NovelToon NovelToon
Benih Pengikat Kaisar

Benih Pengikat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / CEO / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Percintaan Konglomerat
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.

Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.

"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."

Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Eka menghela napas lega saat ponselnya berdering, seolah memberinya celah di tengah situasi yang menegangkan. Tapi rasa lega itu langsung berubah menjadi cemas begitu melihat nama yang muncul di layar—Suyoto. Ayahnya.

Di kampung, keluarganya dikenal sebagai tokoh agama, jadi wajar jika mereka sangat menjaga nama baik. Namun, karena cintanya pada Adit, Eka mengabaikan semua itu. Baginya, yang penting adalah ijab kabul, bukan status hukum pernikahan. Padahal, orang tuanya sudah mengingatkan, sebelum ikut Adit ke Jakarta, ia harus menggelar resepsi dan mengurus buku nikah. Sayangnya, peringatan itu ia abaikan begitu saja.

Dan sekarang, ia harus menghadapi konsekuensinya.

Ponselnya masih bergetar di tangan, tapi Eka ragu untuk mengangkatnya. Ia tahu pasti apa yang akan terjadi jika ia menjawab—suara ayahnya yang tegas, pertanyaan-pertanyaan sulit, dan kemungkinan besar kemarahan yang selama ini tertahan.

Namun, jika ia tidak mengangkat, itu hanya akan memperburuk keadaan.

"Angkatlah," perintah Kai, melihat Eka yang masih ragu.

Eka menarik napas dalam, lalu akhirnya menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo…" suara Eka hampir berbisik.

"Kapan kamu pulang? Sudah setahun sejak kamu pergi dengan Adit. Warga terus membicarakanmu," suara Suyoto terdengar datar, tapi justru itu yang membuat Eka semakin gugup.

"Pak, beri Eka waktu sebentar lagi," jawabnya pelan.

"Eka, kamu terus menunda-nunda resepsi itu. Kamu anak Bapak satu-satunya, dan kamu tahu sendiri bagaimana warga di sini. Mereka selalu bertanya kapan kamu akan pulang bersama suamimu dan menggelar resepsi," suara Suyoto semakin berat, penuh tekanan.

"Iya, Pak, Eka paham…" Eka terdiam sejenak, melirik ke arah Kai yang menunggunya dengan tatapan penuh tanya. "Pak… nanti Eka telepon lagi, ya."

"Eka! Jangan bikin Bapak naik darah! Kalau kamu tidak punya keputusan, Bapak akan datang ke Jakarta dan bicara langsung dengan Adit!"

Mendengar ancaman itu, Eka memejamkan mata sejenak. Ketakutan jelas terpancar di wajahnya. Namun, yang terpenting saat ini adalah menenangkan ayahnya agar tidak benar-benar datang ke Jakarta.

"Du… dua hari lagi aku pulang, Pak. Ada yang ingin Eka jelaskan," ucapnya lirih.

Hening sejenak di seberang. Eka bisa mendengar tarikan napas panjang dari ayahnya, seolah menimbang jawaban itu.

"Dua hari?" Suyoto akhirnya bersuara. "Jangan berani macam-macam, Eka. Kalau kamu ingkar lagi, Bapak sendiri yang akan menjemputmu."

Eka menggigit bibir, menahan rasa sesak di dadanya. "Iya, Pak. Eka janji."

Tanpa menunggu jawaban lagi, sambungan telepon terputus. Eka menatap layar ponselnya yang kembali gelap, sementara pikirannya terasa semakin berat.

Eka masih menatap layar ponselnya yang gelap, pikirannya penuh dengan suara ayahnya yang tegas. Ancaman itu nyata, dan ia tahu betul bahwa Suyoto bukan orang yang bisa dibohongi.

Ia butuh bantuan.

Eka mengalihkan pandangannya ke Kai yang masih berdiri di dekatnya, bersedekap dengan ekspresi santai. Tatapan lelaki itu tajam, seakan bisa membaca kegelisahan yang ia coba sembunyikan.

"Kai…" suara Eka lirih, hampir berbisik. Namun, senyum kepura-puraan terpancar jelas di bibir wanita itu.

Kai menaikkan sebelah alisnya, menunggu kelanjutan kalimat yang akan dikeluarkan Eka.

"Aku butuh bantuanmu," lanjut Eka, meneguk ludah sebelum melanjutkan, "Ka... Kamu tadi mungkin sedikit mendengar jika bapakku ingin aku pulang kampung dan mengadakan acara resepsi pernikahan. Aku nggak bisa pulang sendirian. Jadi aku mau kamu ikut denganku."

Kai tersenyum kecil—senyum yang tidak sepenuhnya hangat, tapi penuh arti. Ia melangkah mendekat, membuat Eka sedikit menegakkan punggungnya tanpa sadar.

"Bapakmu tahu jika menantunya masih Adit Wirawan, kamu yakin mau membawaku?"

Eka menelan ludahnya kasar, tapi sejalan dengan itu kepalanya mengangguk. "A... Aku mau menjelaskan semuanya sama Bapak, tentang kita jadi aku butuh kamu," suara Eka sedikit merendah berharap Kai bisa mempertimbangkan.

"Jadi, kamu mau aku ikut?" tanya Kai, suaranya rendah namun terdengar menggoda.

Eka mengangguk pelan. "Iya."

Kai memiringkan kepalanya sedikit, mengamatinya dengan intens. "Tapi...."

Eka menggigit bibirnya, meremas jemarinya sendiri saat mendengar keraguan di wajah Kai, ia pun segera menyela, "Karena… karena aku butuh kamu di sana. Kalau aku datang sendirian, Bapak pasti—"

"Tidak akan membiarkanmu pergi lagi," potong Kai santai. "Dan kamu takut menghadapi itu sendirian?"

Eka diam. Ia memang takut, lebih tepatnya takut akan membawa nama keluarganya jelek. Jika tentang dirinya sendiri Eka siap untuk pasang badan.

Kai menyeringai kecil, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Baiklah. Aku bisa ikut dengan satu syarat."

Eka mengangkat wajahnya, menatapnya penuh harap. "Apa?"

Kai mencondongkan tubuhnya sedikit, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. "Aku mau kamu memohon padaku," bisiknya.

Eka membelalakkan mata. "Kai.…"

"Hm?" Kai tersenyum seolah menikmati reaksi Eka. "Aku mau dengar kamu benar-benar menginginkanku di sana."

Eka menelan ludah. Pipi dan lehernya mulai terasa panas, tapi ia tahu Kai tidak main-main. Ini bukan sekadar permainan baginya—lelaki itu ingin melihat seberapa jauh ia akan meminta bantuannya.

Eka menarik napas dalam, matanya menatap Kai yang masih berdiri di depannya dengan sabar, menunggunya. Hatinya berdebar kencang, seakan seluruh keberaniannya terkikis oleh tatapan lelaki itu. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia akhirnya berkata,

"Kai, tolong ikut denganku… Aku butuh kamu."

Kai tersenyum lebar, ekspresi puas terukir di wajahnya. Ia mengangkat tangannya, ujung jarinya menyentuh dagu Eka, mengangkat wajah gadis itu agar tetap menatapnya.

"Begitu dong," gumamnya pelan, seolah menikmati setiap kata yang keluar dari bibir Eka. "Aku suka mendengar kamu memohon padaku. Tapi... itu semua masih belum cukup."

Eka menelan ludah. Dadanya terasa sesak, seperti sedang berdiri di tepi jurang yang siap menelannya. "Patkai... Kamu mem...!"

Kai menyipitkan matanya. "Kamu panggil aku seperti itu lagi?" suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti ancaman. Cengkeraman tangannya di dagu Eka mengencang sedikit, cukup untuk membuat gadis itu menegang.

Jantung Eka berdebar semakin kencang. Ia tidak ingin suasana semakin buruk. Maka, dengan usaha keras, ia menampilkan senyum kecil dan melirihkan namanya dengan nada selembut mungkin.

"Kaisar…"

Kai menghela napas kecil sebelum akhirnya melepaskan sentuhannya. Ia kini berdiri tegap di samping Eka, ekspresinya kembali dingin dan penuh perhitungan.

"Kamu tahu kan waktuku itu berharga? Jika aku meninggalkan pekerjaanku, kamu bisa hitung sendiri berapa biayanya. Jadi…"

Eka menegang. Mata gadis itu membulat, lalu dengan cepat ekspresinya berubah—kesal, kecewa, dan sedikit terluka.

"Jadi kamu ingin aku membayarmu?" Ia tertawa sinis, tapi matanya berkilat penuh emosi. "Kai, kamu itu calon suamiku! Wajar kalau kamu bertemu orang tuaku! Atau… kamu ingin seperti mantan suamiku? Hanya menginginkan aku tanpa keluargaku? Ternyata, semua lelaki memang sama saja!"

Kai menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Tidak marah, tidak tersinggung. Justru, ada kilatan ketertarikan yang semakin kuat di matanya.

Untuk pertama kalinya, ada seorang wanita yang berani berbicara seperti itu padanya—tegas, penuh emosi, tanpa takut akan konsekuensi.

"Sepertinya aku belum selesai berbicara," Kai akhirnya bersuara, sudut bibirnya terangkat samar.

Eka menatap Kai dengan kesal. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba meredam emosinya. Lelaki di depannya ini selalu saja punya cara untuk membuatnya kehilangan kesabaran.

"Lalu apa?" suara Eka bergetar menahan amarah. "Apa syaratmu? Berapa yang harus aku bayar untuk waktu berhargamu itu? Akan aku cicil nanti."

Kai tersenyum kecil, bukan senyum biasa, melainkan senyum yang penuh arti. Ia melangkah lebih dekat, membuat Eka tanpa sadar mundur selangkah hingga punggungnya menempel pada dinding.

"Bayarannya tidak mahal dan kamu tidak perlu mencicilnya," ucapnya santai. Jarinya terulur, mengusap pelan pipi Eka, lalu turun ke dagunya lagi, mengangkatnya sedikit. "Cukup cium aku."

Eka membelalakkan mata. "Apa?!"

1
Dia Fitri
/Ok/
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Muslika Lika
Ya ampun patkaai..... imajinasi mu lho thor.... melanglang buana....
Muslika Lika: bener bener si eka eka itu ya.....😂
Hayurapuji: hahhaha, dia dipanggil anak buahnya Pak kai, nah si eka kepleset itu lidahnya jadi Patkai
total 2 replies
@Al🌈🌈
/Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!