Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 LUKA YANG BELUM SEMBUH 2
"Aku nggak ngerti, Cin. Sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini?" suara Araf terdengar serak, mencoba menahan emosinya. Ia berdiri tak jauh dari pintu toko, menatap Cintia yang sedang membereskan barang-barang di rak.
Cintia tidak menjawab. Tangannya sibuk menyusun botol-botol minuman ringan ke tempatnya. Tapi gerakannya kasar, nyaris seperti melempar. Ia tahu Araf masih berdiri di sana, menunggu jawaban, tapi ia tidak peduli.
"Cin, aku ngomong sama kamu," suara Araf terdengar lebih tegas. Ia melangkah mendekat, berdiri di sampingnya. "Kamu nggak bisa terus-terusan begini. Aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Kamu nggak bisa nyembunyiin itu dariku."
Cintia berhenti. Ia menatap Araf dengan tatapan tajam, seolah ingin menusuknya dengan pandangan itu. "Aku nggak ngerti maksud kamu, Raf. Kalau kamu cuma mau ceramahin aku, mending pergi aja. Aku sibuk."
"Cin," Araf menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Aku cuma mau bantu."
"Bantu?" Cintia tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar pahit. "Bantu apa? Kamu pikir kamu bisa nolong aku? Kamu tahu apa soal hidupku?"
"Aku tahu kamu terluka." Araf menatap matanya, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu kamu nyimpen banyak hal, terlalu banyak. Tapi aku nggak bisa diem aja kalau kamu terus kayak gini."
Cintia membuang muka. Ia tidak tahan dengan tatapan itu—tatapan penuh simpati, seolah Araf tahu segalanya. Padahal, yang Araf tahu hanya permukaan. Ia tidak tahu apa-apa tentang penderitaan yang sesungguhnya.
"Raf, aku nggak butuh bantuan kamu," katanya dingin. "Kalau kamu pikir aku lemah, kamu salah. Aku bisa urus diri aku sendiri."
Araf menggeleng pelan. "Ini bukan soal kamu lemah atau kuat, Cin. Ini soal kamu yang terus nyiksa diri sendiri. Sampai kapan kamu mau hidup kayak gini?"
Cintia tidak menjawab. Pertanyaan itu menggantung di udara, menyusup ke dalam pikirannya seperti racun. Ia benci mendengar itu, tapi yang lebih ia benci adalah kenyataan bahwa Araf mungkin benar.
Malam itu, Cintia tidak bisa tidur. Ia hanya berbaring di kasurnya yang sempit, menatap langit-langit kamar yang gelap. Di luar, suara jangkrik terdengar samar-samar, bercampur dengan hembusan angin yang membuat daun-daun pohon bergesekan.
Tapi di dalam dirinya, tidak ada ketenangan. Hanya ada kekosongan yang pekat, seperti jurang yang siap menelannya kapan saja.
Bayangan masa kecilnya kembali menghantui. Ia ingat suara bentakan ayahnya, keras dan tajam seperti pecahan kaca. Ia ingat bagaimana tubuhnya sering membeku karena takut, bagaimana ia mencoba bersembunyi di sudut kamar sambil berharap ayahnya tidak menemukannya.
Tapi ayahnya selalu menemukannya.
Dan malam-malam seperti ini, mimpi buruk itu sering datang. Kali ini, ia bahkan tidak perlu tidur untuk merasakannya. Ingatan itu begitu nyata, seolah ia kembali menjadi gadis kecil yang tidak berdaya.
Cintia muncul di toko dengan wajah pucat dan mata sembab. Ia tahu ia tidak bisa menyembunyikan semua itu dari Bu Rini, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin mengalihkan pikirannya dengan bekerja.
"Cin, kamu sakit?" tanya Bu Rini begitu melihatnya. Wanita itu meletakkan kantong belanja yang sedang ia bawa dan mendekati Cintia. "Mukamu pucat banget."
"Nggak apa-apa, Bu. Cuma kurang tidur," jawab Cintia singkat.
Bu Rini menghela napas. "Kamu itu, ya. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau capek, bilang. Nanti toko ini bisa aku urus sendiri sebentar."
"Tidak apa, Bu. Saya masih bisa kerja." Cintia berusaha tersenyum, meskipun ia tahu senyumnya tidak meyakinkan.
Bu Rini menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya mengalah. "Ya sudah, kalau kamu bilang nggak apa-apa. Tapi kalau kamu butuh istirahat, bilang, ya."
Cintia hanya mengangguk, lalu bergegas ke rak untuk membereskan barang-barang. Ia tidak ingin ada yang bertanya lebih jauh. Ia tidak ingin ada yang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
Di sudut lain, Araf masuk ke toko. Ia mengamati Cintia dari kejauhan, memperhatikan setiap gerakannya. Ia tahu Cintia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, dan ia tahu ia tidak bisa memaksanya untuk bicara.
Tapi ia juga tahu, Cintia tidak akan bisa terus seperti ini.
"Cin, aku serius," kata Araf ketika mereka akhirnya berada di tempat yang lebih sepi. Ia sengaja menunggu sampai toko tidak terlalu ramai, lalu mendekati Cintia yang sedang membersihkan meja. "Kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Aku tahu kamu nggak baik-baik aja."
Cintia menegakkan tubuhnya. Ia menatap Araf dengan tatapan dingin. "Kenapa sih kamu selalu ikut campur, Raf? Hidup aku, masalah aku. Kamu nggak perlu peduli."
"Aku peduli karena aku sayang sama kamu!" suara Araf meninggi, membuat Cintia terkejut. "Aku nggak bisa diem aja lihat kamu nyiksa diri sendiri kayak gini."
Kata-kata itu menggema di kepala Cintia. Ia tidak tahu harus merespons apa. Ia tidak pernah membayangkan Araf akan mengatakan itu—setidaknya tidak dengan cara sejujur ini.
"Aku nggak butuh rasa sayang kamu," katanya pelan, tapi nadanya tajam. "Aku nggak butuh apapun dari kamu."
Araf menghela napas panjang. "Cin, aku nggak mau maksa kamu. Tapi aku juga nggak mau kamu terus hidup dalam kebencian. Itu nggak akan bikin kamu bahagia."
"Hentikan, Raf." Cintia menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku nggak minta kamu untuk peduli. Aku nggak minta kamu untuk nolong aku. Jadi, tolong berhenti."
Araf menatapnya dalam diam. Ia tahu Cintia sedang berusaha keras menahan air mata, dan itu membuat hatinya terasa perih. Tapi ia juga tahu, ini bukan saatnya untuk menyerah.
"Kalau kamu nggak mau aku peduli, aku nggak bisa janji," katanya akhirnya. "Karena aku nggak akan pernah berhenti peduli sama kamu, Cin."
Cintia tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Araf yang berdiri di sana dengan hati yang berat.
Malam itu, Cintia kembali bermimpi buruk. Dalam mimpinya, ia kembali menjadi anak kecil yang lemah, berdiri di sudut ruangan sambil mendengar suara bentakan ayahnya.
"Apa gunanya kamu hidup kalau cuma jadi beban?" suara itu bergema di kepalanya, membuatnya gemetar. "Kamu nggak berguna! Kamu nggak pantas hidup!"
Cintia terbangun dengan napas tersengal-sengal. Peluh dingin membasahi tubuhnya, dan ia merasa seperti akan pingsan. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan detak jantungnya yang liar.
Ia merasa lelah. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Ia lelah hidup dalam bayang-bayang masa lalunya. Tapi di saat yang sama, ia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari semua ini.
Keesokan harinya, Araf kembali menemui Cintia. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan Cintia terus seperti ini. Ia tahu risiko yang harus ia ambil, tapi ia juga tahu ia tidak punya pilihan lain.
"Cin, kita perlu bicara," katanya tegas.
Cintia menatapnya dengan tatapan lelah. "Aku nggak punya waktu, Raf. Banyak yang harus aku kerjain."
"Aku serius, Cin. Ini penting," kata Araf, nadanya tidak bisa ditawar.
Cintia akhirnya menyerah. Ia menghela napas dan duduk di kursi yang ada di dekat pintu. "Apa lagi sekarang? Apa lagi yang mau kamu omongin?"
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku