat bicara, menambahkan sesuatu yang mengejutkan.
"Kami juga menunggu pengantin Anda, Tuan Kaelan."
"Pengantin?" Kaelan mengulang kata itu dengan nada tidak percaya. "Aku tidak sedang ingin menikah. Jangan bercanda!"
Pemimpin kelompok itu segera meluruskan. "Kami tidak bercanda, Tuan. Kebangkitan Anda dan takdir pengantin Anda saling terkait. Tanpa kehadirannya, perjalanan Anda tidak akan lengkap."
Kaelan menghela napas, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. "Aku belum siap untuk menerima semua ini. Biarkan aku berpikir. Kalian bisa mengisi kamar lain, tapi jangan kamar di sebelahku."
"Baik, Tuan. Kami mengerti," jawab pemimpin kelompok itu serentak sebelum meninggalkan ruangan.
Kaelan segera merebahkan tubuhnya di kasur, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Informasi yang baru saja ia terima terasa begitu berat, membuat kepalanya berdenyut.
Keesokan harinya.
"Rea, aku ingin bicara denganmu," kata Kaelan dengan nada serius.
Rea menatapnya dengan heran. "Ada apa, Kaelan?"
Kaelan menarik napas panjang sebelum berbicara. "Mereka bilang aku dibangkitkan untuk sebuah tugas besar—membangun kembali kerajaan ini. Aku pikir... ini adalah jalan yang lebih baik. Aku ingin tahu, apakah kau ingin pergi bersamaku?"
Rea mengangguk pelan. "Menurutku kita harus pergi. Kau memperbaiki kerajaan ini, dan aku... aku ingin membalas dendam."
"Baiklah," kata Kaelan sambil mengangguk mantap. "Besok kita akan berangkat."
"Apakah kita hanya berdua?" tanya Rea penasaran.
Kaelan menggelengkan kepala. "Tidak. Ada sekelompok orang yang akan ikut. Mereka datang menjemputku. Tapi... sudahlah, aku terlalu lelah untuk menjelaskannya."
Rea menatap Kaelan dengan penuh simpati. "Baiklah, Kaelan. Besok kita berangkat bersama."
Di ruangan Kaelan, para anggota Orde Bulan Biru berkumpul, menunggu arahan terakhir dari Kaelan. Mereka mepersiapan perjalanan untuk kembali ke dunia dengan membuka portal kembali.
"Besok aku ikut kalian," ujar Kaelan dengan nada tegas. "Tapi ada syaratnya."
Pemimpin kelompok itu mengangguk hormat. "Apa syaratnya, Tuan?"
Kaelan menatap mereka dengan serius. "Jangan bilang pada Rea bahwa dia adalah 'pengantinku'. Aku belum siap menghadapi itu."
Seorang anggota kelompok tak sengaja berseru, "Jadi, itu benar!"
Kaelan menatap mereka tajam. "Diam kalian!"
Pemimpin kelompok segera menenangkan situasi. "Baik, Tuan. Kami mengerti. Tidak akan ada yang membahas hal itu di hadapannya."
"Bagus," ujar Kaelan singkat.
Keesokan harinya, kelompok Orde Bulan Biru mempersiapkan ritual besar untuk membawa Kaelan dan Rea kembali ke dunia mereka. Upacara diadakan di halaman istana yang luas, dengan lilin-lilin besar yang menyala di setiap sudut, menciptakan suasana magis.
Kaelan berdiri di tengah lingkaran yang dipenuhi simbol-simbol kuno, diikuti oleh Rea di sisinya. Para anggota kelompok mulai melantunkan mantra dalam bahasa yang tidak dipahami Kaelan, tetapi entah bagaimana terasa familiar baginya.
Angin berhembus kencang, daun-daun berguguran, dan cahaya biru mulai muncul dari tanah. Portal berputar perlahan di depan mereka, siap membawa mereka kembali ke dunia manusia.
Kaelan menatap Rea sekilas, lalu kepada para anggota kelompok. "Ayo, waktunya berangkat."
Mereka melangkah masuk ke dalam portal, meninggalkan dunia lama mereka, menuju takdir yang telah lama menanti.
Sesampainya di Dunia. Di tengah hiruk-pikuk kota yang modern, Kaelan dan Rea tiba di sebuah rumah kayu yang tampak kuno, seolah tersesat di antara gedung-gedung tinggi. Rumah itu berdiri dengan megah, dikelilingi taman kecil yang rapi.
Rea menatap rumah itu dengan kagum. "Ini... luar biasa."
Kaelan tersenyum tipis, lalu masuk bersama Rea. Mereka ditempatkan di sebuah kamar besar dengan ranjang yang luas.
Rea memiringkan kepala, menatap Kaelan. "Kenapa kita ditempatkan dalam satu kamar?"
Kaelan mengangkat bahu. "Jika kamu mau kamar sendiri, aku akan bilang ke mereka."
Rea buru-buru menggeleng. "Tidak usah. Kamar ini cukup besar. Lagipula... ranjangnya luas."
Kaelan tersenyum kecil, menahan tawa. "Baiklah, kalau begitu. Kalau kamu nyaman, aku juga."
Rea tersenyum tipis, lalu duduk di tepi ranjang, matanya menerawang. "Kau tahu, Kaelan... aku merasa semuanya baru saja dimulai."
Kaelan mengangguk, matanya menatap langit-langit kamar. "Ya, ini baru awal. Perjalanan kita masih panjang."
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih