Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran
Malam itu mereka menghabiskan waktu bersama di Vila ,tepatnya di kamar Almira. Almira tertidur tepat di samping Abidzar. Abidzar sejenak menatap wanita yang baru saja memberikan mahkotanya. Dengan lembut Abidzar mengecup kening wanita yang sudah menjadi miliknya seutuhnya.
"Aku tak akan melepaskan mu." batin Abidzar.
Pagi itu, sinar matahari menerobos dari celah-celah tirai, membangunkan Almira perlahan. Matanya terbuka, dan ia langsung merasakan kehangatan tubuh Abizard di sampingnya. Hatinya bergetar, campuran perasaan bahagia, bingung, dan sedikit ragu berkecamuk di dalam dirinya.
Abizard yang sudah terjaga lebih dulu menatap Almira lembut.
“Selamat pagi,” sapanya sambil menyentuh lembut pipi Almira.
Almira menatapnya sejenak, berusaha mencari kata-kata.
“Apa yang baru saja kita lakukan… Apakah ini keputusan yang benar?".
"Tentu saja. Kita akan kembali siang nanti. Dan aku ingin membawamu bertemu dengan keluarga ku."
Almira terdiam, ia merasa jika dirinya belum siap. Apalagi ia masih ragu dengan keputusannya untuk menerima Abidzar.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Percayalah padaku .Aku tak akan menyakitimu."
Almira menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapan Abizard begitu meyakinkan, seolah-olah ia benar-benar telah berubah. Tapi, di sudut hatinya, rasa khawatir masih bersemayam.
“Aku butuh waktu, Abidzar,” ucap Almira pelan.
“Aku tidak yakin siap bertemu keluargamu secepat ini. Semuanya terasa terlalu cepat.”
Abizard menggenggam tangan Almira, menatapnya dengan penuh kesungguhan.
“Aku mengerti. Kita bisa melakukannya perlahan, seperti yang kau mau. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tahu—aku serius tentang hubungan ini.”
Almira mengangguk ragu.
“Aku menghargai itu, tapi beri aku sedikit waktu lagi, ya?”
“Tentu,” balas Abizard sambil tersenyum tipis.
“Aku akan menunggumu, Almira. Tidak peduli berapa lama waktu yang kau butuhkan.”
Siang itu, mereka kembali ke Jakarta dengan suasana hati yang bercampur aduk. Almira kembali ke apartemennya, sementara Abizard kembali ke rutinitasnya di perusahaan. Meski jarak memisahkan, percakapan lewat telepon dan pesan singkat terus menghubungkan mereka.
Namun, di balik semua itu, Abizard mulai merancang langkah berikutnya. Ia tahu Almira masih ragu, tapi ia yakin bahwa dengan kesabaran dan perhatian, ia bisa memenangkan hati Almira sepenuhnya.
Di sisi lain, Almira berusaha mencari jawaban atas kebimbangannya. Ia mulai menceritakan semua kegelisahannya pada Debora.
“Kau yakin dia benar-benar berubah, Al?” tanya Debora dengan nada hati-hati.
“Aku hanya ingin kau berhati-hati. Jangan sampai hatimu terluka lagi.”
“Aku juga takut, Deb,” jawab Almira jujur.
“Tapi di sisi lain, aku ingin percaya. Bagaimana kalau dia memang tulus kali ini?”
“Kalau begitu, dengarkan kata hatimu,” kata Debora sambil tersenyum lembut.
“Tapi jangan biarkan perasaanmu mengaburkan logika."
Beberapa hari kemudian, Abizard akhirnya mengajak Almira bertemu dengan ibunya, Melisa. Meski masih merasa gugup, Almira memutuskan untuk memberanikan diri.
Mereka tiba di rumah keluarga Abizard yang megah. Melisa, wanita elegan berusia pertengahan lima puluhan, menyambut mereka dengan senyum hangat.
“Almira, akhirnya kita bertemu,” ucap Melisa sambil merangkul Almira dengan lembut.
“Abizard sering sekali bercerita tentangmu.”
Almira tersenyum canggung.
“Senang bertemu dengan Anda, Bu Melisa.”
“Ah, panggil aku Tante Melisa saja. Jangan terlalu formal,” kata Melisa sambil menepuk bahu Almira.
“Kau terlihat jauh lebih cantik dari yang diceritakan Abizard.”
Abizard hanya tersenyum kecil, senang melihat sambutan ibunya begitu ramah.
Namun berbeda dengan Yoseph ayah Abidzar.Dari tatapannya ia sama sekali tak menyukai penampilan Almira .Terlebih melihat tubuh besarnya .Ia tak mengira Abidzar akan memilih wanita seperti dia.
Namun Yoseph tak menunjukkan kepada mereka secara langsung. Makan malam berlangsung hangat. Melisa tak henti-hentinya menunjukkan perhatian pada Almira, membuat Almira merasa nyaman.
“Almira, aku senang Abizard akhirnya menemukan seseorang yang bisa membuatnya bahagia,” ucap Melisa di sela-sela makan malam.
“Dan kalau kau butuh apa pun, jangan sungkan bilang padaku, ya.”
Almira tersentuh oleh sikap Melisa. Ia tak menyangka ibu Abizard akan begitu terbuka dan menerimanya. Perasaan hangat itu perlahan-lahan menghapus sebagian keraguannya.
Setelah makan malam, saat Melisa dan Almira berbicara di teras, Melisa menggenggam tangan Almira.
“Kau tahu, Almira, Abizard mungkin terlihat keras kepala, tapi dia pria yang penuh kasih sayang. Dia hanya butuh seseorang yang benar-benar bisa melihat hatinya.”
Almira menatap Melisa, terharu oleh ucapan itu.
“Terima kasih, Tante Melisa. Aku akan mencoba yang terbaik.”
***
Felisha mengepalkan kedua tangannya setelah mendapat kabar juka Almira sudah resmi menjadi kekasih Abidzar. Tanpa basa-basi Felisha menemui Abidzar di kantornya.
Bruk
Abidzar menatap tajam kepada Felisha yang menciptakan keributan di kantornya.
"Apa ini ,Zar, Kau sengaja melakukannya ,bukan ?."
Abizard langsung bangkit dari kursinya,
"Apa-apan ini ,Felisha!! Kau membuat kekacauan di kantorku."
"Aku bilang keluar sekarang!!." usir Abizarf.
Felisha tak menggubris.Felisha berdiri di depan meja Abidzar, tubuhnya bergetar karena kemarahan yang memuncak. Ia menatap Abidzar dengan tatapan penuh kebencian.
“Kau pikir aku akan diam saja begitu saja?” teriak Felisha, suaranya penuh dengan emosi.
“Kau tahu aku tidak akan membiarkan Almira mengambil tempatku. Dia mungkin bisa menggodamu dengan senyum manisnya, tapi aku tahu siapa yang sebenarnya ada di hatimu!”
Abidzar mendekat, menatap Felisha dengan tatapan tajam.
“Felisha, ini bukan urusanmu lagi. Aku sudah membuat keputusan. Kami sudah selesai,” katanya dengan suara rendah, penuh penekanan.
“Tapi kamu masih belum mengerti, kan?” Felisha melangkah maju, dan dengan cepat menambahkan,
“Aku tahu dia tak pantas untukmu. Kau pikir dia benar-benar bisa memberimu kebahagiaan? Kau pikir dia akan setia padamu seperti aku?”
Abidzar menahan napas, kesabaran di ujung tanduk.
“Felisha, aku sudah bilang, tidak ada tempat untukmu dalam hidupku.”
Felisha tertawa canggung, mencoba menahan air mata yang mulai muncul di pelupuk matanya.
“Kamu memang berubah, Abidzar. Kamu akan menyesal.”
Abidzar mengambil napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum berkata,
“Tidak ada yang perlu disesali. Kamu harus pergi, Felisha. Sekarang.”
Felisha mendekat, berdiri dengan jarak sangat dekat.
“Kamu akan lihat. Aku akan pastikan Almira tak akan pernah benar-benar menguasai hatimu.”
Namun, Felisha tak sempat melanjutkan ancamannya. Abidzar sudah berbalik dan berjalan menuju pintu.
“Keluar!”
Teriaknya lagi, kali ini dengan ketegasan yang membuat suasana menjadi semakin tegang.
Felisha menyeringai penuh kebencian sebelum akhirnya berbalik dan pergi, meninggalkan Abidzar di ruang kerjanya yang sepi.
Sementara itu, di luar gedung, di tempat yang berbeda, Abigail merasa cemas. Ia baru saja menerima kabar tentang pertemuan Abidzar dan Almira dengan keluarga Abidzar.
Abigail tampak geram mendengar hubungan Abizard dengan Almira yang semakin intim.
"Aku tak akan membiarkan itu terjadi."
Abigail melangkah masuk begitu Felisha keluar dari ruangan Abizard.
Prak prak prak
Suara tepukan nyaring terdengar mengiringi langkah Abigail yang kian masuk ke ruangan Abizard.
"Selamat Abizard. Kau berhasil memenangkan pertaruhan hari ini." ucap Abigail .
Abigail sangat marah ketika mengetahui bahwa wanita yang ia sukai yaitu Almira telah memilih Abizard.
#Flashback
Beberapa bulan sebelumnya, sebelum Almira memasuki kehidupan Abidzar, Abigail dan Abidzar sering bertemu. Mereka berdua sepakat, siapapun yang mendapatkan hati Almira akan memberikan sebagian hartanya . Meskipun keduanya tahun jika apa yang mereka lakukan akan berdampak pada kehidupan Almira. Namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Abigail yang mengetahui tentang perasaan Abizard terhadap Almira yakin jika Abizard hanya penasaran saja pada gadis itu.Hingga mereka memutuskan untuk membuat satu kesepakan tersebut Di sisi lain, Abigail yakin jika Abizard tidak benar-benar menyukai Almira.
Kembali ke masa kini
"Kenapa kau berbuat begini, Abidzar?" Abigail menatap Abidzar dengan tatapan penuh kekecewaan.
"Kau tahu apa yang kau lakukan? Bagaimana jika Almira tahu tentang kebenaran ini? Apakah dia masih akan menerima mu?."
Abizard langsung menarik kemeja Abigail dengan kasar.
"Tutup mulutmu ,Abi!!"
"Apa yang ku lakukan sekarang ,itu tak ada hubungannya dengan kesepakatan kita. Aku benar-benar mencintai Almira." hardiknya.
Abigail tersenyum miring,
"Tenang ,Bro. Aku hanya penasaran saja. Bagaimana jika Almira mengetahuinya. Apakah kau bisa membujuknya?. Aku rasa tidak!."
Abizard mengepalkan tangannya lalu
Bugh
"Aku harap kau tak mengganggu kehidupan kami. Almira sudah memilihku. Terlepas dari itu ,Kau bisa memiliki setengah yang aku miliki."
Abigail menatap Abidzar dengan ekspresi marah dan terluka, namun dalam hatinya, ia merasakan kecemasan yang semakin dalam. Abidzar baru saja mengungkapkan perasaannya dengan begitu tegas, dan itu membuat Abigail semakin bingung. Namun, ia tahu bahwa Abidzar tak akan mundur dari keputusannya.
“Jangan terlalu yakin, Abidzar,” jawab Abigail pelan, suaranya penuh ketegangan.
“Jangan kira aku akan menyerah begitu saja.”
Abidzar hanya menatap Abigail dengan dingin, matanya menyiratkan keteguhan hati yang tak bisa digoyahkan.
“Aku tak ingin mendengar hal lain dari mulutmu, Abi. Ini bukan tentang kesepakatan kita lagi. Ini tentang perasaan yang aku rasakan untuk Almira.”
Abigail mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan amarahnya. Ia tahu bahwa Abidzar benar-benar serius kali ini. Keputusan Abidzar untuk memilih Almira dengan sepenuh hati membuat Abigail merasa kehilangan. Semua yang ia lakukan, semua yang ia harapkan, kini berantakan.
“Kau akan menyesal, Abidzar,” Abigail berkata dengan suara yang lebih rendah.
“Jika Almira tahu apa yang terjadi di antara kita, kau tak akan bisa menahannya.”
Abidzar menatap Abigail dengan tajam.
“Jangan coba-coba mengancam ku dengan itu. Aku sudah cukup sabar dengan semua yang terjadi. Sekarang, aku ingin kau pergi dari hidupku dan berhenti membuat kekacauan.”
Abigail tidak berkata apa-apa lagi. Ia menatap Abidzar untuk terakhir kalinya dengan mata penuh kebencian, lalu berbalik dan keluar dari ruangan itu dengan langkah berat. Di luar, hatinya terasa perih, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya terus merencanakan langkah berikutnya. Ia tak akan menyerah begitu saja.
Sementara itu, Abidzar berdiri di depan jendela kantornya, menatap ke luar dengan pikiran yang penuh. Meskipun ia telah membuat keputusan untuk bersama Almira, ia tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah. Ada begitu banyak hambatan, baik dari masa lalunya maupun dari orang-orang di sekitarnya. Tapi satu hal yang pasti, ia tak akan membiarkan siapapun atau apapun menghalanginya.