Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Kepergok.
Pulang kerja badan penat sekali. Dengan langkah malas aku membuka pintu dan merebahkan diri di sofa. Kututup kedua belah mataku sejenak, untuk memulihkan tenaga.
Saat ku buka kembali, aku dikejutkan oleh sosok yang datang menghampiriku. Astaga! Aku lupa kalau ada tamu di rumah. Bastian tersenyum melihatku. Aku langsung duduk merasa jengah dengan kehadirannya. Mataku melongok ke bagian dalam rumah lewat tubuhnya. Mencari sosok suamiku.
"Arbi sedang keluar. Katanya cuma sebentar tapi sudah tiga jam belum pulang." jelasnya tanpa ku minta.
Aku ngedumel panjang pendek dalam hati, teganya Arbi keluar padahal dia tau jelas ada tamu di rumah.
"Kemana katanya." aku berdiri untuk masuk ke kamar. Tidak enak rasanya ngobrol berdua dengan Bastian. Sekalipun Arbi tidak akan keberatan akan hal itu. Tetap saja aku merasa enggan. Bastian 'kan tidak tau kondisi rumah tanggaku.
"Mobilku belum selesai diperbaiki. Katanya mungkin besok atau lusa." Sepertinya Bastian merasa segan juga. Karena dia kelihatan sudah mulai pulih, walau kelopak matanya nampak cekung efek sakit.
"Iya tidak apa-apa. Aku buatkan makan malam dulu." pamitku.
"Tidak perlu repot Mbak. Aku sudah pesan makanan lewat gofood."
"Hm, baiklah aku ke kamar dulu." Tanpa menunggu jawaban aku bergegas pergi. Aku merasa kalau Bastian mengikuti langkahku dengan pandangannya.
Di dalam kamar aku segera menghubungi Arbian. Setelah panggilan yang ketiga baru diangkat. Aku yakin dia pasti tengah bersama Gladys.
"Halo." ucap suara diseberang sana.
"Lagi dimana, Bang. Kenapa ninggalin Bastian sendiri di rumah." cercaku.
"Dia bukan orang jahat, Dek. Jangan khawatir." sahutnya enteng.
"Bukan soal baik atau jahatnya. Apa pantas kalau kami berdua saja di rumah. Mikir lo, Bang." seruku kesal.
"Iya bentar lagi aku pulang. Masih ada urusan ini."
"Urusan dengan cewek kampret itu ya!" semburku marah. Biasanya aku tidak perduli dia pergi dengan siapa. Tapi kali ini mood ku benar-benar jelek sehingga memakinya.
"Eh, ngomong gak ada sopannya ini."
"Karena Abang juga gak ada akhlaknya." aku memutus telepon itu. Tidak perduli bagaimana pikiran Arbian dengan sikapku. Peduli setan.
Seharusnya dia lebih menghargaiku sebagai istrinya meskipun hanya istri diatas kertas saja. Gimana kalau seseorang atau mertua tiba-tiba datang ke rumah dan mendapati aku tengah bersama orang lain. Bahaya 'kan kalau sampai kena grebek warga.
Baru juga aku khawatir soal itu, tiba-tiba aku mendengar panggilan di depan rumah. Mau tak mau aku bergegas keluar dari kamar.
Bastian yang masih duduk di ruang tamu sambil nonton televisi, kebingungan juga saat ada orang datang ke rumah. Aku membuka pintu, ternyata dia adalah adik iparku, Mery. Aku sedikit gugup melihat kedatangan Mery dan berusaha bersikap tenang.
"Eh, Mery. Mari masuk." aku membuka lebar pintu supaya Mery masuk. Sejenak aku menangkap pandangan heran dari manik matanya.
"Bang Arbi belum pulang kerja ya, Kak." telisiknya. Menatap penuh curiga.
"Tadi Bang Arby gak ke kantor. Ada tamu, sahabat lama abang. Tapi saat kakak pulang kerja, Bang Arby gak di rumah. Ada apa tumben kemari jam segini."
"Aku mau ngomong sesuatu sama kakak. Tapi tidak disini." Mery melirik kearah Bastian.
"Kalau begitu kita ke kamar saja."
Aku mengajak Mery masuk ke kamarku setelah lebih dulu memperkenalkan Mery pada Bastian.
"Ada apa, Mer. Sepertinya penting banget." tatapku serius pada Mery saat kami duduk di sofa.
"Kak, Kakak yang jujur ya?" Mery memegangi lenganku. Keningku mengernyit mendengar ucapan Mery. Sikapnya sangat misterius.
"Apa kakak tau kalau Bang Arbi masih berhubungan dengan Gladys?" seketika wajahku memucat mendengar ucapan Mery.
"Memangnya kenapa?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin.
"Tadi aku melihat mereka di mall. Tega benar Bang Arbi. Padahal dia sudah menikah dengan kakak. Ataukah Gladys sengaja menggoda Bang Arbi?"
"Mungkin saja mereka kebetulan bertemu dek. Siapa tau." aku mengurai kecurigaan Mery, walau dalam hati ingin bercerita lebih banyak. Tapi aku menahan keinginan itu.
"Huh, meskipun ketemu tanpa sengaja, tapi tidak harus menemaninya makan, jalan-jalan. Pake adegan pegangan tangan segala." ceracau Mery marah.
"Trus kenapa gak temuin Bang Arbi tadi?" ucapku.
"Maunya gitu tadi. Tapi Mery 'kan sama teman-teman aku. Aku malu kalau harus ribut." sesalnya.
"Kan menjumpainya bukan berarti mau ribut. Kamu bisa main cantik, sekedar menyapa gitu."
"Takutnya aku tadi gak bisa nahan emosi Kak. Aku cuma sempat vidioin mereka, buat lapor sama mama. Biar mama hajar tuh, Abang Arbian."
"Eits, jangan lapor ke mama dulu, Dek. Biar kakak aja yang ngomong sama Bang Arbi."
"Ih, Kakak kok tenang aja gitu. Aku aja udah kebakaran jenggot nih. Makanya aku trus ngadu sama kakak, biar kakak hajar tuh si Gladys. Berani-beraninya godain suami kakak."
"Iya Dek, Kakak akan urus masalah ini. Tapi kakak mohon jangan laporin ke Mama ya? Kamu 'kan tau Mama itu punya riwayat jantung." Aku berusaha menenangkan Mery.
" Harus Bang Arbian juga mikir begitu, biar gak berani bertingkah. Eh, ini malah dia yang bikin kasus. Apa gak sebal jadinya." Mery menghentakkan kakinya saking marahnya sama Arbian.
"Sttt, pelankan suara mu, Dek. Ada teman abang mu di depan, ntar kedengaran ke sana." Mery terdiam mendengar ucapanku. Dalam hati aku merasakan sakit yang mendalam melihat reaksi Mery atas ulah abangnya. Bagaimana pula nantinya reaksi kedua mertuaku.
Tidakkah aku juga turut bersalah karena menyembunyikan status pernikahan kami yang sebenarnya.
"Kak, Mery pulang dulu ya. Kakak yang sabar ya. Aku berada dibelakang kakak kalau Bang Arbi makin bertingkah." Mery akhirnya pamit. Aku mengingatkannya agat tidak melaporkan apa yang dia lihat pada ibu mertua.
Beberapa menit setelah kepergian Mery, Bang Arbi pulang. Tanpa merasa bersalah sama sekali. Seolah tidak ada yang terjadi padahal aku telah memakinya tadi di telepon.
Aku diam saja saat dia masuk ke kamar, hanya meliriknya sekilas. Lalu menekuri kembali gadget ditanganku. Setelah mandi dan salin pakaian dia keluar menjumpai Bastian yang masih duduk di ruang tamu.
Lamat-lamat kudengar mereka mengobrol. Entah apa topik pembicaraan mereka. Tapi tidak berapa lama Arbian kembali masuk ke kamarku.
"Tadi Mery kemari ya, mau ngapain dia?" ucapnya dingin.
"Iya. Barusan dia pulang."
"Apa ada yang penting, tumben kemari."
"Katanya dia melihatmu dengan Gladys. Bergandengan tangan, makan enak-enak. Kamu sudah lupa ya dengan semuanya. Harusnya kamu bisa menahan diri." ucapku tajam. "Dia mau lapor ke mama, tapi untunglah dia lebih dulu bicara sama aku."
Arbian mendadak panik. Dia menyugar kasar rambutnya. Beberapa kali dia mau bicara tapi tidak mampu dikeluarkan.
"Sampai kapan kita terus seperti ini. Harusnya kita jujur pada semuanya. Lebih cepat lebih baik kecuali kamu ingin banyak yang terluka." lanjutku lagi penuh penekanan. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor