menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
karina marah
Teriakan Bu Marni dari arah warung terdengar jelas, "Karina, langit mendung mau hujan kayaknya. Itu jemuran belum diangkat!" Namun, suara itu tidak dapat menembus ke dalam kamar Karina, yang sedang tiduran dengan lelap, tidak menyadari panggilan mertuanya.
Bu Marni, yang mulai khawatir jemuran akan basah terkena hujan, menghela napas dan berpaling kepada tetangganya, Bu Sri. "Duh, mana sih itu anak?" ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. "Bentar ya, Bu Sri, saya panggil mantuku dulu, takut keburu hujan ini," tambahnya sambil berjalan menuju rumahnya, berencana memanggil Karina untuk mengangkat jemuran.
Bu Sri mencoba menenangkan Bu Marni dengan kata-katanya yang lembut. "Yaudah sih, Bu Marni, tinggal diangkat dulu jemuran nya. Siapa tau Karina nya lagi sibuk didalam."
Namun, Bu Marni tidak sependapat dengan Bu Sri. Ia menggelengkan kepala dan mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit kesal. "Sibuk ngapain, lah? Wong Karina itu anaknya pemalas kok. Kalau gak disuruh, ya nggak bakal dikerjain. Anak jaman sekarang mesti sering dikasih tau, Bu Sri, biar nggak manja dan leha-leha saja bisanya."
Bu Marni kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, sambil berteriak memanggil menantunya. "Karin, Karina... kamu dimana? Angkat jemuran ini, sudah mau hujan!" Suaranya yang keras dan memerintah terdengar jelas.
Tetap saja tidak ada jawaban dari Karina. Bu Marni semakin kesal dan menggedor-gedor pintu kamar Karina dengan kencang, membuat suara yang keras dan mengganggu. "Dokkk.. dokkk.. dokkk..!"
Akhirnya, dengan enggan, Karina membukakan pintu kamarnya. Ia tampak sedang mengantuk dan tidak senang dengan gangguan tersebut. "Apa sih, Bu? Berisik banget, ganggu aja deh," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal dan tidak sabar, rasanya ingin kembali ke tidurnya.
Bu Marni melotot dengan mata yang lebar, mendengar ucapan menantunya yang terdengar tidak hormat. "Apa kamu bilang ibu ganggu?" ucapnya dengan nada yang tinggi dan kesal. "Dari tadi dipanggil gak nyaut-nyaut, ternyata malah asik-asik tidur ya!"
Bu Marni kemudian menunjuk ke arah luar rumah, "Tuh, angkat jemuran sudah mau hujan!" Ia berharap Karina segera mengerti apa yang harus dilakukan.
Namun, Karina tidak menunjukkan reaksi yang diharapkan. Ia malah membalas dengan nada yang sedikit keras dan tidak sabar, "Astaga, ibu teriak-teriak cuma buat nyuruh aku angkat jemuran? Bu, timbang angkat jemuran doang apa susahnya. Udah aku cuciin loh semua baju satu keluarga disini." Karina berusaha mempertahankan dirinya, namun kata-katanya hanya membuat Bu Marni semakin kesal.
"Gak usah membantah ya kamu! Cepat angkat jemuran, kamu tuh harus sadar kalau..." Bu Marni berhenti sejenak, menunggu Karina untuk memahami apa yang ingin ia katakan.
Namun, Karina sudah menyahut sebelum Bu Marni selesai berbicara. "Kalau aku cuma numpang disini kan, aku hanya orang asing yang kebetulan dinikahi oleh anak ibu, ya kan?" Karina mengucapkan kata-katanya dengan nada kesal, seolah-olah ingin menekankan bahwa ia merasa tidak dihargai dan hanya dianggap sebagai 'orang asing' di rumah tersebut.
Bu Marni tampaknya puas dengan jawaban Karina, karena ia kemudian mengangguk dan mengucapkan, "Nah, tuh, kamu sadar siapa kamu disini. Udah, sana buruan, ibu masih ada pembeli." Dengan itu, Bu Marni berpaling dan keluar meninggalkan Karina, yang masih berdiri di tempat dengan ekspresi yang sedih dan kesal.
Bu Marni menggerutu dengan suara yang kencang, sengaja agar orang-orang yang berada di sekitar warungnya dapat mendengar. "Dasar, orang tua manggil dari tadi, ternyata malah enak-enak tidur di kamar," ucapnya dengan nada yang kesal dan tidak puas.
Suara gerutu Bu Marni menarik perhatian beberapa orang yang sedang berbelanja di warungnya. Mereka menoleh ke arah Bu Marni, penasaran dengan apa yang terjadi.
Bu Ratih, tetangga yang sedang berbelanja di warung Bu Marni, mencoba menenangkan situasi dengan kata-katanya yang lembut. "Biarkan saja, to Bu Marni, siapa tau Karina memang capek jadi tidur. Perkara angkat jemuran saja gak usah dipanjangin," ucapnya dengan nada yang santai dan tidak ingin memperburuk situasi. Bu Ratih berusaha menengahi konflik antara Bu Marni dan Karina, dengan harapan dapat meredakan ketegangan yang ada.
"Iya, tu Bu Marni, kan kasihan Karina pasti capek beberes rumah sendirian," sahut Bu Sri dengan nada yang lembut dan penuh empati.
Bu Marni mengangguk, namun dengan nada yang sedikit keras dan tidak fleksibel. "Eh, itu memang sudah kewajiban seorang istri dan menantu, Bu Ibu. Karina kan istri Rudi, jadi wajar dia yang lakukan semua pekerjaan rumah." Ucapannya terdengar seperti perintah yang tidak bisa ditolak.
Bu Sri tidak setuju dengan pendapat Bu Marni dan segera membela Karina. "Eh, Bu Marni, Karina itu istri dan menantu, bukan pembantu, tau," ucapnya dengan nada yang tegas dan tidak ragu-ragu. Bu Sri berusaha menekankan bahwa Karina memiliki hak dan martabat yang sama sebagai anggota keluarga, bukan hanya sebagai pembantu rumah tangga.
Para tetangga di sekitar rumah Rudi sudah tidak asing lagi dengan kelakuan buruk keluarga tersebut terhadap Karina, yang sering kali diperlakukan dengan semena-mena.
Saat itu, Karina keluar dari rumah bersama dengan Rina. Karina menunjuk ke arah tali jemuran yang berada di teras, "Tuh, Rin, angkat jemuran yang sudah kering, nanti yang masih belum kering kamu taruh di teras sana."
Rina mengangguk singkat dan menjawab, "Iya." Ia kemudian berlari ke arah tali jemuran, siap untuk melakukan tugas yang diberikan oleh Karina.
Bu Marni terkejut dan tidak terima ketika melihat Rina, anak kembarnya, yang sedang mengangkat jemuran. "Loh, loh, kok jadi Rina yang angkat jemuran?" ucapnya dengan nada yang kesal dan tidak puas.
"Tau tuh, Bu, Mbak Karin maksa. Kalau gak mau, besok gak bakal di cuciin bajuku katanya." Rina mengulangi perkataan Karina dengan nada yang sedikit takut, seolah-olah ia tidak ingin melakukan sesuatu yang salah. Bu Marni semakin kesal mendengar perkataan Rina, dan ia merasa bahwa Karina telah melampaui batas sebagai menantu.
Bu Marni melotot tajam ke arah Karina, matanya terlihat marah dan tidak puas. "Enak saja kamu nyuruh-nyuruh anakku. Gak bisa Rina itu harus belajar," ucapnya dengan nada yang keras dan tidak sabar.
Karina, yang merasa perlu membela diri, menjawab dengan nada yang sedikit manis dan mencari pembelaan. "Bu, anak perawan tuh jangan diajarin males, dong. Timbang angkat jemuran sebentar doang. Justru ibu harus terimakasih sama aku, karena mau mendidik anak ibuk biar gak jadi gadis pemalas." Karina berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang sedikit memelas. "Iya kan, Bu Ibu?"
Bu Sri mencoba menenangkan situasi dengan kata-katanya yang lembut. "Iya, Bu Marni, biarin aja sih. Biar Rina nanti bisa ngelakuin pekerjaan rumah tangga." Ia berharap bahwa dengan membiarkan Rina melakukan pekerjaan rumah tangga, gadis remaja itu akan menjadi lebih mandiri dan terampil.
Rina, yang merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit takut-takut. "Bu..."
Namun, Karina tidak memberikan kesempatan kepada Rina untuk berbicara lebih lanjut. Ia malah mengancam Rina dengan nada yang keras. "Udah, buruan angkat sekarang, atau..." Karina tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Rina sudah memahami apa yang ingin dikatakan oleh Karina.
Rina berjalan dengan menghentakkan kakinya, menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan situasi tersebut. "Iya, iya, ih nyebelin banget sih, Mbak," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal.
Bu Marni hanya bisa diam menyaksikan anaknya, Rina, disuruh oleh Karina. Ia merasa tidak puas dan ingin melawan, namun ia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk, terutama karena ada beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja di warungnya.
Bu Sri, salah satu ibu-ibu yang sedang berbelanja, menghampiri Bu Marni dan mengucapkan, "Bu Marni, aku sudah nih belanjanya." Bu Marni kemudian mulai menghitung belanjaan yang dibeli oleh Bu Sri, dengan teliti dan sabar.
Setelah selesai menghitung, Bu Marni mengucapkan, "Semua jadi 34 ribu." Ia menyerahkan total belanjaan kepada Bu Sri, yang kemudian membayar dengan uang tunai 20 ribuan 2 lembar.
Bu Marni menyerahkan kembalian kepada Bu Sri dengan senyum yang ramah. "Nih, kembaliannya 6 ribu," ucapnya sambil menyerahkan uang kembalian tersebut.
Bu Sri menerima kembalian tersebut dan menyimpannya di dalam dompetnya, lalu berpamitan dengan Bu Marni sebelum berangkat.
Sementara itu, Bu Ratih, yang juga telah selesai berbelanja, menghampiri Bu Marni dan mengucapkan, "Aku juga sudah, Bu Marni." Ia menyerahkan uang pembayaran dan menerima kembalian dari Bu Marni, sebelum berpamitan dan berangkat meninggalkan warung.
***
Pukul 16.30, jam kerja di pabrik telah usai. Para karyawan mulai bersiap-siap untuk pulang, termasuk Rudi. Ia langsung berjalan menuju parkiran, siap untuk meninggalkan tempat kerja dan kembali ke rumah.
Saat Rudi berjalan, Lisa, salah satu bawahannya di pabrik, menghampiri dan menyapa Rudi dengan sopan. "Sore, Pak Rudi, udah mau pulang, Pak?" tanyanya dengan nada yang ramah dan hormat. Rudi tersenyum dan mengangguk, menunjukkan bahwa ia siap untuk pulang dan meninggalkan kesibukan hari itu.
"Sore, Lisa. Iya, nih, mau pulang. Aku duluan ya," ucap Rudi sambil tersenyum dan mengangguk.
Lisa, yang sedang berdiri di samping Rudi, segera memanfaatkan kesempatan tersebut. "Eh, anu, Pak Rudi, maaf, bisa numpang ikut pulang gak ya? Kebetulan kita kan searah nih. Motor aku tadi pagi dibengkel," tanyanya dengan nada yang sopan dan sedikit berharap.
Rudi tidak keberatan dan mempersilakan Lisa untuk ikut pulang bersamanya. "Oh, boleh, Lisa. Sekalian kita kan searah juga," ucapnya sambil tersenyum.
Lisa sangat senang ketika Rudi memperbolehkan dia untuk ikut pulang bersama. Ia merasa sangat beruntung karena dapat bersama dengan sosok yang sangat diidolakannya. Menurut Lisa, Rudi adalah orang yang sangat sempurna, dengan wajah yang tampan, jabatan sebagai direktur, dan gaji yang pasti sangat memuaskan. Lisa tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya terhadap Rudi, dan ia merasa sangat bahagia karena dapat bersama dengannya.
Meskipun Rudi sudah memiliki istri, tidak mengurangi rasa kagum Lisa terhadapnya. Ia tetap mengidolakan Rudi sebagai sosok yang tampan, sukses, dan berwibawa.
Awalnya, Rudi tidak memiliki perasaan khusus terhadap Lisa. Ia hanya memandangnya sebagai bawahan yang kompeten dan rajin. Namun, lama-kelamaan, Rudi mulai merasa nyaman ketika berada di dekat Lisa. Ia menikmati percakapan dengan Lisa, yang selalu sopan dan hormat.
Sebagai laki-laki, Rudi tidak dapat menyangkal bahwa ia juga memiliki kelemahan terhadap wanita cantik dan menarik seperti Lisa. Ia mulai merasa tertarik pada Lisa, meskipun ia tidak ingin mengakui perasaannya tersebut. Rudi berusaha untuk tidak terlalu dekat dengan Lisa, namun ia tidak dapat menyangkal bahwa ia telah mulai merasa nyaman dan bahagia ketika berada di dekatnya.
"Sudah sampai, Lis," ucap Rudi sambil memperlambatkan laju motor. Ia dapat merasakan pelukan erat Lisa dari belakang, yang membuatnya merasa nyaman dan bahagia.
Lisa memeluk Rudi dengan erat, bahkan dadanya sengaja dipentokkan di punggung Rudi. Ia merasa sangat nyaman dan aman dalam pelukan Rudi, sehingga ia tidak sadar bahwa ia telah bersandar terlalu dekat.
"Ah, terimakasih banyak, Pak Rudi," ucap Lisa dengan nada yang manis dan sopan. "Sampai tidak sadar saya saking nyaman nya bersandar di punggung Pak Rudi, hehehe..." Ia tertawa dan mengajak Rudi untuk berhenti sejenak. "Mampir dulu yuk, Pak Rudi."
"Kapan-kapan saja ya, Lis, takut istri di rumah nyariin," ucap Rudi sambil tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian melanjutkan kembali perjalanannya, meninggalkan Lisa di tempat mereka berhenti.
Lisa mengucapkan selamat jalan kepada Rudi dengan nada yang sopan. "Yasudah, hati-hati di jalan ya, Pak Rudi."
Setelah Rudi sudah tidak terlihat, Lisa menggumamkan kata-kata yang menunjukkan niatnya yang sebenarnya. "Akan aku buat kamu mencintaiku, Pak Rudi. Aku tidak peduli kamu itu pria yang sudah beristri. Aku bahkan rela jika harus jadi yang ke dua." Lisa mengucapkan kata-kata tersebut dengan nada yang penuh semangat dan tekad, Lisa telah memutuskan untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk memenangkan hati Rudi.
***
Begitu Rudi sampai di rumah, Karina menyambut Rudi dengan pertanyaan yang sedikit heran ketika Rudi masuk ke dalam rumah. "Tumben baru sampai, Mas?" Ia bertanya dengan nada yang sedikit penasaran, karena Rudi biasanya sudah sampai di rumah lebih awal.
Rudi tersenyum dan berbohong dengan nada yang santai. "Iya, jalan macet banget." Ia tidak ingin mengungkapkan kebenaran bahwa ia baru saja mengantar Lisa pulang, karena ia tahu bahwa Karina pasti akan merasa tidak nyaman dan cemburu jika mengetahuinya. Rudi berusaha untuk menyembunyikan kebenaran dan menjaga agar Karina tidak curiga.
"Yasudah, mandi dulu sana, Mas, setelah itu kita makan malam," ucap Karina dengan nada yang lembut.
Rudi mengangguk patuh dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah seharian beraktivitas. Sementara itu, Karina dan anggota keluarga lainnya sudah berkumpul di meja makan, menunggu Rudi selesai mandi untuk kemudian menikmati makan malam bersama.
Suasana di meja makan terlihat hangat dan nyaman, dengan semua orang duduk bersama dan menunggu Rudi untuk bergabung dengan mereka. Namun, suasana tersebut segera berubah menjadi tidak nyaman ketika Rani, adik ipar Karina, memprotes makanan yang disajikan.
"Yah, sayur tadi pagi, bosen tau, Mbak," ucap Rani dengan nada yang tidak puas, menunjukkan bahwa ia tidak ingin makan sayur yang sudah disajikan sebelumnya.
Karina, yang merasa tidak senang dengan protes Rani, membalas dengan nada yang sinis. "Kalau tidak suka, gak usah makan," ucapnya dengan nada yang dingin dan tidak ramah. Jawaban Karina tersebut membuat suasana di meja makan menjadi semakin tidak nyaman.
Bu Marni, ibu Rudi, menatap Rudi dengan ekspresi yang tidak puas, sambil menunjuk ke arah Karina. "Tuh, Rud, kamu lihat sendiri bagaimana kelakuan istrimu. Adikmu cuma ungkapin unek-uneknya, toh kenyataannya memang benar begitu kan. Apa yang dibilang Rani memang benar. Apa kamu gak bosan makan pakai itu-itu mulu?" Bu Marni bertanya dengan nada yang keras dan tidak sabar, seolah-olah ingin memastikan bahwa Rudi juga merasa tidak puas dengan kelakuan Karina.
Namun, Karina tidak terpengaruh oleh ucapan mertuanya. Ia lebih memilih untuk menikmati makanan di depannya, mengisi tenaga untuk menghadapi debat dengan keluarga yang toxic. Ia tahu bahwa debat seperti ini membutuhkan tenaga ekstra, dan ia tidak ingin kehabisan energi. Dengan demikian, Karina memilih untuk fokus pada makanannya, dan tidak mempedulikan ucapan mertuanya.
"Karin, besok masak lah ayam, aku juga bosan makan pakai itu-itu mulu. Benar kata Rani," ucap Rudi, mencoba meminta Karina untuk memasak sesuatu yang lebih variatif.
Karina tidak menjawab, melainkan menengadahkan tangannya.
"Kenapa itu tangan?" tanya Rudi, tidak mengerti apa yang ingin dilakukan Karina.
Karina kemudian menjelaskan dengan nada yang sedikit kesal. "Minta uang lah buat beli ayam besok. Kamu pikir makan enak cukup pakai uang satu juta buat sebulan? Aku juga bosen sih makan kangkung tempe terus, pengen juga makan ikan atau ayam gitu." Karina mengeluhkan tentang keterbatasan uang yang diberikan Rudi untuk membeli bahan makanan, dan ingin memiliki variasi makanan yang lebih baik.
Rudi memprotes dengan nada yang sedikit kesal. "Baru dua minggu aku kasih jatah kan untuk belanja sehari-hari. Satu juta masa iya udah habis sih." Ia tidak percaya bahwa uang yang diberikan untuk belanja sehari-hari sudah habis dalam waktu yang relatif singkat.
Bu Marni, ibu Rudi, kemudian ikut campur dengan nada yang sedikit menghakimi. "Rud, istrimu tuh gak becus mengelola uang. Boros dia itu pasti uangmu ditilep sama dia." Bu Marni mengompori Rudi dengan kata-kata yang tajam, Ia ingin memastikan bahwa Rudi menyadari bahwa Karina tidak mampu mengelola uang dengan baik.
Bruak! Karina menggebrak meja dengan keras, menunjukkan bahwa ia sudah tidak sabar lagi dengan tuduhan-tuduhan yang terus-menerus dilontarkan kepadanya. Wajahnya memerah dengan marah, dan matanya berkilat dengan kemarahan.
"Aku sudah tidak sabar lagi, Mas!" Karina berteriak, suaranya menggema di ruangan. "Kamu kira kalau gas habis, minyak, beras, bumbu dapur semua pada habis terus, beli pakai uang apa coba? Ya, uang 1 juta itu! Kamu pikir itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarga ini?"
Karina juga menoleh ke arah Bu Marni, matanya berkilat dengan kemarahan. "Dan Ibu juga, aku sudah terlalu sabar ya, ngeladenin ucapan Ibu. Jangan mentang-mentang aku cuma numpang di sini, kalian bisa seenaknya memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan diam saja!"
Karina mengutarakan unek-uneknya dengan nada yang tegas dan jelas. "Kalau Ibu mau makan enak, ya modal, keluarin duit buat beli makanan enak. Jangan bisanya nuduh aku boros lah, tidak pintar kelola duit lah," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal.
Ia melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. "Kalian pikir duit 1 juta itu gede? Hello, gimana kalau mulai sekarang aku minta jatah uang untuk belanja harian saja? Setiap hari aku minta jatah khusus untuk beli sayur saja. Uang untuk gas, beras, dan lainnya tidak termasuk didalamnya."
Karina menatap Rudi dengan mata yang tajam. "Mas Rudi, ngasih banyak ya kita makan enak. Begitu juga sebaliknya, kalau ngasihnya kecil, ya jangan harap makan enak. Oke, mulai sekarang aku putuskan untuk meminta uang belanja harian, biar kalian tau tiap hari aku belanja habis berapa." Dengan demikian, Karina ingin menunjukkan bahwa ia tidak boros dan tidak tidak pintar mengelola uang, melainkan hanya ingin memiliki kejelasan tentang anggaran belanja harian.
Rudi mencoba untuk menenangkan Karina dengan nada yang lembut. "Sudahlah, hanya masalah kecil, jangan kamu besar-besar kan, Karin? Ini kita mau makan loh."
Namun, Karina tidak dapat ditenangkan. Ia meletakkan sendok dengan kasar dan memandang Rudi dengan mata yang marah. "Apa kamu bilang, Mas? Masalah sepele? Tapi kalian semua selalu mengungkitnya. Kamu pikir aku tidak punya perasaan, Mas? Pernah tidak kamu bela aku disaat keluarga mu menghina aku? nggak pernah, Mas, justru kamu sama saja malah ikutan menghinaku."
Bu Marni dan kedua anak kembarnya hanya diam menyaksikan percekcokan antara Rudi dan Karina, tidak berani untuk memotong atau membela Karina. Mereka hanya menundukkan kepala, tidak berani untuk bertemu mata dengan Karina yang sedang marah. Padahal, awal mulanya percekcokan ini juga karena mereka, tapi jika Karina sudah ngomel-ngomel, mereka hanya bisa diam saja, tidak berani untuk menghadapi kemarahan Karina..
Setelah makan malam, Karina masuk ke dalam kamarnya dan disusul oleh Rudi. Karina merasa curiga ketika Rudi mengikutiinya ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. "Ngapain pake dikunci segala, Mas?" tanya Karina dengan nada yang sedikit waspada.
Rudi tersenyum manis dan mendekati Karina dengan langkah yang pelan. Matanya berkilat dengan nafsu dan keinginan. "Mas kangen, Karin, Mas kepengen," ucap Rudi dengan suara yang lembut dan penuh gairah. Karina dapat merasakan getaran suara Rudi yang penuh dengan keinginan dan nafsu, membuatnya merasa tidak nyaman dan sedikit terkejut.
Karina memandang Rudi dengan mata yang sedikit sinis. "Halah, kamu nih, Mas. Giliran minta jatah, baik-baikin bicaranya, manis bener kayak gula. Tapi giliran dimintai duit aja, pelit banget."
Rudi tersenyum dan meminta maaf. "Iya, maafin, ya. Kita harus sadar diri, disini hanya numpang."
Karina kemudian mengajak Rudi untuk pindah dan ngontrak berdua saja. "Ya, makanya ayo kita pindah, Mas. Kita ngontrak berdua saja."
Rudi tersenyum dan mengangguk, namun tidak membuat keputusan yang pasti. "Iya, nanti Mas pikirkan, ya. Sekarang Mas mau minta jatah kangen ni." Rudi kembali mendekati Karina.
Karina hanya bisa pasrah mengikuti kemauan suaminya, dan akhirnya mereka berdua melakukan olahraga malam bersama. Rudi mencapai klimaksnya dan mengucapkan "Ah" dengan puas, namun seketika itu juga tubuhnya ambruk ke samping dan ia tertidur dengan cepat.
Karina merasa kecewa karena belum mencapai klimaksnya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Rudi yang sudah tertidur di kasur, berusaha untuk membangunkannya. "Ya ampun, Mas, baru mau enak, belum ada 10 menit udah selesai aja sih. Mas bangun dong, aku kan belum selesai," ucap Karina dengan nada yang sedikit kesal dan kecewa.
Rudi membungkus tubuhnya dengan selimut dan tidur membelakangi Karina, meninggalkan Karina yang masih merasa kecewa dan tidak puas. "Aku capek, Karin, udah ah, aku mau tidur," ucap Rudi dengan nada yang lelah dan tidak peduli.
Karina merasa kesal dan kecewa dengan perilaku Rudi yang egois dan tidak memperhatikan kebutuhan istrinya. Ia gerutu dengan nada yang sedikit keras, "Kebiasaan, maunya enak sendiri, gak mau enakin istri. Giliran udah selesai, ditinggal molor. Dasar laki-laki egois. Kalau begini terus, gimana mau punya anak, coba?" Karina merasa frustrasi dan kecewa dengan perilaku Rudi yang tidak memperhatikan kebutuhan dan keinginannya sebagai istri.
Bersambung...
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu