“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
W ~ Bab 20
Kalau ada typo, tolong tandai ya Kak 🙏 Soalnya saya nulisnya sambil jalan dan naik kereta ✌️😊😁
......................
“Ikram itu pohon beringin nya! Lalu dimana rumah nya?” Yudi yang baru saja turun dari mobil mengedarkan pandangannya.
“Tak ada hunian, Kram! Cuma rumah masa depan, perkebunan jeruk, serta pohon beringin yang konon katanya tempat tinggal Kuntilanak dan sejenisnya!”
Ikram mengangguk, dirinya masih belum percaya. “Tapi, mana mungkin gadis manis ku tega menipu!”
Yudi menolehkan wajahnya, menatap jengah sahabatnya. “Gadis mu? Mendekatinya saja kau masih tak jua berhasil, macam mana pulak bisa mengakui dirinya?!”
“Hanya tentang waktu, nanti juga nya luluh! Nyatanya, setiap pemberianku baik itu berupa barang maupun uang, selalu diterimanya,” Ikram tetap keukeuh dan percaya diri dapat menaklukkan gadis pujaannya.
“Itu karena nya tipe cewek materialistis! Tak mau orangnya, tapi doyan uangnya!” cibir Yudi.
“Meutia bukan wanita macam tu, tetapi realistis! Sebab, nya paham betul tak akan kenyang bila hanya makan cinta.”
“Lagi pula, tak ada namanya wanita materialistis bila di tangan pria yang benar tulus mencintai serta menginginkannya! Aku sendiri ikhlas menghujani dirinya dengan perhatian serta hadiah kecil, tak lupa juga selalu menyisipkan uang jajan, dan ketika dirinya menerima tanpa rasa sungkan, hati ni dipenuhi bunga setaman.”
“Kau tengok tu!” Yudi menaikan dagunya, menatap hamparan bunga. “Dirimu ... bila selepas menguntit Meutia, macam kembang kuburan tu! Penuh aneka warna, sampai sering ku bergidik ngeri melihat mu macam orang gila!”
“Terserah kau!” Ikram membuka sepatunya lalu masuk ke area pemakaman.
“Mau apa kau masuk ke sana, Ikram?” Yudi menggeram sambil menggeleng kepala, tidak punya pilihan lain, selain ikut melangkah dibelakang Ikram.
Ikram terus berjalan seraya menatap satu persatu tulisan di batu nisan, sampai netranya membaca nama Abdul Siddiq, hatinya bagai diremas, netranya langsung berkaca-kaca.
“Assalamualaikum, calon Ayah mertua. Perkenalkan saya Ikram Rasyid, calon menantu Anda.”
‘Ya Tuhan, salah apa aku ni, sehingga punya teman macam Ikram?’
Laki-laki berumur 24 tahun itu melantunkan doa yang diperuntukkan bagi ayah gadis idaman hatinya, selepasnya ia kembali masuk mobil.
"Ternyata calon istriku sudah tak punya Ayah, pantas saja nya terlihat murung bila hendak pulang kampung.” Ikram menghela napas panjang.
“Entahlah, Kram. Sudah habis kata aku ni, mau bersuara pun hanya sampai di tenggorokan saja! Tapi, ku sarankan ini ya … jangan melambungkan harapan setinggi langit, nanti bila semesta tak merestui, kau langsung menghantam dasar bumi!”
“Ada banyak jalan menuju Roma, beragam pula cara mendapatkannya, bila dengan perhatian tak mempan, masih bisa ku usahakan merayu Tuhan di sepertiga malam.”
“Dasar hamba cinta! Jalan lah lagi!”
.
.
“I-n-i … ini. B-a-p-a-k … Bapak. B-u-d-i … Budi.”
“Jadi di baca; Ini Bapak Budi!”
“Enak betul ya jadi Budi, disebut terus namanya dalam buku. Mengapa pulak Mamak ku tak menamai itu saja!” Ayek protes.
“Mungkin saja, sewaktu Mamak kita mengandung, belum ada tu si Budi,” balas Danang.
"Bisa jadi sih!” sahut Rizal.
Ketiga anak laki-laki itu sedang duduk di bangku kayu depan halaman rumah Ninik.
“Wee ada mobil bagus! Siapa kira-kira?” Ayek berseru seraya memperhatikan laju mobil Kijang yang mendekati mereka.
Kaca mobil pun dibuka. “Dek, boleh Abang bertanya?”
“Wihh ... bau duitnya tajam sangat,” bisik Rizal yang ada dibelakang Ayek.
“Mau tanya apa, Bang?”
“Tahu tak, di mana tempat tinggalnya Bapak Abdul Siddiq?”
Ayek terlihat berpikir keras, sampai keningnya mengernyit dalam. “Sebetulnya tu nama orang apa jalan atau Pahlawan, Bang?”
“Orang lah, Dek!”
“Tak tahu lah kami! Tapi, bila nama jalan … tinggal lurus saja, sampai bertemu sungai pasir. Nah, di sana ada nama yang Abang cari!” Danang maju, memberikan informasi yang menurut mereka akurat.
“Lebih baik kita balik saja, Kram! Takutnya malah kehabisan bahan bakar. Payah urusannya nanti!” Yudi memberikan peringatan.
“Kita coba laju sedikit lagi, siapa tahu ketemu!”
"Kalau kehabisan bahan bakar, isi aja dengan minyak lampu, Bang! Ada kok di warung-warung!" Ayek menyahuti perkataan Yudi.
Ikram yang memiliki kesabaran seluas samudera hanya mengulas senyum ramah. "Beda lah, Dek! Tak bisa minyak tanah dijadikan bahan bakar mobil."
"Oh ... Macam tu ternyata," sahut Trio Cebol bersamaan.
“Terima kasih, Dek!” Ikram kembali menutup jendela mobil, sebab jalanan sangat berdebu.
Selepas kepergian mobil berwarna biru tua itu, tiga anak laki-laki tadi jadi berdiskusi.
“Abang tadi tanya nama Bapak Abdul Siddiq, ‘kan? Sepertinya nama tu tak asing,” Danang mencoba menggali memorinya.
“Siddiq … bukannya tu nama belakangnya Bang Agam, ya?” Rizal ikut bersuara.
“Betul Wee! Tapi, ya sudahlah … terlambat betul kita tahu nya. Ini gara-gara si Budi, jadi tak fokus kitanya! Tak jadilah aku ingin nama tu, ternyata si Budi bisa menyesatkan juga!”
Ayek bergidik, kembali mereka belajar lancar membaca, tetapi terganggu lagi dikarenakan kedatangan sebuah mobil.
“Wee … ayok mancing!” Meutia turun dari bak pickup, yang dikemudikan salah satu pekerja abangnya.
Pakcik menurunkan joran, karung beras lumayan besar yang entah berisi apa. “Ini, Nak!”
“Terima kasih, Pakcik!”
“Tia, bantu aku turun!” Nirma kesusahan kala hendak turun dari bak mobil.
“Kau ni menyusahkan saja! Tinggal lompat pun tak pandai!” Meutia meraih tangan Nirma, membantu gadis itu turun.
“Habislah kita Wee! Macam mana bisa, Kak Tia selalu tahu keberadaan kita?”
"Mungkin nya calon Dukun sakti!" Rizal menanggapi pertanyaan Ayek.
"Cakap apa tadi? Mengapa mulut kalian macam induk Ayam yang habis bertelur? Komat-kamit tak jelas!" Meutia menatap sengit ketiga muridnya.
"Tak ada, Kak. Ayo ... kita pergi memancing!"
.
.
“Satu ekor saja cukup kelihatannya, tapi aku bawa 5 tali tambang. Apa semuanya ku pakai saja ya?”
“Jangan serakah Dhien! Tak elok meniru sifat tamak keluarga ayah mu tu!”
“Betul juga tuh. Cukup mereka saja yang jadi titisan Fir'aun, diri ni jangan sampai! Ayo kita duit kan kau, Lembu!”
Dhien mulai menarik tali tambang yang sudah di ikatkan pada leher Lembu, lalu dirinya berjalan pasti, tapi baru lima langkah kembali lagi mendekati kawanan hewan berkaki empat itu.
“Sudah sampai sini dan sejauh ni, sayang kali kalau tak dimanfaatkan semaksimal mungkin! Ibarat kata, bila tergelincir dalam genangan air berlumpur, akan lebih bagus mencebur sekalian saja … biar tak setengah-setengah mengotori baju!”
Dhien kembali mengeluarkan tali tambang, lalu mengulang mengalungkan di leher Lembu.
“Ayo uang-uangku! Jangan malas melangkah, biar aku cepat kaya … ha ha ha!”
Berjalan berkilo-kilo meter, menarik dua tali kekang, sesekali berhenti bila Lembu hendak makan rumput, Dhien juga akan mengeluarkan mangkuk plastik sedikit cekung dan mengisinya dengan air putih yang ia bawa serta dalam tas.
“Sedikit lagi sampai, panasnya bukan main! Sama persis macam hati nenek titisan Fir'aun nanti, sewaktu mendengar kabar kalau Lembu nya hilang.” Janda perawan itu menyeka keringat di kening, duduk dibawah pohon kayu jati.
Setelah Lembu selesai merumput, Dhien kembali berdiri dan mulai jalan lagi. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih satu setengah jam, melewati perkebunan karet serta pohon jati, kini dirinya sampai di rumah agen yang biasa menjual-beli hewan ternak.
Sosok layaknya juragan berkumis tebal, perut buncit itu memperhatikan penampilan Dhien dengan saksama.
“Betul ni Lembu punya mu, Dek? Bukan hasil maling ‘kan?”
.
.
Bersambung.
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun